Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
“Dosa yang Menurun
Langkah-langkah anggun terdengar memecah keheningan restoran yang beraroma kopi dan parfum mahal. Sepasang kaki jenjang berbalut heels berwarna nude melangkah pasti di atas lantai marmer yang mengilap. Setiap ketukannya terdengar tegas namun terukur—milik seorang wanita yang tahu betul bagaimana memegang kendali atas ruang di sekitarnya.
Aurora muncul dari balik pintu kaca. Rambutnya disisir rapi ke belakang, wajahnya memancarkan karisma dingin yang nyaris menakutkan. Setelan jas cokelat muda yang ia kenakan tampak serasi dengan kulitnya yang pucat, menegaskan kesan profesional, namun juga jarak—seolah siapa pun yang menatapnya harus menjaga batas.
Tatapan para tamu restoran sempat mengikuti langkahnya, sebelum Aurora berhenti di sebuah meja di sudut ruangan. Di sana, Siti sudah duduk bersama Santoso dan Aditya, sementara di sisi lain tampak dua anak: Farel dan Kirana.
Aurora menarik napas dalam, menahan beban aneh yang menggelayuti dadanya. Dengan elegan, ia menarik kursi dan duduk di tempat yang sudah disediakan, menyilangkan kaki tanpa menatap siapa pun.
Aditya lebih dulu membuka suara. Senyum tipisnya tampak terpaksa.
“Kau terlihat profesional saat mengenakan setelan jas itu,” katanya, mencoba terdengar santai, meski matanya tidak benar-benar berani menatap Aurora lama-lama.
“Hmph!” Aurora menegakkan tubuhnya, menatap lurus ke depan. “Ini salah orang-orang gila yang menyalahkan pakaian wanita jika ada kasus pelecehan. Padahal yang salah adalah otak orang-orang itu,” balasnya tajam. Nada suaranya jelas menunjukkan kemarahan yang belum sepenuhnya padam—sisa dari kejadian semalam yang masih membakar pikirannya.
Siti menoleh cepat, wajahnya menegang. “Nak, apa yang terjadi padamu? Pelecehan?” tanyanya khawatir, nada suaranya gemetar.
Sebelum Aurora sempat menjawab, Farel yang duduk di samping ibunya bersuara dengan nada sinis. Ia menatap Aurora tanpa ragu, matanya dingin, bibirnya menekan tajam.
“Bukankah pantas? Permen yang tidak dibungkus memang dikerumuni oleh semut, kan? Siapa suruh tidak menutupi permen tersebut agar semut tidak bisa mengerumuninya? Tapi ini bukan tentang semut.”
Kata-kata itu meluncur tajam, membuat udara di meja itu seketika mengeras. Siti membeku, sementara Kirana menunduk, takut ikut terjebak dalam ketegangan yang menekan.
Aurora hanya terdiam sejenak. Lalu, ia terkekeh pelan—bukan tawa bahagia, tapi tawa getir yang terdengar seperti luka lama yang kembali dibuka.
“Karena bukan semut, maka teori ini tidak bisa bekerja. Anak kecil, sebaiknya kau lihat ini.”
Dengan tenang, Aurora mengambil ponselnya dari tas, menyalakan layar, lalu menaruhnya di depan Farel. Cahaya dari layar ponsel menyorot wajah bocah itu yang kini perlahan berubah tegang.
“Lihat,” ucap Aurora dengan nada datar tapi tajam seperti pisau. “Kasus pelecehan terhadap wanita berhijab. Mereka dibungkus rapat—dan tetap jadi korban. Untuk apa permen dibungkus kalau semutnya bisa membuka bungkusnya dengan mudah? Manusia itu punya akal. Hanya kain yang menutupi tubuh, bisa dengan sangat mudah dilucuti. Lagi pula…” Aurora mencondongkan tubuh sedikit, menatap Farel lurus di mata, “kalau kau menganggap perempuan adalah permen, artinya ibu dan adikmu juga sama.”
Ruangan seakan membeku. Suara sendok dari meja sebelah yang jatuh pun tak mampu memecah ketegangan yang menyesakkan dada.
“Tch!” Farel berdecih keras, memalingkan wajah dengan wajah memerah karena kalah debat. Tangannya terkepal di bawah meja. “Sekali pelakor, tetaplah pelakor!”
Kata itu membuat dada Aurora terasa seperti ditusuk jarum halus—bukan karena belum pernah mendengarnya, tapi karena kali ini keluar dari mulut anak kecil. Ia tersenyum getir, menunduk perlahan.
“Kau benar,” katanya pelan. “Bahkan anak kecil saja tahu bahwa kesalahanku tidak bisa dimaafkan. Sekeras apa pun aku mencoba menebus kesalahanku, itu tidak ada artinya, kan?”
Tatapan Siti berubah lembut namun penuh cemas, sementara Aditya dan Santoso hanya diam, tak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Tch! Victim blaming!” Farel menatap Aurora dengan tatapan yang dingin dan penuh penolakan.
