NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 / THTM

Hari-hari Nayara kembali sederhana—sekolah di pagi hari, membantu di toko fotokopi sepulangnya, lalu makan malam bersama ibu dan ayah di rumah kecil mereka.

Tidak ada pesan singkat misterius.

Tidak ada suara berat yang memanggil namanya dengan nada perintah.

Tidak ada mata yang mengawasi dari jauh.

Semua tenang.

Atau begitulah yang ia kira.

Toko tidak terlalu ramai hari itu.

Hanya ada suara mesin fotokopi yang berdengung dan wangi kertas baru yang memenuhi udara.

Nayara berdiri di balik meja, menunggu hasil cetak sambil tertawa kecil pada sesuatu yang dikatakan Rafi, teman sekelasnya yang juga membantu di toko itu.

Anak itu memang cerewet—selalu punya bahan obrolan, selalu berusaha membuat orang lain tertawa.

Dan entah kenapa, Nayara merasa nyaman saja; ringan.

Untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, ia bisa tertawa tanpa rasa takut.

Namun ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik sebelum bulu kuduknya perlahan berdiri.

Awalnya ia tak sadar kenapa.

Tapi kemudian, naluri itu muncul—perasaan diawasi, perasaan familiar yang membuat perutnya terasa dingin.

Ia menoleh perlahan ke arah jendela.

Mobil hitam berhenti di seberang jalan.

Kaca depannya gelap, tapi di balik bayangan itu, ia tahu persis siapa yang duduk di dalamnya.

Alaric.

Napas Nayara tersangkut di tenggorokannya.

Tangannya refleks menggenggam tepi meja.

Sekujur tubuhnya menegang seperti seseorang yang baru saja mendengar bunyi rantai di sekitar lehernya sendiri.

“Eh, Nay, kamu kenapa? Kok pucat?”

Rafi menatapnya heran.

Nayara buru-buru menggeleng, mencoba tersenyum.

“Gak apa-apa, cuma pusing dikit.”

Ia berusaha terlihat normal.

Tapi matanya terus melirik ke luar jendela.

Mobil itu masih di sana, tidak bergerak.

Seolah hanya menunggu.

Beberapa menit kemudian, saat pelanggan terakhir pergi, Nayara membereskan meja dengan terburu-buru.

Rafi sempat menawarkan untuk mengantarnya pulang, tapi Nayara menolak.

Dia tidak mau siapa pun terseret dalam bayangan pria itu.

Langit mulai gelap ketika ia melangkah keluar.

Mobil hitam itu sudah tidak ada.

Namun langkahnya tetap cepat, seolah bayangan Alaric menempel di belakang setiap langkahnya.

Sesampainya di rumah, Nayara langsung mengunci pintu dan menyandarkan tubuhnya ke daun pintu.

Tangannya gemetar.

Ia menatap kedua telapak tangannya yang dingin, lalu menutup wajah.

“Kenapa sekarang? Aku udah mulai tenang, kenapa harus muncul lagi…”

Ia tidak tahu apakah pria itu benar-benar melihatnya, atau hanya kebetulan lewat.

Tapi bagian kecil dari dirinya tahu — Alaric tidak pernah melakukan sesuatu secara kebetulan.

Keesokan harinya, Nayara pergi ke sekolah seperti biasa, mencoba berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Namun saat istirahat, sebuah amplop kecil jatuh dari loker miliknya.

Tidak ada nama pengirim.

Isinya hanya selembar kertas kecil, tulisan tangan yang rapi dan tegas.

...“Kau tampak senang di tempat itu, Nayara....

...Tapi jangan lupa—aku tidak pernah jauh.”...

Tangannya langsung gemetar.

Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan isak yang ingin keluar.

Perasaan damai yang kemarin terasa hangat kini runtuh begitu saja.

...----------------...

Sejak menemukan surat itu di loker, Nayara tidak lagi merasa bebas.

Setiap langkah terasa diawasi.

Setiap suara di belakang membuatnya menoleh.

Bahkan ketika tidak ada siapa-siapa, napasnya selalu menahan.

Ia tahu, pria itu tidak akan diam.

Alaric tidak pernah melupakan apa pun yang dianggapnya “miliknya”.

Hari itu Nayara pulang lebih awal dari sekolah.

Ia beralasan sakit kepala pada guru, padahal ia hanya ingin menghindari kemungkinan bertemu seseorang.

Tasnya dipeluk erat di dada, langkahnya cepat menembus jalan kecil menuju rumah.

Namun di setiap tikungan, ia merasa seperti ada mata yang mengikuti.

Mobil hitam tak terlihat, tapi sesekali ada suara mesin yang jauh… cukup untuk membuat jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.

Sesampainya di rumah, Nayara langsung mengunci pintu dan menutup semua tirai.

Ia duduk di lantai, memeluk lutut, mencoba menenangkan diri.

“Dia gak akan cari aku… dia sibuk… aku cuma hal kecil buat dia,” gumamnya berulang-ulang, tapi semakin diulang, semakin terdengar seperti kebohongan.

Ponselnya bergetar.

Satu pesan masuk.

Nomor tak dikenal, tapi ia tahu betul gaya tulisannya.

“Kau tidak di sekolah hari ini.

