NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:380
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Wanita itu melangkah masuk dengan tenang , menapaki lantai marmer yang berkilau terkena cahaya lampu chanderlir . langkahnya tidak terburu, tidak ragu, namun juga tanpa ketegasan agresi.Seakan ia tahu setiap sentimeter mansion ini pernah menjadi miliknya juga.

Jubah hitamnya menyapu marmer, menyisa kan garis air tipis di lantai yang dingin. Rambut hitamnya dengan semburat ungu gelap mengalir dari balik tudung seperti kabut malam yang dicelup tinta.

Di tangannya, ia menggenggam sebuah tongkat kayu tua. Ukiran bunga peony memenuhi batangnya dari pangkal hingga ujung detail halus, klasik Tiongkok kuno, dan bukan benda yang sembarang orang bisa memiliki.

Topeng hitam yang ia kenakan membentuk siluet merak, mata tertutup payet hitam redup, seperti mata burung yang selalu mengawasi dalam diam.

Eliot menegang di tempatnya. Nafas Apollo berubah pelan. Ada kemarahan yang tidak langsung meledak, tapi justru menurun, mengendap ke kedalaman yang jauh lebih berbahaya saat wanita itu menapakan kakinya di mansion Dragunov.

Wanita itu berhenti tepat tiga langkah dari Apollo. Angin malam menutup pintu perlahan di belakangnya, seperti dunia luar sengaja memutuskan keluar dari percakapan ini.

Dengan gerakan pelan namun pasti, wanita itu melepas topeng hitam meraknya. Topeng itu terhempas ke lantai dengan suara sangat pelan… namun terasa seperti gempa di ruang hening itu.

Dan wajah itu, akhirnya terlihat.Alexandra Dragunov. Adik kandung Apollo. Wanita yang ia percaya mati dan yang telah mengkhianati nya.

Eliot dan Johan tak sanggup bergerak.Mereka tahu . momen ini bukan sekadar reuni berdarah.Ini adalah pembuka bab perang keluarga Dragunov yang kedua.

Alexandra mendekat selangkah, lalu menancapkan tongkat bunga peony itu di lantai marmer di antara mereka.Benar-benar seperti deklarasi tak terucap.

“Aku kembali bukan untuk balas dendam,” ucap Alexandra.

Ia menatap Apollo lurus. “Namun untuk memperingatkanmu.”

Apollo tidak bergerak. Tidak mundur. Tidak menyerang. Tapi pupil matanya mengecil seperti seseorang yang baru ditembak di dada tanpa peluru.

“…Alexandra.”

Nada suaranya datar. Bukan kaget ,tapi pengakuan bahwa luka lama yang ia kubur dengan tangan sendiri… baru saja terbuka lagi.

Wanita itu tersenyum tipis. Senyum yang bukan kebanggaan… tetapi seperti seseorang yang datang membawa konsekuensi dari masa lalu.

“Sudah lama, kak.” ucap Alexandra pelan.

Suara itu masih sama. Suara yang dulu terakhir kali ia dengar saat penghianatan terakhir itu terjadi.

Apollo menarik napas panjang. “Seharusnya kau tetap mati.”

Alexandra menunduk sedikit, seolah menerima kalimat itu tanpa protes.“Dan seharusnya kau tidak pernah berhenti mencariku.”

“Wanita yang kau kejar malam ini…” Alexandra tersenyum samar. “…bukan yang kau kira.”

Apollo menyipitkan mata. Alexandra menunduk sedikit, meraih sebuah gelas kristal dari rak minuman, menaruh es batu dua balok, lalu menuang sedikit whiskey, hanya sedikit, lalu menatap cairan kuning keemasan itu seolah sedang membaca sinyal masa depan.

“Wanita bertopeng tadi… bukan musuhmu.” ucap Alexandra

Apollo tertawa pelan; bukan tawa yang hangat, melainkan sinis. “ Jadi menurutmu Dia menyerangku dengan maksud damai?”

“Dia menahan diri. Kau tahu itu.”

Apollo tidak menjawab , karena itu benar.

Wanita itu tidak menggunakan finishing kill padahal dua kali ia punya momentum.

Apollo berdiri di dekat meja kerja besar dari obsidian hitam. meja yang menjadi simbol kekuasaannya selama bertahun-tahun. Kini… ia tampak serius, tegang, namun tanpa letupan amarah.

Ia tidak bisa marah pada hantu dari masa lalu yang tiba-tiba kembali hidup. “Jadi kau memilih cara dramatis masuk malam ini?” suara Apollo rendah. “Seharusnya kau tahu, aku hampir menembakmu tadi.”

