NovelToon NovelToon
After The Fall

After The Fall

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: ARQ ween004

Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.

Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.

Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.

Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.

Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.

Dan dia adalah sosok itu...

Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

hancur

Pagi itu, aula utama tempat berlangsungnya Olimpiade Sains Internasional terasa riuh dengan tepuk tangan. Bendera-bendera berbagai negara dikibarkan, wajah-wajah lelah tapi bahagia saling bertukar senyum.

Pengumuman resmi baru saja disampaikan — kompetisi berakhir lebih cepat dari jadwal awal. Lima hari sudah cukup untuk menuntaskan semua sesi. Para juri memutuskan mempercepat penilaian karena cuaca Tokyo yang tak menentu dan jadwal kepulangan para delegasi dari beberapa negara yang berubah.

Viora berdiri di barisan depan delegasi Indonesia, mengenakan blazer abu-abu muda dan lencana bendera di dada kirinya. Meski lelah, matanya berkilat dengan semangat yang sulit disembunyikan.

“Lima hari aja?” gumam Arvin di sebelahnya. “Cepet banget, ya.”

“Iya,” jawab Viora dengan senyum lega. “Berarti... kita bisa pulang lebih cepat.”

Ada nada antusias di suaranya — bukan hanya karena ia merindukan rumah, tapi juga karena ada seseorang yang ingin ia segera temui.

°°°

Dua Hari Kemudian – Bandara Narita

Bandara internasional itu sibuk seperti biasa. Di antara koper dan rombongan delegasi yang berpamitan, Viora tampak berdiri di depan toko suvenir Jepang, memegang beberapa tas kertas berisi oleh-oleh.

Kotak mochi rasa matcha, gantungan kimono mini, boneka kokeshi, dan satu scarf sutra putih dengan bordiran kecil berbentuk salju.

“Yang ini buat Rafka,” bisiknya pelan, sambil memegang scarf itu hati-hati. “Dia pasti suka...”

Ia juga membeli sebuah buku catatan kulit hitam untuk ayahnya, teh sakura untuk ibunya, dan boneka kecil berbentuk rubah untuk kedua kakak kembarnya.

Sebelum boarding, Viora menatap layar ponselnya — tanpa membuka chat Rafka kali ini.

Ia tersenyum kecil, menyimpan ponselnya ke dalam tas.

“Kali ini... aku pengen kasih dia kejutan. Bukan kata-kata, tapi kehadiran.” Viora tersenyum kecil sambil merapatkan jaketnya. “Dan... dengan membawa serta kemenangan.”

Ia menatap medali perak yang tergantung di lehernya — pantulan cahaya dari logam itu berkilau lembut di bawah lampu bandara. Hasil kerja keras berbulan-bulan, malam-malam tanpa tidur, dan semua doa yang selalu ia panjatkan.

"Aku berharap setelah ini, hubungan kami akan jauh lebih baik dibandingkan belakangan ini yang terasa begitu berantakan." Gumamnya, penuh akan doa dan harapan.

Ia menutup mata sejenak, membayangkan ekspresi cowok itu — datar tapi hangat, dingin tapi menenangkan. Rafka selalu begitu; dan entah kenapa, bahkan sikap dinginnya pun bisa membuat dada Viora bergetar aneh.

Saat pesawat lepas landas, Viora menatap langit malam Tokyo dari jendela. Kota itu semakin kecil, sementara hatinya terasa semakin penuh. Ia tak sabar ingin sampai di Jakarta, ingin melihat wajah orang yang selama ini hanya ia rindukan lewat layar.

°°°

Malam Hari – Jakarta

Udara Jakarta terasa lembap ketika mobil nya berhenti di depan gedung apartemen tinggi di kawasan Sudirman. Lampu-lampu kota berkelip di kejauhan, menambah kesan nostalgik setelah seminggu penuh di negeri orang.

