cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 - Gitar
Keesokan paginya, di kelas.
"Kenapa kamu kelihatan lesu begitu?" tanya Reina, menatap Vio yang meletakkan kepala di meja.
"Aku cuma tidur terlalu larut," jawab Vio pelan, mencoba tersenyum tipis.
"Oh! Kalau kamu tertidur nanti, tenang aja, aku yang bakal bangunin." Reina tersenyum ramah, tanpa menyadari bahwa kata-katanya menekan hati Vio sedikit lebih dalam.
Vio hanya menghela napas dan merapikan meja. Sudahlah...
Seperti biasa, kami datang paling awal. Tissa tadi bilang akan mampir ke rumah orang tuanya dulu, jadi dia berangkat bareng Mama dan sudah izin ke wali kelas...
Kelas dimulai. Di tengah pelajaran, kelopak mata Vio mulai berat. Kepalanya ikut menunduk, dan tanpa bisa melawan, ia tertidur. Bunyi duk! yang cukup keras mengejutkan seluruh kelas
—kepala Vio membentur meja.
Ia terbangun seketika, memandangi sekeliling dengan wajah merah. Guru hanya menghela napas, lalu memberi isyarat agar Vio pergi mencuci muka.
Di kamar mandi, Vio menatap cermin.
"Ugh... Itu tadi memalukan banget... Semua orang lihat ke arahku."
"Aku nggak mau balik ke kelas..."
"Kalau bisa menghilang sekarang, aku bakal—"
"Hei." Suara familiar memotong gumamannya. Reina muncul dari balik pintu.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Vio gugup.
"Aku bilang ke Bu Guru kalau kamu mungkin sakit. Ini udah lima belas menit, tahu?"
"Lima... belas?" Vio terkejut. Ia pikir baru beberapa menit saja berlalu.
Mereka kembali ke kelas. Namun guru memanggil Vio dan memberinya tugas ringan yaitu menghapus papan tulis dan mengantar kertas yang dibawa guru ke ruang guru.
Di ruang guru, sebelum sempat bicara, gurunya sudah menghela napas.
"Kamu lagi, Vio..."
"Maaf, Bu... saya—"
"Kamu sering tidur di kelas, tapi nilai kamu juga bagus. Jadi ini cuma peringatan, ya?"
"Iya, Bu. Terima kasih, dan maaf..."
Kembali ke kelas, semua mata menoleh padanya. Vio menunduk dan berjalan cepat ke bangkunya.
Pelajaran berlanjut. Reina diam-diam menyodorkan secarik kertas bertuliskan:
“Maaf, aku tadi nggak memperhatikan”
Vio membalas singkat:
“Tidak apa. Aku juga salah.”
Saat istirahat, suasana di antara mereka sedikit canggung. Vio ingin bicara, tapi ragu. Seperti biasa, ia terlalu pasif untuk memulai.
Bel pulang berbunyi. Saat perjalanan pulang, Vio sengaja mengambil jalan memutar. Ia kembali ke toko musik kecil yang dulu sempat ia datangi.
Toko itu masih sepi. Damai. Seperti tempat rahasia di tengah dunia yang ramai. Vio menatap gitar yang sama... gitar yang selalu menarik perhatiannya.
“Ini ketiga kalinya kamu datang ke sini,” suara berat pemilik toko membuatnya tersentak.
“Ah, iya... maaf. Gitar ini... selalu membuatku tertarik.”
“Kamu menginginkannya?”
“Aku... nggak punya uang.”
Pria itu tertawa kecil. “Kamu nggak perlu membayar.”
“Apa maksud Anda?”
“Nyanyikan satu lagu. Kalau aku puas, gitar ini milikmu.”
Vio ragu. Tapi hatinya tahu—ia benar-benar menginginkannya.
Ia setuju. Lalu menarik napas, menutup mata, dan mulai bernyanyi:
**🎶
I heard your voice in the silent breeze
Whispering dreams among the trees
Your shadow fades but still I feel
The warmth of something once so real
Wasurenaide ano hi no koto
Kokoro ni mada nokotteru yo
Don’t forget that day, it still lives in my heart
Like stars in the night sky
Tōku hanaretemo
Even if we're far apart
You’ll always be my light
Toki ga tomattemo
🎶**
Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam lagu.
Saat membuka mata, pemilik toko berdiri terpaku. Matanya tak berkedip.
Vio gugup. “Maaf... lagu itu belum selesai...”
Namun si pemilik toko hanya mengangguk pelan, seperti belum bisa bicara.
Ia akhirnya tersenyum.
“Gitar ini... milikmu sekarang.”
Vio masih memandangi gitar di tangannya. Rasanya seperti mimpi. Permukaannya halus, warnanya hangat, dan saat jemarinya menyentuh senarnya, denting kecil mengalun begitu jernih.
"Terima kasih banyak..." ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.
Pemilik toko hanya mengangguk sambil tersenyum. "Rawat dia baik-baik. Suaramu... bukan suara yang bisa diajak main-main."
Vio menunduk dalam-dalam, lalu keluar dari toko dengan gitar dalam pelukan. Angin sore mengibaskan rambutnya. Di jalan pulang, dunia terasa sedikit lebih ringan, lebih hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dia merasa dihargai karena menjadi dirinya sendiri.
Keesokan harinya.
Vio datang lebih pagi dari biasanya. Gitar barunya tak ia bawa ke sekolah, tentu saja, tapi hatinya masih membawa gema lagu itu.
Reina datang tak lama kemudian. Ia duduk di bangkunya, mencuri pandang ke arah Vio.
"Kamu... kelihatan lebih segar hari ini," komentarnya sambil membuka buku.
"Hm? Mungkin karena aku tidur lebih cepat semalam," jawab Vio singkat. Ia tersenyum kecil bukan untuk menyembunyikan apa-apa, tapi karena ia benar-benar merasa sedikit lebih baik.
Reina memperhatikannya sejenak, lalu membuka mulutnya seolah ingin bertanya sesuatu namun mengurungkannya.
Dia berubah sedikit... tapi aku belum tahu kenapa, pikir Reina dalam hati.