Tidak baik kabur, Nayara.”

Ia menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak berteriak.

Kepalanya berdenyut.

Matanya memanas.

Ia mengetik balasan, jarinya gemetar.

“Berhenti ganggu aku. Aku cuma mau hidup normal.”

Tapi sebelum pesan itu terkirim, ia menghapus semuanya.

Apa gunanya melawan seseorang seperti Alaric?

Pria itu tidak akan berhenti hanya karena satu permintaan.

Malamnya, Nayara berpura-pura tidur lebih awal.

Ibunya sempat mengetuk pintu, menanyakan apakah ia baik-baik saja.

Nayara tersenyum lemah, mengatakan hanya lelah.

Namun setelah lampu dimatikan, matanya tetap terbuka menatap langit-langit.

Setiap bunyi dari luar—entah daun yang bergeser atau motor yang lewat—membuatnya menegang.

Ia seperti kembali menjadi gadis kecil yang takut pada kegelapan, hanya saja kali ini, kegelapan itu punya nama.

Alaric.

...----------------...

Hari itu terasa seperti hari biasa — matahari tidak terlalu terik, angin lewat pelan di antara pepohonan.

Nayara mulai terbiasa melewati hari-harinya dengan kewaspadaan tinggi, tapi pagi ini ia memutuskan untuk tidak membiarkan rasa takut mengatur langkahnya.

Ia kembali bekerja di tempat fotokopi, tempat kecil yang kini menjadi pelariannya.

Mesin fotokopi berdengung lembut, aroma tinta memenuhi ruangan.

Tumpukan kertas menumpuk di meja, dan Nayara sibuk mengatur pesanan pelanggan tanpa menoleh ke siapa pun.

Ia mulai merasa aman, sampai suara langkah kaki berat terdengar masuk.

Suara pintu terbuka.

Seseorang masuk, langkahnya mantap, berwibawa, berbeda dari pelanggan biasa.

Dan sebelum sempat menoleh, tubuh Nayara sudah kaku — ada sesuatu dalam udara yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.

Perlahan ia mendongak.

Dan di sanalah dia.

Alaric.

Berbalut kemeja hitam dan jas abu yang rapi, berdiri tenang di depan meja kasir seolah tidak ada jarak yang pernah terbentang di antara mereka.

Tatapannya datar, nyaris dingin.

Tidak ada senyum, tidak ada sapaan, hanya tatapan mata tajam yang terasa seperti bisa menembus dinding pertahanan yang Nayara bangun selama ini.

“Berapa harga untuk cetak dokumen sepuluh lembar?” suaranya tenang, dalam, nyaris formal.

Nayara menelan ludah, mencoba mengatur napas.

“Dua ribu per lembar…” suaranya hampir tidak terdengar.

Alaric mengangguk pelan, menyerahkan flashdisk kecil dengan tangan yang sama sekali tidak gemetar.

“Cetak semua. Tak perlu dibaca.”

Nayara mengambilnya dengan jari yang bergetar.

Mereka tidak bersentuhan, tapi udara di antara mereka terasa sesak — seperti ada sesuatu yang tidak bisa diucapkan menggantung di sana.

Sambil menunggu mesin bekerja, Nayara mencuri pandang.

Alaric berdiri dengan tangan di saku, memandang keluar jendela, seolah kehadirannya di tempat itu hanyalah kebetulan biasa.

Namun tatapan itu… dingin.

Terlalu tenang untuk disebut biasa.

Nayara menggigit bibir, menahan semua pertanyaan yang berkecamuk di kepala.

Kenapa dia di sini?

Apakah ini kebetulan?

Atau hanya permainan lagi?

Begitu kertas terakhir keluar, Nayara menyerahkannya dengan hati-hati.

“Ini… sudah selesai.”

Alaric menerima tumpukan kertas itu tanpa melihat wajahnya.

“Terima kasih.”

Lalu berbalik, berjalan pergi seolah tidak pernah mengenalnya.

Tidak ada sapaan, tidak ada ancaman, tidak ada emosi.

Hanya punggung tegap yang perlahan menghilang di balik pintu kaca.

Nayara mencoba menarik napas lega.

Tapi saat pandangannya jatuh ke meja tempat pria itu berdiri tadi, sesuatu membuatnya terhenti.

Di sana, di antara tumpukan kertas, ada selembar kertas kecil — secarik catatan dengan tulisan tangan rapi.

Bukan dokumen, bukan faktur.

Hanya beberapa kata sederhana.

... “Kau masih sama. Tetap cantik ketika ketakutan.”...

Dunia seolah berhenti berputar.

Jantung Nayara berdebar tak karuan, tangan gemetar hebat.

Ia menatap tulisan itu lama, lalu buru-buru meremas kertas itu Hingga lecek dan menyembunyikannya di saku.

Tapi kata-kata itu terus bergema di kepalanya.

Lembut, tapi beracun.

Tenang, tapi menjerat.

Dan di balik kaca jendela toko fotokopi yang kini tertutup tirai debu, Alaric berdiri di seberang jalan, menatap tempat itu tanpa ekspresi.

Tatapan dingin yang sama, tapi kali ini…

ada senyum samar di sudut bibirnya.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!