Aurora menatap balik, tanpa emosi di wajahnya. “Kau benar,” katanya lirih, suaranya nyaris seperti gumaman pengakuan dosa. “Karena mau bagaimanapun, aku hanyalah darah daging dari seorang pelakor. Darah pelakor mengalir dalam diriku.”
Ia menghela napas, lalu menatap mereka semua. Matanya tampak kosong tapi juga jujur.
“Aku memang dilahirkan menjadi seorang pelakor. Sama seperti ibuku.”
“A—apa?” Farel membulatkan mata, wajahnya seketika menegang. Suara desisnya terdengar di antara deru napas yang tiba-tiba menjadi berat.
Aurora menatap Farel dengan tatapan putus asa. Wajahnya tampak rapuh, seolah menanggung beban masa lalu yang terlalu berat untuk diungkapkan. “Aku hanyalah anak malang yang dari kecil sudah diajarkan cara menjadi pelakor. Karena itu akhirnya aku menjadi pelakor sesuai keinginan ibuku. Maafkan aku karena sudah—”
“Ti- tidak! Tidak perlu minta maaf!” potong Farel tiba-tiba. Suaranya terdengar bergetar, namun sorot matanya tegas. Ia turun dari kursinya; kursi kecil itu berderit pelan saat kakinya yang mungil menapak lantai dingin restoran. Tanpa ragu, dia berjalan ke arah Aurora, menyerahkan selembar tisu yang diambil dari meja. “Itu adalah kesalahan orang tuamu. Kau tidak perlu menanggung kesalahan orang tuamu. Dengan menyadari kesalahanmu sendiri, itu saja sudah cukup.”
Aurora memandangi tisu di tangannya dengan lembut. “Terima kasih banyak.” Ia tersenyum samar, lalu menggunakan tisu itu untuk menghapus air mata buatan di pipinya. Meski air mata itu palsu, kesedihan yang tercermin di matanya tampak begitu nyata—terlalu nyata hingga membuat udara di sekitarnya ikut menegang. “Kau adalah anak yang sangat baik dan bijaksana. Siapa namamu?”
“Farel,” jawab bocah itu singkat.
Aurora menurunkan posisi duduknya hingga sejajar dengan mata Farel. Ia berjongkok perlahan, menatap anak kecil itu dengan pandangan yang dalam dan menggetarkan. “Farel, berjanjilah pada kakak! Kita jangan sampai menjadi orang tua kita sendiri di masa depan. Setuju?”
Suasana restoran mendadak terasa hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar pelan di antara mereka. Farel menatap Aurora dengan sorot mata yang penuh tekad, lalu mengangguk mantap. Ia mengulurkan tangannya yang kecil ke arah wanita itu. “Setuju. Kita putuskan rantai sifat buruk orang tua kita!”
“Setuju!” jawab Aurora dengan nada tegas, menjabat tangan kecil itu erat-erat. Jabat tangan mereka terasa kuat dan simbolis—dua generasi berbeda yang sama-sama bertekad memutus warisan luka dari masa lalu.
Di sisi meja, Aditya memperhatikan mereka dalam diam. Tatapannya dingin namun penuh arti. Ada sesuatu yang berputar di pikirannya; seulas senyum tipis terbentuk di bibirnya, samar dan misterius. Ia memalingkan pandangan ke luar jendela, melihat deretan kendaraan yang berlalu di jalan basah oleh hujan. ‘Farel, ya? Anak ini… sangat mirip dengan seseorang.’
Farel yang semula menatap Aurora kini menoleh ke arah Aditya. Wajahnya yang polos berubah menjadi penuh tekad. “Dan aku juga akan menjadi orang yang sangat hebat seperti Pak pengacara! Aku mau membantu wanita malang seperti ibuku. Seperti bapak dari komnas HAM juga! Aku akan menjadi seorang pria yang memutus rantai patriarki dan misoginis.”
Kata-kata itu meluncur dengan mantap, membuat semua orang di meja itu terdiam sejenak. Aditya menatap bocah itu lebih lama dari sebelumnya—seolah melihat dirinya sendiri di masa kecil. Senyum di bibirnya mengembang perlahan. Dengan nada lembut tapi sarat makna, dia berkata, “Benar! Kau pasti akan menjadi seorang pria yang dapat menyelamatkan wanita malang dengan kepintaranmu. Itu pasti! Saya percaya padamu!”
Aurora ikut tersenyum, namun senyumnya mengandung sesuatu yang berbeda—lebih seperti senyum licik yang menyimpan rahasia. “Pak pengacara, sepertinya masa lalumu sama persis dengan Farel, ya? Sepertinya dugaanku benar. Kau pasti menjadi pengacara karena ingin membantu perceraian ibumu dari ayahmu sendiri.”
“Apa?!” Farel menoleh tajam ke arah Aditya, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan.
Aditya hanya menyeringai tipis, ekspresinya sulit ditebak antara sinis dan tenang. “Itu tidak penting. Karena kita sudah akrab sekarang, tidak ada lagi percekcokan, kita mulai saja membahas tentang perceraian Ibu Siti.”
hahaha 🤣
✿⚈‿‿⚈✿