Viora turun dengan koper kecil dan beberapa tas di tangan. Ia menatap bangunan itu lama — apartemen tempat Rafka tinggal.

“Dia pasti kaget banget kalau tau aku pulang hari ini,” ucapnya pelan sambil tersenyum tipis.

Lift berbunyi pelan saat berhenti di lantai 12. Jantung Viora berdetak cepat. Ia tak tahu kenapa ada rasa gugup yang menekan dadanya, tapi ia mencoba mengabaikan.

Koridor tampak sepi, hanya terdengar suara langkahnya dan dengung AC. Ia berjalan perlahan menuju pintu bernomor 1209 — pintu yang sudah terlalu sering ia datangi.

Ia mengetuk pelan.

Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi.

Lalu... suara samar terdengar dari dalam. Suara yang ia kenal.

Suara Rafka.

Dan — suara lain, seorang perempuan, yang juga terdengar familiar.

Lembut. Manja.

Terlalu akrab untuk sekadar tamu.

Sejenak, Viora menghentikan gerakannya yang hendak membuka pintu dengan akses yang dimilikinya, sambil menajamkan pendengaran untuk menyimak percakapan dua orang di dalam sana."

Lalu terdengar suara seorang perempuan yang berbicara dengan nada emosi juga frustasi di dalam sana.

"Raf, sampai kapan kita harus menyembunyikan hubungan ini? Aku capek, aku cemburu tiap kali lihat kamu dekat sama Viora, dan setiap kali kamu perhatian sama dia." Teriak seorang perempuan yang semakin jelas dia dengar dan Viora semakin yakin siapa pemilik suara itu.

Friska___sahabatnya. Orang yang dulu selalu menjadi tempatnya bercerita tentang Rafka, tentang rasa rindunya, tentang usahanya mempertahankan hubungan dan semua tentang pemuda itu. Tapi tunggu, hubungan? Hubungan apa yang sedang mereka bicarakan?

Mengabaikan rasa penasaran yang menyesakkan, Viora memilih tetap diam, menahan napas, mendengar dari balik pintu, menunggu kemungkinan menyakitkan yang mungkin akan ia dengar.

"Ana! Hey, dengarin aku!"

Deg…

Itu suara Rafka, seseorang yang ia cintai.

Tapi… apa maksudnya? Ana? Panggilan itu hanya digunakan untuk orang yang sangat dekat dengan gadis itu—Friska Anatasya. 'Ana' diambil dari nama tengahnya.

Dan sekarang, Rafka—kekasihnya—memanggil nama itu dengan nada lembut, terdengar begitu akrab… atau bahkan lebih akrab dari yang seharusnya.

Dadanya mulai sesak, seolah sesuatu menghimpit tepat di sana. Tubuhnya tegang, tangan gemetar, sebelum suara di dalam kembali terdengar.

"Aku sayang sama kamu, dari dulu. Kamu tahu itu. Tapi kamu juga tahu, mama papa-ku gak pernah nerima hubungan kita."

"Ya, I know… tapi sampai kapan, Raf? Apa sampai kamu beneran jatuh cinta sama Viora?" tanya Friska.

"Sttt… Kamu ngomong apa sih. Perasaanku gak akan pernah berubah. Aku tetap cinta sama kamu, aku cuma menunggu waktu—waktu yang tepat untuk meyakinkan orang tua ku dan merestui hubungan kita. Tapi aku mohon bersabar sebentar lagi. Aku sama Viora cuma… formalitas, ngerti? Aku gak pernah bener-bener punya perasaan buat dia. Semua itu cuma buat nutupin hubungan kita biar gak ada yang curiga."

Viora terdiam, semua air mata yang menumpuk di sana tumpah tanpa bisa ia tahan. tubuhnya kaku. Rasanya seperti ribuan belati menancap tepat di dadanya, menusuk hingga menjalar ke seluruh tubuh. Napasnya tersengal, pandangannya kabur, dan jantungnya berdegup tak beraturan.

