NovelToon NovelToon
Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Status: sedang berlangsung
Genre:Dark Romance / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: khalisa_18

Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.

Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.

Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.

Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perang Dingin di Dapur, Kudeta Bumbu, dan Gelar Jenderal Lapangan

Tiga hari cuti di Bireuen benar-benar menjadi sesi terapi tawa bagi Letda Kalea Aswangga. Rumah keluarga Aswangga yang biasanya tenang, kini diwarnai hingar-bingar layaknya markas latihan gabungan. Byantara dan Kalea, si adik-kakak berdarah militer itu, melepaskan semua atribut kedinasan mereka, kecuali naluri untuk saling mendominasi.

Pertarungan gelar ‘Jenderal Lapangan Rumah Tangga’ selalu dimulai dari hal-hal sepele.

Pagi itu, Byantara keluar dari kamar dengan wajah serius. “Kalea! Ini darurat! Pasta gigi tinggal sedikit. Siapa yang menghabiskannya tadi malam?

“Aku baru pakai pagi ini, Bang. Cuman dikit kok bang,” jawab Kalea santai, sambil membolak-balikan majalahnya.

“Abang ini seorang Kapten! Jadi abang tahu bagaimana cara menghitung stok! Kamu yang terakhir pakai, Letda Aswangga! Ini namanya kelalaian logistik!” tuduh Byantara.

Kalea menaikkan alis. “Kelalaian logistik? Cuman pasta gigi, Bang. Itu bukan peluru pindad. Mungkin abang aja yang sikat giginya terlalu lama karena terlalu banyak bicara. Makanya habis.”

“Abang ini komandan kompi! Disiplin adalah segalanya! Abang perintahkan kamu ke warung sekarang, beli pasta gigi baru!” perintah Byantara, nadanya dibuat-buat tegas.

Kalea tersenyum sinis. “Maaf, Kapten. Status saya sedang cuti dan berhak recharge. Anda yang memerintahkan, Anda yang pergi. Atau mau saya telepon S-3 di Taktakan, tanyakan apakah logistik pasta gigi masuk dalam rencana serbuan ke lokasi konflik?”

Byantara menghela napas pasrah, tahu ia selalu kalah debat melawan logika absurd adiknya. Ia akhirnya berjalan gontai ke pintu, bergumam, “Baik! Saya prajurit, saya laksanakan perintah Mama untuk tidak membuat keributan.”

Di tengah keributan yang tak ada habisnya ini, pak dan Ibu Aswangga sangat menikmati setiap detiknya. Pak Aswangga sering duduk di teras, memandangi anak-anaknya dengan mata berkaca-kaca. Ibu Aswangga hanya bisa tersenyum sabar, selalu siap menjadi ‘Komandan Tertinggi’ yang menengahi setiap perdebatan konyol mereka.

Ramdan, kekasih Kalea, menjadi saksi mata rutin drama keluarga ini. Setiap sore ia datang, dan setiap sore pula ia menjadi objek operasi pengusiran kecil yang dilakukan Byantara.

“Ramdan! Kenapa kamu ke sini lagi? Kamu tidak punya anggota untuk diurus kah?” tanya Byantara, nadanya pura-pura interogatif, saat Ramdan baru meletakkan tasnya.

Ramdan tersenyum maklum. “Siap, Bang. Anggota saya sudah aman. Saya hanya menjalankan tugas pengamanan wilayah di sini. Memastikan Letda Kalea tidak melanggar jam malam cutinya.”

“Melanggar? Kalea itu Kopassus! Dia yang harusnya mengamankan kamu! Sekarang, Ramdan! Ambilkan saya kopi! Gelas Kapten harus berbeda dengan gelas Letda!” perintah Byantara, menunjuk dua gelas yang letaknya hanya sejengkal darinya.

“Bang! Jangan di dengarkan!” seru Kalea.

Ramdan segera mengambil gelas itu. “Tidak apa-apa, Kalea. Itu namanya bentuk penghargaan teruntuk calon Komandan Batalyon di masa depan,” bisik Ramdan, sambil berlalu. Ia tahu, semakin ia nurut, maka semakin cepat Byantara akan bosan mengusilinya.

Namun, hanya Byantara sendiri yang tahu bahwa tingkah usil itu adalah perisai. Di balik tawa dan ejekannya, tersembunyi perasaan yang dalam dan menyakitkan untuk Kalea. Keusilan adalah satu-satunya cara ia bisa berinteraksi dekat tanpa menunjukkan bahwa ia mencintai adiknya sendiri. Setiap kali ia melihat Kalea tersenyum pada Ramdan, ia harus segera melontarkan lelucon untuk mengalihkan perhatiannya, dan juga perasaannya.

Sore itu, keluarga Aswangga memutuskan untuk mengadakan acara bakar-bakar. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu, dan juga paling rawan konflik.