Alexandra menatapnya sambil menyingkirkan helaian rambut ungu gelap dari pipinya.

.Alexandra menggeser helaian rambut ungu dari pipinya, nada suaranya datar, dingin. “Kalau itu membuatmu merasa bangga, kak… simpan perasaanmu.” Ia meneguk whisky itu dengan tenang.

“Kalau dia benar-benar ingin kau mati…” Alexandra menatap Apollo lurus, tajam seperti panah, “…kau tak akan pulang ke mansion malam ini.”

Hening. Eliot maju hendak ikut campur, tapi Apollo mengangkat tangan dengan cepat tanpa menoleh. “Lanjutkan,” katanya.

Alexandra melangkah ke jendela besar yang menghadap taman belakang. Bambu di luar berbisik pelan ditiup angin , berbaur dengan aroma tanah basah dan bebungaan.

“Wanita itu sudah lama diincar oleh pasukan bayangan Timur Tengah,” katanya pelan. “Mereka memanggilnya ‘Legenda Phoenix Teratai’. Apakah dia tidak memberimu… teratai itu?”

“Di mana dia sekarang?” suaranya akhirnya terdengar, pelan, hampir seperti pengakuan bahwa ancaman dan rindu sedang membunuhnya bersamaan.

Alexandra memutar gelasnya, es berderak pelan, lalu tersenyum tipis, bukan kemenang an, melainkan iba yang dingin. “Di tempat yang sama di mana ia mungkin pernah menyerangmu. Dan di tempat itu juga… ia mungkin akan lenyap lagi.”

_Cut to Scene Dermaga _

Di ujung dermaga sunyi, seorang wanita duduk di atas batu besar yang menjorok ke laut, jemarinya memetik senar sitar kuno dari Tiongkok. Nada yang keluar lembut, melankolis, seperti musik klasik yang meretakkan keheningan ombak malam.

Ia mengenakan hanfu hitam dengan semburat ungu gelap yang terlihat anggun, seperti bayangan tinta di permukaan air.

Topeng bulan tipis menutupi mata kirinya saja, memberikan siluet misterius setiap kali angin laut melambai pada rambut panjang nya.

Wanita itu mendongak pelan ke langit. Bulan setengah tertutup awan hitam, seolah sedang bersembunyi dari dunia.

Angin dermaga menerpa wajahnya, dingin, namun lembut dan justru menyentuh satu bagian dalam dirinya yang sudah lama ingin ia kubur.

Di sampingnya, seekor kelinci putih kecil duduk tenang… memeluk teratai hitam di pelukannya. Diam, setia, seperti penjaga senyap dari rahasia yang akan segera pecah.

—Cut to Scene _ mansion Dragunov

Alexandra meneguk sisa whisky di gelasnya hingga habis, lalu turun dari kursi bar dengan gerakan ringan dan pasti.

“Tapi kau tidak perlu menemui dia sekarang,” ucap Alexandra pelan, matanya memandangi Apollo tanpa berkedip. “Lebih baik kau mencari istrimu dulu. Sejak tadi… aku tidak melihat raut wajahnya di dalam mansion.”

Apollo mendengus malas, tapi ada kegelisah an kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Ia sendiri tidak tahu… di mana Lyora berada.

Alexandra mengambil tongkat peony miliknya, mengangkatnya dari lantai marmer dengan satu gerakan ringan. Gaun hitamnya bergerak seperti air tinta.

“Aku sudah mengatakan apa yang perlu kau tahu untuk malam ini,” ujarnya pelan.

Ia berjalan melewati Apollo tanpa menyentuh nya, tanpa memperlambat langkah. Hanya helai rambut ungu itu yang menyentuh udara, seperti aroma nostalgia yang sengaja tidak pernah ia izinkan benar-benar mati.

Di ambang pintu, ia berhenti sejenak, tak menoleh, tetapi suaranya terdengar cukup jelas untuk menusuk punggung Apollo.

“Jika kau terlambat mengambil keputusan lagi, Dragunov… maka bukan dia saja yang akan lenyap. Kau juga akan hancur bersamanya.”

Lalu ia melangkah keluar. Pintu besar itu tertutup perlahan di belakangnya , pelan, berat, dan beresonansi seperti sebuah peringatan yang tidak bisa ditarik kembali.

Hening kembali memenuhi ruang kerja obsidian. Eliot menatap Apollo seakan siap bicara, namun Apollo hanya mengangkat tangan lagi, melarang. Tatapan Apollo jatuh pada kaca jendela yang memantulkan wajahnya sendiri . dingin, rapuh, dan penuh bayangan.

Lyora…

entah di mana sekarang.

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!