NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 / THTM

Sejak hari itu, Elara mulai memperhatikan hal-hal kecil.

Bukan hanya dari cara Nayara bicara, tapi dari setiap gerak tubuhnya.

Tangan Nayara yang kini lebih sering memainkan ujung seragamnya, tatapan yang kerap kosong saat guru menjelaskan, bahkan tawa yang dulu mudah pecah kini terdengar kaku — seperti tawa yang dipaksakan.

Bagi orang lain, itu mungkin tak berarti apa-apa.

Tapi bagi Elara, sahabat yang sangat ia kenal itu, seperti menatap langit yang tiba-tiba berubah warna tanpa alasan.

Ada sesuatu yang salah.

Sangat salah.

Sore itu, jam pelajaran terakhir baru saja usai.

Langit mendung, awan bergulung-gulung menutupi matahari sore.

Elara berpura-pura ketinggalan buku di kelas, menunggu Nayara keluar lebih dulu.

Begitu gadis itu melangkah cepat ke luar gerbang, Elara menyusul diam-diam dengan langkah pelan tapi pasti.

Hujan menggantung di udara.

Suara kendaraan terdengar samar di kejauhan, sementara langkah Nayara begitu teratur, terburu, seolah ia punya tempat yang harus didatangi sebelum siapa pun memperhatikan.

Elara mengikutinya sampai ke perempatan jalan besar, dan di sanalah sesuatu terjadi.

Seseorang menunggu Nayara di seberang — bukan pria asing berpakaian lusuh atau teman sekolah.

Pria itu tinggi, tegap, dan caranya berdiri… terlalu tenang, terlalu percaya diri.

Dari kejauhan, Elara tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Namun tatapan tajam yang sesekali memantul dari kacamata hitam pria itu membuat jantungnya berdegup tak karuan.

Ia melihat Nayara berhenti, menunduk, lalu berbicara singkat dengan pria itu.

Suara mereka tak terdengar, hanya gerak bibir samar.

Lalu pria itu menyerahkan sesuatu — amplop kecil berwarna krem.

Nayara sempat menolak, tapi pria itu hanya menggeleng pelan.

Gerakannya sederhana, namun penuh tekanan.

Dan entah kenapa, Elara bisa merasakannya bahkan dari jarak sejauh itu.

Beberapa detik kemudian, pria itu berbalik pergi tanpa menoleh.

Sedangkan Nayara mematung.

Ia menatap amplop itu seolah benda kecil itu membawa kutukan.

Lalu dengan wajah kosong, ia memasukkannya ke dalam tas dan berjalan pergi dengan langkah gemetar.

Elara menahan napas di balik tiang listrik, jari-jarinya menggenggam tas begitu kuat sampai buku catatan di dalamnya tertekuk.

Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi matanya… ada sesuatu yang familier.

Entah di mana ia pernah melihat siluet itu — di televisi, di surat kabar?

...----------------...

Malamnya, Elara tak bisa tidur.

Kepalanya penuh bayangan wajah Nayara yang menunduk, amplop kecil itu, dan sosok pria dengan tatapan dingin.

Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton film, tapi pikirannya terus kembali ke hal yang sama.

Apa yang sedang disembunyikan Nayara?

Dan kenapa ia terlihat begitu takut, padahal pria itu tampak mengenalnya?

Tak tahan, Elara mengambil ponsel dan membuka pesan-pesan lamanya bersama Nayara.

Ia menggulir tanpa tujuan, sampai matanya berhenti pada satu pesan yang dikirim Nayara berbulan-bulan lalu.

...“Lucu ya, Lar. Orang bilang waktu bisa menyembuhkan semuanya....

...Tapi aku rasa… waktu justru bikin kita semakin takut.”...

Pesan itu dulu hanya dianggap curhat biasa.

Tapi kini, terasa seperti tanda bahaya yang terlambat dipahami.

Elara memandangi layar lama sekali, jantungnya berdebar dengan ritme aneh.

Ia bahkan sempat berpikir untuk menanyakan langsung, tapi tahu Nayara pasti akan menghindar.

Ia selalu begitu — menutup rapat segala hal yang menyakitinya.

Keesokan harinya di sekolah, Nayara tampak ceria.

Terlalu ceria.