Seluruh dunia seakan runtuh di hadapannya. Setiap kata yang keluar dari mulut Rafka mengiris hatinya. Orang yang selama ini ia percayai, yang ia cintai sepenuh hati… ternyata menempatkan dirinya hanya sebagai formalitas, alat untuk menutupi hubungan nya dengan sahabatnya sendiri.

Air matanya semakin mendesak keluar. Harapan untuk memperbaiki hubungan mereka kini lenyap, tergantikan oleh rasa hancur yang tak mampu lagi ia tahan.

"Jadi... selama ini semua kata-kata manis, semua perhatian... cuma tameng? Cuma kebohongan?"

Tanpa berpikir panjang, ia menekan kartu akses di pintu. Bunyi klik terdengar pelan, diikuti suara pintu yang terbuka.

Friska dan Rafka menoleh bersamaan — mata keduanya membulat, wajah mereka seketika pucat.

Friska yang tadinya berada di pelukan Rafka spontan mendorong tubuh pemuda itu, memutus pelukan mereka dengan panik.

Rafka terpaku, tak sempat menyembunyikan ekspresi bersalah yang jelas tergambar di wajah nya.

Viora berdiri di ambang pintu. Matanya memerah, air matanya mengalir tanpa henti. Napasnya tersengal. Tangannya masih menggenggam koper kecil, sementara medali perak di lehernya memantulkan cahaya lampu — seolah menjadi ironi atas kemenangan yang kini tak berarti apa-apa.

“Jadi... ini kejutan yang aku terima setelah pulang?”

Suaranya bergetar, tapi nadanya datar — dingin dan getir di waktu yang sama.

Rafka melangkah mendekat, panik. “Viora... tunggu, aku bisa jelasin—”

“Jelasin apa?” potongnya cepat, menatap dengan mata berkaca. “Kalau ternyata semua ini cuma permainan buat nutupin hubungan lo sama sahabat gue sendiri?”

Deg...

Tubuh Rafka seketika kaku. Wajahnya memucat, begitu pula Friska yang berdiri di belakangnya — sama-sama membeku, seperti baru tersadar bahwa segalanya telah terbongkar terlalu cepat, jauh sebelum mereka sempat menyusun alasan untuk mengelak.

Rafka berusaha menelan ludah, mencoba menenangkan napas yang terasa sesak di dadanya. “Vi... ini gak kayak yang kamu pikir—”

“Cukup, Raf.” Suara Viora terdengar datar, tapi tajam, memotong setiap kata yang hendak keluar dari bibirnya. “Gue gak butuh lo jelasin apa pun. Karena semua udah jelas.”

Ia menatap keduanya bergantian, tatapannya dingin namun menyala oleh luka yang dalam. “Gue denger semuanya. Dari awal.”

Rafka menatapnya tak percaya. “Tapi Vi, lo gak tau konteksnya—”

“Kon... teks?” Viora tertawa kecil, lirih dan getir. “Lo pikir masih ada konteks yang bisa nyelamatin lo setelah lo bilang kalau hubungan kita cuma formalitas?”

Rafka terdiam, wajahnya kehilangan warna. “Vi, aku—”

“Udah!” potong Viora lagi, lebih keras kali ini. “Udah cukup alasan dan kebohongan lo! Gue udah cukup sabar buat percaya sama hubungan ini, buat percaya kalau lo cuma sibuk sama urusan OSIS lo. Tapi ternyata, selama ini yang lo lakuin cuma mainin gue di belakang.”

Rafka melangkah satu langkah mendekat, mencoba bicara lagi, tapi Viora mundur satu langkah penuh penolakan. “Gue kira lo cuma capek, Raf. Gue kira lo cuma butuh waktu. Tapi ternyata yang lo butuh cuma tempat buat sembunyi... dan gue.... , cuma tamengnya.”

"Viora tertawa kecil — lirih, getir, dan patah.

