Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Bab 1 / THTM

Langit sore itu memerah, seperti menyerap segala resah di hati Nayara. Gadis berusia 17 tahun itu berjalan gontai di trotoar kecil, seragam SMA-nya masih melekat, tapi wajahnya basah oleh air mata. Buku-buku pelajaran di tas punggung terasa berat, seolah ikut menekan pikirannya.

“Lima puluh juta…” gumamnya lirih. Kata-kata itu terus mengulang di kepalanya.

Ibunya, pembantu rumah tangga di rumah keluarga besar Alaric, menangis semalam suntuk karena ditagih hutang. Ayahnya yang bekerja sebagai tukang kebun tak sanggup membayar. Semua tabungan habis, gaji bulanan hanya cukup untuk makan. Sedangkan si rentenir mengancam akan menyita rumah kontrakan kecil mereka jika besok uang itu tak diserahkan.

Nayara merasa sesak. Bagaimana mungkin seorang siswi SMA bisa menemukan uang sebanyak itu dalam satu malam?

Ia berlari kecil ke arah taman kota, tempat sepi yang biasanya ia pakai untuk meluapkan air mata. Kursi panjang kayu yang sudah sedikit usang menjadi saksi betapa seringnya Nayara duduk di sana, membiarkan angin sore menghapus tangisnya.

Ia menutupi wajah dengan kedua tangan, pundaknya bergetar. “Kalau aku bisa, aku saja yang bayar, Bu… tapi dari mana?”

Suara langkah sepatu hak terdengar mendekat. Nayara mengangkat wajah, matanya sembab. Seorang wanita glamor berdiri di depannya. Penampilannya mencolok: gaun merah ketat, tas mewah bermerk, parfum semerbak yang menusuk hidung. Bibirnya tersenyum tipis, matanya menatap tajam seakan bisa membaca isi hati Nayara.

“Kenapa nangis, dek?” suaranya serak seksi.

Nayara cepat-cepat menghapus air mata. “T-tidak apa-apa, Kak…”

Wanita itu mengangkat alis. “Bohong. Aku tahu wajah orang yang lagi kepepet. Kamu butuh uang, kan?”

Nayara menelan ludah. Ia ingin bangkit dan pergi, tapi lidahnya kelu. Entah kenapa, aura wanita itu begitu mendominasi.

“Aku… aku cuma lagi pusing,” jawabnya terbata.

Wanita itu duduk di sampingnya tanpa permisi, menyilangkan kaki dengan anggun. “Aku bisa bantu kamu dapat uang. Banyak. Dalam semalam.”

Hati Nayara berdegup. Kata-kata itu seperti kilat di langit gelap.

“Benarkah? Tapi… aku nggak punya apa-apa.”

Wanita itu tersenyum miring. “Kamu punya satu hal yang berharga. Tubuhmu. Keperawananmu.”

Jantung Nayara serasa berhenti. Nafasnya tercekat. Ia menatap wanita itu tak percaya. “A-apa maksud Kakak…?”

“Jangan pura-pura nggak tahu,” wanita itu mendekat, suaranya lirih. “Ada pria yang mau bayar mahal untuk itu. Kamu masih muda, cantik, polos. Nilaimu tinggi.”

Nayara mundur sedikit, tangannya gemetar. “T-tidak… aku bukan gadis seperti itu…”

Wanita itu terkekeh, menepuk pundaknya. “Aku juga dulu sama sepertimu. Tapi kenyataan lebih kejam daripada moral. Kamu butuh lima puluh juta, kan? Aku bisa kasih cek dua ratus juta malam ini juga. Kamu tinggal menutup mata, biarkan selesai satu kali saja. Setelah itu, keluargamu bebas.”

Nayara menunduk. Air mata lagi-lagi jatuh. Bayangan ibunya yang terisak, ayahnya yang murung di kebun, menari-nari di benaknya.

“Dua ratus juta… dalam semalam?” suaranya hampir tak terdengar.

Wanita itu tersenyum lebar, tahu umpan mulai mengena. “Ya. Tapi syaratnya satu: kamu tidak boleh menatap wajah klien. Biar semua lebih mudah. Kamu akan ku pakaikan topeng tipis. Jadi, kamu tetap aman. Dia tidak akan mengenalimu.”

Nayara menggigit bibir. Tubuhnya bergetar hebat. Ia ingin berlari, tapi kaki seakan menancap di tanah. Logikanya menolak, tapi putus asa membungkam semua.

“A-aku… hanya sekali?” bisiknya.