Ia tertawa keras di kelas, bercanda dengan teman-teman, bahkan mengajak Elara makan siang seolah tak pernah ada yang aneh.

Tapi bagi Elara, semua itu justru menambah kecurigaan.

Ia tahu tawa yang dipaksakan saat melihatnya.

Ia pernah menatap cermin dengan senyum yang sama ketika dulu menutupi masalah pribadinya.

Dan saat istirahat, semuanya berubah.

Nayara duduk sendirian di bangku taman, menatap layar ponselnya terlalu lama.

Ekspresinya berubah cepat — dari datar, lalu tegang, kemudian kehilangan warna sama sekali.

Elara yang duduk di belakangnya sempat melihat sekilas layar itu.

Satu pesan muncul dengan tanpa nama pengirim dan tanpa foto profil.

Hanya kalimat sederhana yang membuat bulu kuduknya berdiri.

“Kamu cantik hari ini.”

Tidak ada emoji, tidak ada tanda baca tambahan.

Tapi entah mengapa, kata-kata itu terasa seperti sebuah ancaman yang dibungkus manis.

Nayara buru-buru menghapusnya, pandangannya kosong, jari-jarinya gemetar.

Lalu ia mematikan ponselnya begitu saja, menatap lurus tanpa kata.

Dan untuk pertama kalinya, Elara merasa… takut.

Bukan untuk dirinya, tapi untuk sahabatnya.

Karena siapapun yang ada di balik pesan itu — ia tidak hanya mengenal Nayara.

Ia memiliki kendali atas ketakutannya.

Di antara desir angin sore, Elara berbisik pelan, hampir tanpa sadar menyebut nama kakaknya sendiri.

“ Kak Alaric…”

...----------------...

Hujan mengguyur kota dengan tenang, memantul di kaca jendela besar ruang kerja Alaric.

Lampu-lampu gedung menari di balik tirai air, menciptakan bias cahaya yang seolah menertawakan pria itu yang duduk diam — kaku, seperti patung marmer di tengah badai.

Di tangannya, sebatang rokok padam di antara jari, abu halusnya dibiarkan menumpuk di atas asbak kristal.

Alaric tak sadar berapa lama ia menatap satu titik di meja, seolah bayangan kecil yang jatuh di sana bisa memberinya jawaban atas sesuatu yang bahkan tak bisa ia jelaskan sendiri.

Ia menarik napas panjang.

Udara dingin masuk ke paru-paru, tapi justru membuat dadanya terasa sesak.

Pikirannya tidak pernah benar-benar tenang.

Semua laporan sudah selesai, angka-angka di layar monitor menunjukkan hasil yang memuaskan, para direktur bawahannya memuji keberhasilannya menutup kontrak besar.

Namun di sela semua pujian itu… ada ruang kosong yang terus bergaung.

Sebuah kekosongan yang hanya punya satu nama.

Nayara.

Nama itu muncul tanpa izin, menyusup seperti kabut yang tak bisa diusir.

Ia sudah mencoba melupakannya — atau setidaknya menipu dirinya sendiri bahwa semua itu sudah berakhir.

Tapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah gadis itu muncul lagi; dengan mata yang selalu menunduk, bibir yang bergetar antara takut dan ragu, dan nada lembut yang masih terngiang di telinganya.

Sial.

Kenapa justru semakin jauh, bayangannya semakin jelas?

Beberapa minggu ini, Alaric berusaha mengatur ulang kehidupannya.

Ia mulai jarang pulang ke rumah besar, memilih tinggal di apartemen dekat perusahaan.

Ia bahkan membatasi komunikasi dengan Elara agar tak perlu berhadapan langsung dengan ingatan nya tentang Nayara.

Tapi nyatanya, hal itu justru menyiksanya lebih dalam.

“Bodoh,” gumamnya lirih, menatap bayangan sendiri di jendela.

Dulu, ia berpikir bisa mengendalikan segalanya — termasuk perasaannya.

Ia adalah Alaric, pria yang selalu tahu kapan harus berhenti, kapan harus menekan.

Namun semua logika itu luluh ketika Nayara hadir dengan tatapan sederhana yang entah bagaimana membuatnya kehilangan arah.

Ia ingat malam terakhir sebelum berangkat ke luar negeri.

