NovelToon NovelToon
Chain Of Love In Rome

Chain Of Love In Rome

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:938
Nilai: 5
Nama Author: De Veronica

Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.

Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.

Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sang Manipulators

Mentari Roma menyelinap masuk, menari di kelopak mata Taeri. Ia mengerjap, terkejut mendapati jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan pagi. "Huuuf, kesiangan lagi," gumamnya lirih, membayangkan betapa malunya dengan Tante Yura yang takkan terhindarkan. Ia bangkit, kakinya menjejak lantai dingin, lalu bergegas ke kamar mandi.

Tiga puluh menit kemudian, Taeri keluar, rambutnya basah dan terbungkus handuk. Yuna masih meringkuk di balik selimut tebal. 'Seperti orang mati saja,' pikir Taeri, sedikit gemas. 'Jam segini belum bangun, pantas saja sering telat ke kampus.'

Enggan mengganggu, Taeri membuka lemari Yuna, memilih tanktop dan hotpants sederhana. Setelah memakainya, ia meraih ponsel di nakas. Layarnya gelap. "Ah, dasar ponsel tidak berguna! Mati segala. Semalam juga lupa dicas, gara-gara mikirin pria bodoh itu terus," umpatnya kesal, menyambar tas dan memasukkan ponselnya.

Meski pikirannya masih berkecamuk dan bayangan kejadian semalam menghantuinya, Taeri memutuskan untuk tetap pergi ke kampus. Ia menuruni tangga, jantungnya berdebar tak menentu.

Di ruang makan, Tante Yura dan Om Leno sudah menanti. "Taeri sayang, sejak kapan kamu di sini? Kok nggak bilang-bilang Tante?" sapa Tante Yura, matanya berbinar ramah.

Taeri tersenyum canggung, menyadari pipinya memanas. "Ma-maaf, Tante, Om. Semalam Tae nggak keburu kasih tahu. Pulangnya kemalaman, jadi nggak enak bangunin."

Om Leno terkekeh, memahami kebiasaan yuna. "Ya sudah, ayo ikut kami sarapan. Nggak usah nunggu Yuna, dia pasti kesiangan." Om Leno menarik kursi untuk Taeri, isyarat yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang dan diterima. Di meja makan, hanya ada roti tawar, selai stroberi yang hampir habis, dan kopi instan. Suasana sarapan yang sederhana, namun hangat.

Usai sarapan yang terasa hambar, Taeri berpamitan pada kedua orang tua Yuna. Ia meraih kunci mobil sport nya, lalu meluncur ke jalan raya. Di dalam mobil, setelah baterai ponselnya terisi sedikit, ia menyalakannya. Membuka sebuah platform informasi.

Namun, saat membaca sebuah berita, napasnya tercekat. Ia menginjak rem mendadak, ban mobil berdecit keras. Hampir saja mobil di belakang menabraknya. "Nona, hati-hati sedikit kalau mengemudi!" bentak seorang pria dari mobil di belakang dengan nada tinggi.

Taeri tak menggubrisnya. Tangannya gemetar saat kembali membaca berita di layar ponsel.

"Tidak... ini tidak mungkin..." bisiknya lirih, matanya membulat tak percaya. "Pasti Papa dan Mama sekarang sedang kesusahan karena kejadian ini. Bagaimana bisa pabriknya bocor? Ini belum pernah terjadi sebelumnya!" Taeri memukul setir dengan frustrasi, pikirannya kalut.

"Terus, kenapa tidak ada satu pun pesan dari Mama dan Papa?" tanyanya pada diri sendiri, bibirnya bergetar. "Apa mereka ingin menutupi ini dariku?" Taeri menerka-nerka alasan orang tuanya bungkam. Namun, mengingat bagaimana karakter kedua orang tuanya, ia pun akhirnya mengerti.

"Hufff... mereka berdua pasti tidak ingin aku khawatir, makanya begini," gumamnya pasrah, bahunya merosot lemas. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, siap tumpah kapan saja. Ia mencengkeram setir erat-erat, mencoba menenangkan diri.

Di tengah kekalutan pikirannya, ponsel di tangan Taeri berdering. Keningnya berkerut dalam melihat nomor tak dikenal tertera di layar. "Ya ampun, siapa lagi ini? Lagi susah begini, ada saja yang mengganggu," gumamnya kesal, namun rasa penasaran mengalahkan keengganannya. Ia mengangkat panggilan itu tanpa basa-basi. "Hallo, siapa ini? Kenapa menghubungi saya?"