Kalea, Byantara, dan Ramdan ditugaskan mengolah bumbu untuk ayam bakar. Kapten Byantara segera memasang wibawa.

“Perhatian! Sesuai senioritas dan pengalaman di hutan, saya Kapten Byantara, yang memegang komando atas bumbu ini!” deklarasi Byantara, ia menyilangkan tangannya di depan nampan bumbu.

Kalea menyeringai. “Komando apa? Kapten hanya ahli strategi tempur! Bumbu itu butuh rasa, bukan taktik!” Kalea segera menuangkan cabai giling dalam jumlah banyak.

“Kalea! Gila kamu! Ini kudeta bumbu! Itu terlalu banyak cabai! Rasa ayamnya hilang, yang ada nanti perut kita kena serangan gas!” teriak Byantara, mencoba merebut wadah cabai.

“Ini namanya penyesuaian lapangan, Bang! Kami Kopassus tidak takut rasa pedas! Kami butuh dorongan api! Versi abang terlalu lembek, seperti patroli teritorial biasa!” balas Kalea, menahan wadah bumbu itu kuat-kuat.

Mereka berdua berebut nampan bumbu, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti,  dan mata mereka saling melotot.

“Dengar, Letda Aswangga! Saya Komandan Kompi! Kamu harus patuh! Saya lebih berpengalaman soal logistik rasa!” tegas Byantara, mencoba menggunakan jurus pangkatnya.

Kalea tertawa terbahak-bahak, lalu melontarkan ejekan andalannya. “ Apa hubungannya dengan pangkat dan status mu, Bang? Papa aja pangkatnya Letnan Kolonel! Lebih tinggi dari Kapten Abang itu! Tapi kalau Mama sudah bilang bumbu Papa kurang garam, Papa tetap kalah! Papa di rumah ini terakhir jadi apa? Komandan yang nurut sama Mama kan!”

Pak dan Ibu Aswangga yang mendengarkan debat itu dari jauh, tertawa sampai terpingkal-pingkal. Tawa pak Aswangga terdengar paling bahagia.

“Benar! Pangkat tidak berlaku di dapur!” seru pak Aswangga.

Byantara seketika bungkam, wajahnya menunjukkan kekalahan telak. Ia melepaskan nampan bumbu, ekspresinya merajuk dramatis.

“Baik! Saya mundur! Lapangan ini saya serahkan pada Baret Merah yang anti-rasa! Ramdan, kamu jadi saksi! Kalau nanti kami sakit perut, itu salah Letda Aswangga!” Byantara berjalan gontai dan duduk dengan gaya merosot di kursi lipat dekat Ramdan. Ia menyilangkan tangan di dada.

Ramdan menahan tawa, menepuk bahu Byantara. “Santai, Bang. Ayam bakar tidak akan sepedas tendangan Kalea tadi pagi,” hibur Ramdan.

Tiba-tiba, saat Byantara sedang asyik merajuk, Kalea yang berdiri di belakangnya mengayunkan kaki.

Buk!

Tendangan ringan namun sangat akurat mendarat di bokong seorang Kapten Byantara aswangga, membuatnya terperosok dan terduduk keras di atas rumput.

“Aduh, Kalea! Kurang ajar! Itu kekerasan dalam keluarga! Abang seorang Kapten! Abang harus lapor ke Komandan Satuan!” protes Byantara, ia segera bangkit, mengusap bokongnya dengan ekspresi yang sangat teraniaya.

“Bangkit, Bang! Kapten tidak boleh merajuk seperti anak TK! Cepat! Bantu angkat arang yang kurang!” perintah Kalea, kembali ke mode Pasipers, wajahnya tanpa rasa bersalah sama sekali.

Ramdan, yang menyaksikan adegan itu, hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar. Ia melihat bagaimana Kalea begitu bebas, begitu nyata, dan begitu leluasa di tengah keluarganya. Perasaan cinta yang selama ini ia jaga baik baik, kini benar-benar membuncah tak tertahankan. Ramdan menatap Kalea dengan bangga dan penuh pemujaan. Ia tahu, wanita yang ia cintai adalah seorang perwira tangguh, tetapi juga seorang adik yang penuh kasih sayang dan kenakalan.

Malam itu, di bawah cahaya rembulan Bireuen, mereka menikmati hidangan ayam bakar dengan tawa yang tiada henti. Kisah-kisah lucu dari Akmil, Kodam jaya, Taktakan, hingga perdebatan bumbu dapur menjadi bumbu utama. Bagi bapak dan Ibu Aswangga, malam itu adalah puncak kebahagiaan. Kenangan baru tercipta, kenangan akan kehangatan, humor, dan cinta, yang akan dibawa kembali oleh dua perwira itu ke medan tugas mereka.

1
atik
lanjut thor... semangat 💪
Khalisa_18: Makasih KK, di tunggu update selanjutnya ya
total 1 replies
atik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!