“Hanya sekali,” jawab wanita itu cepat, meski senyumnya penuh tipu daya.

Nayara mengangguk lemah. Matanya kosong, seolah menyerahkan jiwa. “Baik… asal ibu dan ayah bisa terbebas dari hutang…”

Wanita itu langsung berdiri, meraih tangan Nayara, menariknya dengan paksa lembut. “Pintar. Ayo, mobilku di sana.”

Nayara hanya bisa menurut. Langkahnya gontai, setiap detik terasa seperti berjalan menuju jurang. Mobil mewah warna hitam menunggu di tepi jalan. Pintu dibuka, Nayara didorong masuk.

Di kursi empuk itu, ia menatap keluar jendela. Gedung-gedung tinggi berkelebat, lampu kota mulai menyala. Perutnya mual, jantungnya berdebar.

“Ya Tuhan…” gumamnya, “aku harus kuat… demi ibu dan ayah…”

Mobil berhenti di depan sebuah hotel bintang lima yang menjulang tinggi. Lampu-lampu kristal di lobi berkilau bagai istana, membuat Nayara merasa semakin kecil. Ia bahkan belum pernah masuk kafe mahal, apalagi hotel seperti ini.

Wanita glamor itu menurunkan kacamata hitamnya, tersenyum puas. “Ini tempatnya. Jangan takut. Semua sudah diatur.”

Nayara meremas erat ujung roknya. Lututnya gemetar. Saat pintu mobil dibuka oleh petugas hotel, ia melangkah keluar dengan ragu. Sepatu hitam sekolahnya terlihat begitu kontras di lantai marmer putih mengilap.

Di dalam lobi, orang-orang menoleh. Ada yang tersenyum sopan, ada yang memandang dengan sinis. Nayara menundukkan kepala, seolah ingin menghilang.

“Jangan gugup,” bisik wanita itu sambil menuntunnya menuju lift. “Ingat, ini hanya sekali. Setelah itu, kamu bebas.”

Lift berhenti di lantai paling atas. Pintu terbuka memperlihatkan koridor panjang berkarpet merah. Hanya ada satu pintu besar di ujung, dengan ornamen emas di gagangnya. Wanita glamor itu mengetuk pelan, lalu membuka pintu menggunakan kartu akses.

Nayara melangkah masuk. Dadanya naik turun cepat.

Kamar itu luas luar biasa. Ada ranjang king size dengan seprai putih bersih, balkon terbuka menghadap gemerlap kota, meja kaca dengan botol wine, dan aroma wangi bunga mawar memenuhi ruangan. Seolah setiap detail sengaja dirancang untuk memabukkan.

“Duduklah dulu.” Wanita itu menunjuk sofa. Nayara menuruti dengan kaku.

Wanita itu lalu membuka laci, mengeluarkan sesuatu. Sebuah topeng tipis, terbuat dari satin hitam, yang hanya menutupi setengah wajah.

Melihat itu, Nayara tercekat. “Itu… untukku?”

“Tentu,” jawab wanita itu ringan. “Kamu tidak mau wajahmu terlihat, kan? Dengan ini, klien tidak akan tahu siapa kamu.”

Nayara menggenggam ujung rok lebih kuat. “T-tolong… jangan biarkan dia lihat wajahku. Aku… aku takut kalau suatu hari ketahuan…”

Wanita itu mendekat, menempelkan topeng itu ke wajah Nayara, mengikatkan talinya di belakang kepala. “Tenang saja. Kamu akan tetap rahasia. Anggap saja ini hanya mimpi buruk satu malam.”

Nayara menatap dirinya di cermin besar di dinding. Seragam SMA putih abu-abunya masih melekat, wajahnya kini tersembunyi di balik topeng hitam. Gadis itu bahkan tak lagi mengenali dirinya sendiri.

“Bagus,” gumam wanita itu. “Kamu terlihat… eksotis.”

Air mata menetes pelan di pipi Nayara, tertahan di balik kain topeng. Ia menutup mata, membisikkan doa dalam hati. Ya Tuhan… kuatkan aku. Demi ibu dan ayah.

Ketukan pelan terdengar dari pintu samping kamar. Jantung Nayara seolah melompat keluar. Wanita glamor itu tersenyum tipis.

“Itu dia,” katanya lirih. “Ingat, jangan bicara kalau tidak perlu. Jangan buka topeng. Setelah selesai, kamu dapat cekmu.”

Nayara menggenggam erat tangan di pangkuannya, tubuhnya gemetar hebat. Di balik pintu itu, takdir menunggu, siap mengubah hidupnya selamanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!