Ingatan itu menusuk tajam seperti pisau dingin yang diselipkan di balik jasnya sendiri.

Nayara memohon waktu itu, meminta agar hidupnya dikembalikan, agar ia bisa merasa normal.

Dan Alaric… membiarkannya.

Tapi bukan karena iba, bukan karena ia menyerah — melainkan karena ia tahu, memberi jeda adalah bentuk kendali lain.

Sebuah permainan jarak.

Kini, setelah berbulan-bulan mencoba hidup tanpa gadis itu, Alaric sadar sesuatu:

bahkan keheningan pun bisa berwujud wajah Nayara.

Setiap langkahnya di lorong kantor, setiap suara printer, bahkan aroma tinta kertas, semuanya bisa memancing bayangan gadis itu.

Ia membenci perasaan ini, tapi di sisi lain — ada rasa candu yang samar.

Rasa ingin tahu yang tak pernah padam.

Ia membuka laci meja, mengambil ponselnya yang tergeletak.

Layar menyala, menampilkan daftar pesan yang belum dibalas.

Di antara notifikasi bisnis dan email penting, ada satu kontak tanpa nama, hanya angka — yang disimpannya diam-diam sejak lama.

Nomor Nayara.

Alaric menatapnya lama sekali.

Rasa bersalah datang menghantam, diikuti oleh tanya yang tak pernah terjawab.

Kenapa Nayara?

Kenapa bukan gadis lain yang selama ini berusaha mendekat padanya?

Banyak wanita menginginkannya — dengan wajah cantik, tubuh sempurna, status sosial tinggi — tapi hanya Nayara yang berhasil menanamkan luka sekaligus hasrat dalam satu waktu.

Sialan.

Ia benci perasaan ini.

Tapi semakin dibenci, semakin dalam ia terperangkap.

Pintu ruangannya diketuk pelan.

Asistennya masuk membawa beberapa berkas.

Alaric mengangguk tanpa banyak bicara, hanya mengamati dengan tatapan kosong.

“Pak, jadwal rapat dengan dewan investor diundur ke Kamis, jam sepuluh,” ujar asistennya sopan.

“Baik,” jawabnya datar.

“Apakah perlu saya—”

“Tidak perlu. Keluar.”

Nada dingin Alaric membuat sang asisten menunduk cepat, lalu keluar tanpa menambah kata.

Begitu pintu tertutup, keheningan kembali meraja.

Alaric menyandarkan tubuh ke kursi, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.

Ia membenci bagaimana hidupnya kini terasa seperti penjara.

Bukan karena kekuasaan, tapi karena seseorang yang seharusnya tak pernah masuk ke dalam hidupnya berhasil mengguncang segalanya.

Malamnya, Alaric memutuskan mengendarai mobil sendiri.

Ia tak tahu tujuannya, hanya ingin berkendara tanpa arah.

Lampu jalan berpendar di kaca mobil, menciptakan ilusi kecepatan yang tak memberinya ketenangan.

Dan entah bagaimana, tanpa sadar, mobil itu berhenti di sebuah tempat yang sangat ia kenal.

Tempat fotokopian kecil di sudut jalan.

Tempat Nayara bekerja sepulang sekolah.

Alaric menatap dari balik kemudi.

Ia melihat bayangan gadis itu di dalam — sedang melipat kertas, rambutnya diikat asal, wajahnya sedikit lelah tapi… masih sama.

Masih sederhana, masih murni, dan entah kenapa, itu justru membuatnya terasa lebih jauh dari jangkauan.

Ia menyandarkan kepala di kursi, menatap lama dari balik kaca gelap.

Ia tak berniat keluar, tak berniat bicara.

Cukup melihat saja sudah cukup — atau setidaknya ia berusaha percaya begitu.

Namun dadanya terasa sesak.

Bukan karena rindu, tapi karena perasaan bersalah yang aneh.

Ia tahu, gadis itu sedang berusaha keras menjauh darinya.

Berusaha hidup normal, melupakan semua yang pernah terjadi.

Tapi di sisi lain, ada bagian dirinya yang tak rela.

Kalau aku tidak menemuinya, apakah dia akan benar-benar melupakanku?

Pertanyaan itu muncul, menggema dalam kepala.

Ia tertawa pelan — tawa miris yang lebih mirip keluhan.

