Ivana Joevanca, seorang wanita ceria dan penuh ide-ide licik, terpaksa menikah dengan Calix Theodore, seorang CEO tampan kaya raya namun sangat dingin dan kaku, karena tuntutan keluarga. Pernikahan ini awalnya penuh dengan ketidakcocokan dan pertengkaran lucu. Namun, di balik kekacauan dan kesalahpahaman, muncul percikan-percikan cinta yang tak terduga. Mereka harus belajar untuk saling memahami dan menghargai, sambil menghadapi berbagai tantangan dan komedi situasi yang menggelitik. Rahasia kecil dan intrik yang menguras emosi akan menambah bumbu cerita.
“Ayo bercerai. Aku … sudah terlalu lama menjadi bebanmu.”
Nada suara Ivy bergetar, namun matanya menatap penuh keteguhan. Tidak ada tangis, hanya kelelahan yang dalam.
Apa jadinya jika rumah tangga yang tak dibangun dengan cinta … perlahan jadi tempat pulang? Bagaimana jika pernikahan ini hanyalah panggung, dan mereka akhirnya lupa berpura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 - Jejak yang Kembali
Keesokan harinya, suasana kantor Theodore Corp kembali padat dengan agenda. Ivy baru saja selesai mendampingi rapat kecil bersama dua direktur divisi, tablet di tangannya penuh catatan. Ia berjalan menuju ruangannya melewati koridor utama di lantai eksekutif.
Langkahnya melambat begitu matanya menangkap pemandangan di ujung koridor.
Di depan ruang CEO, Beatrice berdiri anggun dalam balutan setelan formal berwarna biru gelap. Rambutnya ditata rapi, wajahnya tampak segar seolah sengaja dipoles sempurna pagi ini.
Dan di hadapannya — Calix.
Pria itu berdiri dengan kedua tangan di saku, wajahnya dingin seperti biasa. Dari jauh, Ivy bisa melihat bibir Beatrice bergerak, entah apa yang ia katakan. Senyumnya tipis, matanya sesekali menatap Calix dengan lembut.
Calix hanya menanggapi seperlunya, tanpa ekspresi berlebihan. Namun entah kenapa, pemandangan itu tetap menusuk perasaan Ivy.
Ia tidak mendengar sepatah kata pun, hanya bisa menebak isi percakapan mereka dari bahasa tubuh. Beatrice tampak berusaha lebih dekat, sedikit mencondongkan tubuh, sementara Calix tetap menjaga jarak dengan sikap formal.
Ivy berdiri sejenak, jarinya mengetuk ringan sisi tablet, pura-pura sibuk menyalakan layar. Tapi matanya tetap mengarah pada keduanya. Ada sesuatu yang berdenyut samar di dadanya, rasa tidak nyaman yang sulit dijelaskan.
Beberapa staf yang lewat sempat menyapa Ivy, membuatnya tersadar. Ia mengangguk tipis, kemudian menatap keduanya lagi. Beatrice masih di sana, tersenyum lembut. Calix masih berdiri, tatapannya sulit ditebak.
Namun tidak berlangsung lama sampai seseorang menyebut namanya dengan begitu jelas di telinganya.
"Miss. Ivana."
Tepat di sampingnya, Ryuu Kairo berdiri dengan senyum sopan, seperti pria yang kebetulan lewat padahal jelas sekali ia sengaja menunggu. Jas hitamnya jatuh rapi, aura tenang khasnya kontras dengan hiruk-pikuk staf yang berlalu-lalang.
“Sepertinya ada pemandangan yang tidak menyenangkan, ya,” ucap Kairo, suaranya dalam dan terukur, namun matanya ikut menyorot ke arah Beatrice dan Calix.
Kairo menoleh ke arah ujung koridor — tepat ke tempat Beatrice masih berdiri berbincang dengan Calix. Tatapan itu cukup membuat Ivy merasa seperti ketahuan tengah memandangi sesuatu yang bukan urusannya.