Terdengar suara berat dari seberang, penuh tekanan. "Nona Kim Taeri..."

Taeri membeku.

"...Ternyata suaramu sama cantiknya seperti dirimu. Sayang sekali semalam kita tidak sempat berbicara," sambungnya datar, mengintimidasi.

Wajah Taeri pucat pasi. Ia sudah bisa menebak siapa yang meneleponnya. "Ke... kenapa Anda meneleponku, Tuan? Aku... aku tidak melaporkan kejadian semalam pada polisi. Aku tidak ingin memiliki urusan dengan Anda, jadi tolong jangan menggangguku," ucapnya gemetar, menggenggam ponselnya erat-erat. Ia berharap pria itu akan melepaskannya.

Terdengar jeda sesaat, lalu suara pria itu kembali, pelan namun menusuk. "Perusahaan keluargamu..."

Taeri mengerutkan keningnya, heran sekaligus waspada. Bagaimana bisa orang yang tak dikenalnya tahu tentang keadaan keluarganya? "Apa maksud Anda, Tuan? Apa yang Anda tahu tentang keluargaku? Jangan macam-macam! Aku tidak punya urusan apa pun dengan Anda!"

"Hahahaha..." Tawa rendah terdengar dari seberang, membuat bulu kuduk Taeri meremang. "Aku mengetahui segalanya tentangmu, kelinci kecil... Termasuk keadaan keluargamu sekarang. Kecelakaan di pabrik kimia itu bisa menjerat ayahmu ke penjara. Jadi, kalau kau ingin menolongnya, datanglah ke alamat yang kukirimkan." Pria itu langsung memutuskan sambungan sepihak.

Taeri terperanjat, ingin bertanya lebih lanjut, namun koneksi ponselnya sudah terputus. Dengan emosi, ia melempar ponselnya ke lantai mobil. "Dasar pria sialan! Siapa sebenarnya dia? Bagaimana dia tahu keadaan keluargaku di Korea? Dan apa yang dia mau sebenarnya?" ucapnya kesal, menjambak rambutnya kasar. Air mata akhirnya tumpah, bercampur dengan rasa takut dan amarah yang membuncah. Ia merasa seperti terperangkap dalam jaring yang tak terlihat, ditarik semakin dalam ke dalam kegelapan.

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Taeri, menampilkan sebuah alamat yang membawanya menuju hutan pinus di pinggiran Roma, jauh dari hiruk pikuk kota. Keraguan dan rasa penasaran bercampur aduk dalam benaknya, namun kekhawatiran akan keluarganya mendorongnya untuk mengambil keputusan. Ia menginjak pedal gas, memacu mobilnya menuju alamat itu.

Mobil sport itu melaju kencang ke arah barat daya Roma, meninggalkan keramaian kota di belakangnya. Jari-jari Taeri mencengkeram setir erat-erat, giginya bergemeletuk menahan rasa takut. "Sialan!" umpatnya geram, napasnya tersengal. "Belum pernah seumur hidupku terpikirkan untuk bertemu dengan seorang psikopat gila. Tapi aku tidak punya pilihan lain," bisiknya lirih, mencoba menyemangati dirinya sendiri.

Setelah satu jam perjalanan yang menegangkan, mobil Taeri mulai memasuki kawasan hutan pinus Ostia Antica. Semakin dalam ia melaju, semakin jauh dari peradaban. Pohon-pohon pinus menjulang tinggi, menghalangi cahaya matahari, menciptakan suasana mencekam. "Dia benar-benar psikopat gila," gumamnya dengan nada bergetar. "Manusia macam apa yang mau tinggal di tempat terpencil seperti ini?"

Ia melirik ponselnya, memastikan kembali alamat yang tertera. Lokasi tujuan berada sekitar satu kilometer dari posisinya saat ini, semakin masuk ke dalam hutan yang semakin lebat dan gelap. "Apa bajingan itu benar-benar bukan manusia? Bagaimana caranya aku masuk ke tempat ini?" umpatnya, matanya memindai jalan setapak yang sempit dan berbatu di depannya. Dengan berat hati, ia membelokkan mobilnya dan terpaksa melanjutkan perjalanan ke dalam hutan.