Betapa ironisnya, pria seperti dia, yang bisa memutuskan nasib ratusan orang hanya dengan tanda tangan, justru tak bisa mengendalikan satu hati kecil bernama Nayara.

Tak lama, seorang pria muda datang menghampiri Nayara di toko itu.

Mereka tertawa kecil, entah membicarakan apa.

Alaric memandanginya dari kejauhan.

Ada sesuatu yang bergejolak di dadanya — sesuatu yang tak bisa disebut amarah, tapi juga bukan cemburu biasa.

Lebih dalam dari itu.

Seperti rasa kehilangan atas sesuatu yang dulu ia kira miliknya, padahal tidak pernah benar-benar punya.

Ia menggenggam setir erat-erat, buku-buku jarinya memutih.

Detik itu juga ia sadar — semakin ia mencoba menjauh, semakin ia terseret.

Nayara bukan sekadar obsesi, bukan sekadar keinginan sesaat.

Ia adalah titik balik dari semua logika yang pernah ia percayai.

Dan mungkin, juga kelemahannya yang paling nyata.

Alaric pulang larut malam, tubuhnya lelah tapi pikirannya tetap berputar.

Ia menyalakan lampu ruang kerja, lalu membuka laptopnya.

Di layar, daftar agenda perusahaan terpampang, tapi matanya tak benar-benar membaca.

Yang ia lihat justru bayangan wajah Nayara di antara huruf-huruf laporan.

Dengan gerakan cepat, ia membuka folder dokumen pribadinya.

Ada satu file yang hanya bisa diakses dengan kode — berisi data proyek, laporan pribadi, dan beberapa foto.

Foto yang tak seharusnya masih ia simpan.

Foto Nayara — sedang tertawa di taman, saat acara keluarga tempo lalu.

Alaric menatap foto itu lama sekali.

Ia menyentuh layar dengan ujung jarinya, seolah bisa merasakan kehangatan yang sudah lama hilang.

Senyum itu sederhana, tapi di matanya… ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Mungkin kepolosan. Mungkin luka. Atau mungkin keduanya.

Ia menutup laptop dengan cepat.

“Cukup,” gumamnya pelan, suara serak menahan emosi.

Namun pikirannya menolak berhenti.

Bayangan Nayara, suaranya, bahkan caranya berlari kecil setiap kali terlambat masuk kelas bersama Elara — semuanya menari dalam ingatan.

Ia merasa hidupnya telah kehilangan arah sejak mengenal gadis itu, tapi pada saat yang sama… ia tidak bisa membayangkan hidup tanpanya.

Dia seperti penyakit, pikir Alaric getir. Tapi aku terlalu bodoh untuk mencari obatnya.

...----------------...

Pagi menjelang.

Langit mulai memudar dari kelabu menjadi jingga pucat.

Alaric berdiri di balkon apartemennya, menatap matahari terbit dengan tatapan kosong.

Kota masih sepi, hanya suara burung dan lalu lintas jarak jauh yang terdengar samar.

Ia menatap ponselnya lagi.

Pesan terakhir yang ia kirim belum dibalas.

Ia tahu Nayara pasti ketakutan — tapi anehnya, ada rasa lega dalam hati.

Rasa puas yang tidak bisa dijelaskan, seolah dengan satu pesan itu ia berhasil mengingatkan gadis itu bahwa ia masih ada.

Bahwa sekalipun dunia berubah, Nayara tak akan bisa benar-benar lepas dari bayangannya.

Namun di balik rasa puas itu, ada kesedihan aneh yang tak bisa ia tolak.

Sebuah kesadaran bahwa apa yang ia lakukan bukanlah cinta, melainkan kehilangan arah.

Tapi bagaimana jika perasaan kehilangan itu justru satu-satunya hal yang membuatnya tetap hidup?

Alaric menutup mata, membiarkan angin pagi menerpa wajahnya.

Ia tahu ia tidak akan berhenti di sini.

Karena semakin ia mencoba menghapus nama Nayara dari hidupnya, semakin jelas nama itu terukir di dadanya.

“Kamu pikir bisa pergi begitu saja, Nayara?” gumamnya nyaris tanpa suara.

“Aku ingin berhenti… tapi aku tak tahu bagaimana.”

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!