“Ternyata… yang paling nyakitin itu bukan kehilangan,” suaranya bergetar. “Tapi sadar kalau selama ini gue cuma bagian dari permainan.”

Matanya beralih dari Rafka ke Friska, bergantian, penuh luka dan kekecewaan. “Makasih, Raf, buat semua kepalsuannya,” ucapnya tajam pada Rafka, sebelum menatap Friska yang tersentak dan buru-buru menunduk, tak berani menatap balik.

“Dan lo…” suaranya meninggi, “lo tuh orang yang paling gue percaya, Fris. Kenapa lo tega ngelakuin ini semua ke gue?!” teriaknya, napasnya berat, hampir terisak.

“Gue salah apa sama kalian, hah? Kenapa kalian setega ini sama gue?”

Kata-kata terakhirnya keluar lirih, nyaris terputus. Tubuhnya goyah, hampir ambruk ke lantai—namun Rafka cepat menahan lengannya.

“Vi, denger dulu aku—”

“Stop!” bentaknya keras sambil menepis tangan Rafka kasar. “Jangan sentuh gue! Gak usah pura-pura peduli, padahal lo dalang di balik semua kehancuran ini!”

Suaranya pecah di akhir kalimat. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Gue salah apa, sih, Raf? Dosa apa yang pernah gue lakuin sampai harus dapet pengkhianatan sedalam ini... dari orang yang paling gue sayang?” serunya frustrasi, disertai kepalan tangan yang menghantam dada Rafka — dan lelaki itu hanya diam, membiarkan Viora meluapkan emosinya.

“Maaf.” Hanya satu kata itu yang keluar dari mulut Rafka kali ini. Bahunya merosot, pandangannya jatuh ke lantai. Ada sesal yang nyata di wajahnya. “Aku minta maaf.”

“Lo jahat, Raf...” isak Viora, suaranya melemah. Ia menumpukan kepala di kepalan tangannya yang ada di dada Rafka dengan sisa tenaga, lalu perlahan mengangkat wajahnya — menatap lelaki itu dengan pandangan penuh luka. “Mulai sekarang... hubungan kita selesai.”

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik. Langkahnya cepat, hampir berlari. Napasnya tersengal, penglihatannya kabur oleh air mata.

Dan tanpa mereka sadari, ada seseorang yang sejak tadi menyaksikan pertengkaran itu—melihat bagaimana hancurnya Viora malam ini.

Sosok ber-hoodie hitam itu bersandar di dinding ujung lorong, diam, tapi matanya tajam mengikuti setiap langkah Viora yang keluar dari kamar 1209 dalam keadaan kacau. Ia menatap punggung kecil yang bergetar itu, hingga akhirnya menghilang di balik pintu besi lift yang menutup perlahan.

Rahangnya mengeras. Pandangannya dingin, tapi di baliknya ada sesuatu yang lain—marah, tersinggung, sekaligus iba. Ia kembali menatap arah lift yang telah turun, lalu beralih ke pintu kamar bernomor 1209.

“Lo salah udah nyakitin dia kayak gitu, Raf,” gumamnya pelan. Tatapannya berubah tajam. “Dan kali ini... gue gak bisa terima.”

***

1
Mar lina
pasti Agler
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
siapa ya
sosok misterius itu???
Mar lina
bener Rafka ada main sama sahabat Viola
lanjut thor
Yunita Aristya
kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭
ARQ ween004
Aku update tiap hari jam delapan ya! makasih yang udah mampir 🫶 tinggalkan jejak kalian di kolom komentar sini ya! biar aku tambah semangat nulisnya, hhe...

love u sekebon buat para readers ku🫶🫶
Madie 66
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
ARQ ween004: makasih kembali, makasih udah baca cerita ku dan aku juga senang kalau kalian suka🫶🫶
total 1 replies
Carlos Vazquez Hernandez
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Kelestine Santoso
Menguras air mata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!