Tak lama kemudian, Taeri tiba di sebuah area terbuka. Ia menghentikan mobilnya dan terpaku, tercengang melihat pemandangan di hadapannya. Sebuah mansion klasik megah berdiri kokoh di tengah hutan pinus, ukurannya mungkin lima kali lebih besar dari lapangan sepak bola. Pilar-pilar tinggi menjulang ke langit, jendela-jendela besar berkilauan memantulkan cahaya matahari, dan taman-taman yang tertata rapi mengelilingi bangunan itu.

"Apakah dia memang sekaya itu? Pantas saja dia berani membunuh sesuka hatinya, karena bisa mengendalikan hukum," gumam Taeri dengan nada getir, menelan ludah dengan susah payah. Ia mengumpulkan keberaniannya, lalu perlahan memasukkan mobilnya ke halaman mansion yang luas itu. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk menyelimuti hatinya.

Saat tiba di depan mansion, Taeri semakin tercengang. Ratusan penjaga bersenjata berjaga di setiap sudut, tatapan mereka setajam elang pemburu, membuat bulu kuduknya merinding. Ia buru-buru keluar dari mobil, kakinya terasa lemas namun ia memaksakan diri untuk melangkah menuju pintu utama. Di sana, Leonardo sudah menunggunya dengan ekspresi tanpa emosi.

"Selamat datang, Nona Kim. Tuan sudah menunggu Anda di atas, silakan masuk," ucap Leonardo datar, namun nada suaranya terkesan memerintah, membuat Taeri semakin waspada.

"Tunjukkan jalannya," sahut Taeri singkat, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mencengkeram dadanya. Jantungnya berdegup tak karuan, seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya.

Leonardo berbalik dan berjalan lebih dulu, membawa Taeri menyusuri lorong koridor yang luas dan mewah. Semakin dalam ia masuk, semakin terpukau ia dengan kekuasaan dan kekayaan yang terpampang di hadapannya. Ia belum pernah melihat manusia dengan pengaruh sebesar ini sebelumnya. Bahkan seluruh kekayaan keluarganya di Korea terasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan "kerajaan" yang berdiri di hadapannya. Akhirnya, mereka tiba di depan sebuah pintu besar. Leonardo berhenti dan menoleh pada Taeri.

"Silakan masuk, Nona. Mohon untuk menjaga sikap dengan Tuan," ucap Leonardo memperingati, tatapannya dingin dan menusuk.

"Tidak usah mengaturku," ketus Taeri, melangkah melewati Leonardo begitu saja. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pintu dan masuk ke dalam ruangan.

Pemandangan serba hitam dan emas menyambutnya, memancarkan aura kemewahan dan kekuasaan yang mencekam. Tatapannya tertuju pada seorang pria berstelan formal yang berdiri membelakanginya di depan jendela besar. Pria itu tampak sudah menyadari kedatangannya.

"Akhirnya kau sampai, kelinci kecil," gumam pria itu, suaranya rendah dan berat, namun sarat akan ancaman. Ia berbalik, menatap Taeri dengan tatapan tajam yang seolah menelanjangi jiwanya. "Silakan duduk dulu. Atau kita bisa minum, kalau kau ingin segelas wine yang menyegarkan ini," ujarnya sambil menunjuk ke meja di dekatnya, di mana beberapa botol wine mahal tertata rapi.

"Tidak perlu basa-basi, Tuan," jawab Taeri dengan nada tegas, berusaha menutupi rasa takutnya. "Sekarang katakan, bagaimana Anda tahu tentang kasus yang menimpa keluargaku? Dan apa tujuan Anda menyuruhku datang ke tempat ini?" Ia menatap pria itu lurus-lurus, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik senyumannya yang misterius.

Pria itu tersenyum tipis, lalu melangkah mendekat ke meja, menyandarkan tubuhnya di sana dengan gaya angkuh. "Ternyata semua informasi tentangmu sangat akurat, Nona Kim Taeri. Seorang mahasiswi yang cukup pintar dan pemberani," gumamnya pelan, namun nada suaranya terdengar mengejek, membuat Taeri semakin geram.

Taeri benar-benar dibuat kesal dengan sikap Azey yang santai dan meremehkannya. "Tuan, saya tanya sekali lagi, apa tujuan Anda menyuruh saya ke sini? Kalau memang karena aku melihatmu membunuh orang malam itu, aku sudah bilang tidak akan ikut campur!" ucap Taeri dengan suara meninggi, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya.