“Ada yang bisa saya bantu, Sir. Kairo? Sepertinya tidak ada agenda resmi untuk Anda datang hari ini." Nada itu terdengar tidak ramah, namun sebisa mungkin agar tidak menyinggung rekan bisnis mereka.
Kairo tidak terpengaruh nada Ivy. Malah, senyumnya justru bertambah samar, seolah menikmati jarak dingin yang Ivy ciptakan.
“Benar. Tidak ada agenda resmi,” jawabnya tenang. “Tapi saya pikir … alasan pribadi juga bisa jadi cukup untuk datang.”
Ivy mengerjap pelan, keningnya berkerut. “Alasan pribadi?” ia ulang, sengaja menekan suara agar terdengar datar. “Ah ... jika Anda maksud adalah alasan pribadi dengan CEO, tentu. Akan saya panggilan seka —”
“Bukan CEO.” Kairo memotong kalimatnya.
Kening Ivy berkerut bingung. “Lalu?”
“Lebih tepatnya waktu pribadi dengan Nona Ivana Joevanca.”
Tubuh Ivy langsung menegang mendengar nama belakangnya disebut begitu saja. Jemarinya yang menggenggam tablet membeku, sementara matanya terarah tajam pada pria di depannya.
“Apa maksud Anda menyebut nama itu?” suaranya pelan, tapi mengandung ketegasan.
Kairo sedikit memiringkan kepala, senyum tipisnya tidak luntur. “Sayang sekali. Padahal aku sudah tumbuh setampan ini sesuai permintaan seseorang.”
Ivy terdiam. Dadanya berdegup lebih cepat. Nama Joevanca jarang sekali ia sebutkan di tempat ini. Hampir tidak ada yang tahu — bahkan di Theodore Estates hanya beberapa orang tertentu saja yang paham latar belakangnya. Itu pun hanya Trevor.
"Siapa kau?" Nada suaranya terdengar curiga. Hilang sudah sikap formalnya.
Kairo menurunkan nada suaranya, kali ini nyaris seperti bisikan. “Kau dulu selalu bilang ingin kabur dari rumah? Lalu aku ikut, hanya agar kau tidak tersesat. Kau menjerit-jerit karena takut dimarahi, tapi tetap saja keras kepala. Yang terakhir, kau menyuruhku berjanji untuk menikahimu setelah dewasa."
Kilasan samar langsung melintas di benak Ivy. Suara tawa anak-anak, matahari terik, langkah kaki berlari di trotoar, dan seulas wajah bocah laki-laki berambut hitam yang menatapnya dengan setia.
Napas Ivy tercekat. “Kau …”
Ivy terbelalak, tubuhnya menegang seketika. Ingatan samar mulai muncul lagi — masa kecilnya, saat ia sering memberontak aturan keluarga, ada seorang anak lelaki Jepang yang ikut tertawa bersamanya. “Liuu?” suaranya nyaris berbisik.
Liuu bukan Ryuu karena mulut kecilnya belum mampu menyebut huruf dengan sempurna.
Kairo menatapnya dalam, penuh kemenangan kecil. “Ya. Aku.”
Ivy buru-buru menguasai dirinya, menegakkan bahu, meski ada guncangan samar di dalam hatinya. “Itu … sudah lama sekali. Tidak relevan sekarang.”
“Tidak relevan?” Kairo mengangkat alis, masih dengan ketenangan khasnya. “Aku pikir justru relevan. Karena aku tidak pernah lupa.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, senyumnya berubah lebih dalam. “Dan aku ingin makan siang dengan gadis kecil keras kepala itu — yang sekarang berdiri di depanku dengan wajah pemarahnya yang khas.”
Ivy mengerjap cepat, lalu berpaling setengah, mencoba memutus kontak mata. Bukan saatnya untuk mengenang masa lalu, atau pun bersikap sok akrab.
“Saya sudah bilang, jadwal saya padat. Anda sebaiknya menjadwalkan pertemuan resmi melalui sekretaris CEO," ucapnya, mengembalikan sikap formalnya sesuai tempat — membuang malu.
Astaga, dia tidak datang untuk menagih janji pernikahan, kan? Bagaimana itu hanya janji yang dibuat oleh anak-anak.
Kairo tertawa singkat, lembut tapi jelas menyindir. “Sekretaris CEO? Jadi kau menyuruhku membuat janji dengan dirimu sendiri?”
Ivy terdiam, bibirnya mengetat.
Kairo kembali berkata, kali ini dengan nada lebih rendah. “Kalau begitu, mungkin hanya secangkir kopi singkat? Lima belas menit saja. Ku pikir, seorang Ivana Joevanca tidak pernah kehabisan waktu untuk hal-hal kecil. Atau sudah berubah?”
Ivy menelan ludah. “Itu dulu,” balasnya dingin. “Sekarang saya berbeda.”
“Tapi saya masih melihat gadis yang sama.” Nada suara Kairo melembut, hampir seperti bisikan rahasia.
Pupus sudah ketenangan Ivy. Ia menoleh cepat, sorot matanya penuh kewaspadaan. “Kau tidak menganggap masa kecil itu serius, kan?”
Kairo tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, seperti berusaha menembus lapisan dinding yang Ivy bangun. Senyum itu tetap ada, tapi kali ini bukan senyum main-main. Ada ketulusan samar yang menyusup di sana.
“Bagiku, masa kecil itu lebih dari serius,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah tapi mantap. “Itu satu-satunya waktu aku merasa punya seseorang yang benar-benar melihatku … meski hanya sebentar.”
Ivy tersentak kecil, tidak menyangka jawaban itu akan sedalam itu. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura memeriksa tablet di tangannya, meski layar tidak benar-benar ia lihat.
“Kau salah orang,” katanya kaku. “Aku bukan lagi anak kecil yang kau kenal.”
“Benar.” Kairo mengangguk ringan. “Kau bukan lagi gadis kecil keras kepala yang memaksa lari dari rumah. Sekarang kau wanita dewasa yang … lebih pandai menyembunyikan keras kepalanya.”
“Aku minta maaf soal janji itu. Aku sudah menikah dan —”
“Aku tahu. Alec sudah menceritakannya. Adiknya sudah menikah dengan pria tampan lainnya — dengan pria yang belum tentu mencintainya.”
Ivy menggertakkan gigi, berusaha menahan diri.
"Apa maumu, Kairo?"
“Aku sudah bilang,” jawabnya singkat. “Makan siang bersamaku.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menurun jadi bisikan. “Kecuali … kau ingin aku mengingatkan Alec bahwa adiknya bekerja diam-diam di perusahaan suaminya sendiri?”
Jantung Ivy berdegup keras. Kata-kata itu seperti tamparan yang telak.
Sorot matanya langsung menajam, penuh peringatan. “Jangan coba - coba!"
Kairo hanya menatap balik dengan tenang, senyumnya kembali muncul—lebih lembut kali ini. “Kalau begitu, kita sepakat. Besok, jam makan siang. Aku tunggu.”
Ia mundur satu langkah, memberi hormat kecil seperti seorang pria Jepang yang terlalu sopan, lalu berbalik pergi dengan elegan.
Ivy masih berdiri di tempatnya, tangan meremas tablet hingga nyaris terlepas. Ia berusaha mengatur napas, menenangkan gejolak yang mendadak muncul.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Udah imbas belom?...
...Gantian kita buat panasin si doi ya wkwk...
syemangat ka ros /Kiss/
apa itu ibunya ivy?! "/Blush/apa mungkin alec ma ivy lain ibu ataukah ataukah ataukah?!! /Smirk/
jd inget eve kannn yg bocah kembar kayak emy ma lily
lanjut ka... /Kiss//Kiss/
semangat ka ros/Kiss/
up banyak-banyak
smangat 💪💪💪