"Kim Taeri, jangan membentakku," peringat Azey pelan, namun suaranya tenang dan terkendali, justru membuat Taeri semakin merinding. "Nasib ayahmu ada di tanganku. Aku bisa membuatnya mendekam di penjara seumur hidup dengan tuduhan pelanggaran tenaga kerja," Azey memberitahu dengan nada dingin, tatapannya menusuk dan tanpa ampun.

Mendengar itu, mata Taeri membulat penuh amarah dan kebencian. "Dasar pria bajingan! Ternyata kau sengaja menjebak keluargaku yang tidak mengetahui apa pun. Kau benar-benar orang yang tidak punya hati!" teriaknya emosi, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia baru menyadari sekarang bahwa semua kejadian yang menimpa keluarganya adalah ulah Azey. Tanpa sadar, ia meraih sebuah vas bunga keramik yang berada di rak buku.

"Mati saja kau, manusia biadab!" teriaknya histeris, lalu melemparkan vas bunga itu sekuat tenaga ke arah Azey.

Azey tidak menghindar atau pun mencoba menangkis. Vas bunga itu menghantam keras keningnya, menimbulkan suara berdebam yang mengerikan. Darah segar langsung mengalir deras dari lukanya, membasahi wajah dan kemejanya. Anehnya, Azey justru tersenyum tipis ke arah Taeri, seolah menikmati emosi gadis itu yang meledak-ledak. Rasa kagumnya pada Taeri semakin membuncah. Keberanian, emosi yang berapi-api, dan kecantikannya seolah harta karun yang baru saja ia temukan di tumpukan sampah Roma.

Taeri yang baru menyadari perbuatannya pun terkejut dan menyesal. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu berlari menghampiri Azey. Dengan panik, ia mencoba menutup luka di kening Azey dengan tangannya yang gemetar.

"Dasar pria bodoh! Kenapa kamu tidak menghindarinya? Apa kamu sudah gila?" bentaknya marah, namun nadanya bercampur khawatir. Azey tersenyum tipis melihat perubahan sikap Taeri yang begitu cepat. Tanpa mempedulikan darah yang terus mengalir, Taeri menarik Azey ke sofa dan mendudukkannya secara paksa.

"Di mana kotak obatnya?" tanya Taeri panik, matanya memindai seluruh ruangan.

Azey menunjuk sebuah lemari di sudut ruangan dengan matanya, raut wajahnya terlihat tenang dan seolah tidak merasakan sakit. Taeri dengan cepat berlari menghampiri lemari itu, mengambil kotak obat, kemudian mulai mengobati luka Azey dengan cekatan. Pria itu menatap Taeri dalam-dalam, mengamati setiap detail wajahnya. Wajah panik dan khawatir Taeri tidak melunturkan kecantikannya sedikit pun, justru membuatnya semakin menarik di mata Azey.

"Kenapa?" tanya Taeri tiba-tiba, suaranya bergetar dan nyaris tak terdengar di tengah keheningan ruangan. Ia menarik tangannya sejenak dari luka Azey, menatap pria itu dengan tatapan penuh pertanyaan dan kekecewaan. Ia ingin meluruskan masalah ini sampai selesai. "Kenapa kamu sabotase bisnis keluarga ku? Apa salahku? Aku cuma ingin mencari udara segar ke atas rooftop, dan tidak sengaja mendengar jeritan kesakitan malam itu!"

"Kenapa aku melakukan ini?" tanya Azey balik, tatapannya mengunci tatapan Taeri, seolah membaca setiap pikiran dan emosi yang berkecamuk dalam benaknya. "Karena kamu adalah Kim Taeri. Makanya aku melakukannya. Kamu sudah mengetahui rahasia misiku, Taeri. Kamu bisa menjadi ancaman yang membunuhku suatu saat. Aku harus menahanmu di sini," Azey tersenyum tipis, begitu menikmati keputusasaan yang terpancar dari wajah Taeri.

"Kamu tidak waras, Tuan! Aku sudah bilang tidak akan menceritakan ini pada siapa pun. Kenapa kamu bersikeras menyuruhku tinggal di sini?" Taeri berdiri dari sofa dengan emosi yang meledak-ledak. Ia ingin pergi, melarikan diri dari mansion ini, karena sudah tidak sanggup menghadapi kegilaan Azey.

"Kamu mungkin tidak akan memberikan laporan itu, masuk akal, kelinci kecil. Tapi tidak akan tertutup kemungkinan para kepolisian akan meminta saksi. Kau satu-satunya orang yang naik ke lantai atas saat aku membunuh bajingan itu," Azey memaksa Taeri untuk memahami bagaimana posisinya sekarang. Ia bangkit perlahan dari sofa, tubuhnya yang tinggi menjulang di hadapan Taeri, membuatnya merasa semakin kecil dan tak berdaya.

Taeri menggeleng keras, air mata mulai mengalir deras di pipinya. "Nggak! Pokoknya aku tetap tidak mau! Aku nggak mau terlibat dengan orang seperti kamu. Anggap saja kalau aku tidak pernah melihatmu malam itu, jadi kamu tidak punya hak menyuruhku tinggal di sini!"

"Kelinci kecil, dengar baik-baik," ucap Azey dengan nada dingin dan menusuk, kesabarannya mulai menipis. "Aku tidak akan memberimu tawaran dua kali. Tapi kalau sekarang kamu bersedia, bisnis papamu akan kembali normal. Kerugian dan biaya korban akan aku urus, klien-klien akan datang. Tapi kalau tidak..." Suaranya merendah, penuh janji gelap yang membuat bulu kuduk Taeri meremang. "...Kau tidak akan pernah bertemu dengan ayahmu lagi."

Taeri terdiam sejenak, napasnya tersengal dan dadanya naik turun dengan cepat. Pikirannya berkecamuk, mempertimbangkan tawaran Azey yang mengerikan. Tapi amarahnya tak kunjung pudar. Ia mundur selangkah, tatapan Azey membuatnya merasa seperti mangsa yang terpojok, siap diterkam kapan saja.

Tiba-tiba, Azey bergerak cepat. Tangannya meraih pinggang Taeri, menariknya kasar ke dalam pelukannya. Taeri tersentak kaget, napasnya tercekat. Sebelum ia sempat bereaksi, bibir Azey sudah menekan bibirnya dengan paksa, ciuman yang penuh dominasi dan nafsu, tanpa kelembutan sedikit pun.

Taeri melawan sekuat tenaga. Ia mencoba mendorong tubuh Azey menjauh, memukul dadanya dengan kedua tangannya, namun tubuh pria itu terlalu kuat, seolah terbuat dari baja. Lidah Azey mencoba menerobos masuk ke dalam mulutnya, membuat Taeri merasa jijik dan terhina. Ini ciuman pertamanya, momen yang seharusnya berharga dan penuh cinta, namun direnggut paksa oleh monster di hadapannya. Emosi membuncah dalam dirinya, rasa jijik, marah, dan luka yang dalam karena dirinya tidak bisa melawan.

Tangan Azey merayap lebih jauh, meremas dada Taeri dengan kasar melalui kain bajunya yang tipis. Rasa sakit dan penghinaan membuat air mata Taeri akhirnya tumpah, isakannya tertahan di tenggorokan, tak mampu keluar. Ia merasa seperti boneka yang dipermainkan, tak berdaya dan tak berharga.

Azey melepaskan ciumannya dengan kasar, napasnya panas di telinga Taeri, membuat bulu kuduknya meremang. "Ini ciuman pertamamu, kan, kelinci kecil? Aku bisa merasakannya. Kepolosan... seperti yang aku bayangkan." Perbuatan dan ucapan Azey berhasil memancing kemarahan Taeri yang selama ini ia tahan. Ia memukuli dada Azey dengan brutal, melampiaskan semua emosi yang ia rasakan.

"Dasar bajingan! Aku benci kamu! Sentuhanmu bikin aku mual, jijik! Dasar monster!" Cacian Taeri bagaikan pujian di telinga Azey, membuatnya semakin tertarik pada gadis yang ada di hadapannya. Ia tersenyum dingin, lalu dengan sengaja melepaskan tubuh mungil Taeri hingga merosot ke lantai.

"Pikirkan tawaran itu sekali lagi, kelinci kecil. Ini bukan akhir, tapi ini awal dari kehidupan yang tidak memberimu pilihan," ucap Azey dengan nada datar, tatapannya dingin dan tanpa emosi. Ia menunggu balasan dari Taeri, namun gadis itu hanya menunduk, tubuhnya gemetar hebat, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Akhirnya, Azey berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Taeri yang meringkuk di lantai, lututnya ditarik ke dada. Ketakutan dan keputusasaan menyelimutinya seperti rantai besi yang mengikatnya erat.

1
Syafa Tazkia
good
Zamasu
Penuh emosi deh!
Shinn Asuka
Wow! 😲
Yori
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!