DALAM PROSES REVISI
"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Berikan Aku Waktu
Kevin berjalan menyusuri koridor pusat pelatihan memasak dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Dalam beberapa minggu terakhir, kedekatannya dengan Cassie semakin intens.
Wanita itu memang belum membuka hati, tapi dia bisa merasakan bahwa kehadirannya mulai diterima. Cassie selalu tersenyum setiap kali mereka berbincang, dan saat mereka mencicipi masakan bersama, rasanya seperti dunia hanya milik mereka berdua.
Hingga pagi itu, semuanya berubah.
Cassie baru saja selesai memasak masakan Italia yang rumit—ravioli isi daging dan saus krim keju. Kevin berdiri di sampingnya, memberi pujian seperti biasa, saat seorang pria bertubuh tegap, berjas hitam, dan tatapan dingin masuk ke ruang pelatihan. Langkahnya mantap, matanya menatap lurus ke arah Kevin.
“Kevin Tan?” suara itu dalam, tenang, namun tegas. “Bisa kita bicara sebentar?”
Kevin yang semula tersenyum langsung menoleh penuh tanya. Cassie di sampingnya refleks menegang, wajahnya pucat.
“Boleh saja,” jawab Kevin, bingung, namun tetap tenang.
Cassie mencoba menghentikan Bram, tapi pria itu tidak memedulikannya. Mereka berjalan ke luar aula pelatihan, hanya berjarak beberapa meter dari pintu kaca yang masih bisa dilihat Cassie.
“Aku Bram Nugroho. Suaminya Cassie Wijaya,” ucap Bram datar, namun nadanya cukup menghentak.
Kevin mengerutkan kening. “Suami?”
“Ya. Kami memang sedang ada masalah. Tapi aku tetap suaminya. Dan aku tidak suka cara kau mendekatinya,” ujar Bram tanpa basa-basi.
Kevin menggeleng perlahan. “Cassie tidak pernah bilang dia sudah menikah.”
“Tentu saja tidak. Karena dia sedang mencoba melepaskan diri dari luka yang aku sebabkan. Tapi itu tidak membuat pernikahan kami batal.”
Kevin menatapnya dengan serius, lalu mengangguk pelan. “Baik. Kalau begitu, aku tidak akan mencampuri. Tapi aku tidak salah paham, Bram. Aku hanya mengagumi Cassie, dan itu tidak salah.”
Bram mengepalkan tangan. “Mengagumi bukan berarti merebut.”
Cassie muncul di tengah ketegangan. “Cukup, Bram,” ujarnya pelan tapi tegas. “Kevin tidak salah. Aku yang seharusnya menjelaskan. Aku minta maaf, Kevin.”
Kevin tersenyum tipis. “Aku yang seharusnya minta maaf. Aku tidak tahu.”
Cassie mengangguk, lalu berbalik pada Bram. “Apa kau puas?”
Bram menatap Cassie dalam. “Belum. Karena aku belum bisa kembali jadi suamimu, seutuhnya.”
Hari berikutnya, Cassie berdiri di depan rumah sakit. Tangan kanannya memegang map rekam medis, sementara tangan kirinya meremas tas selempangnya.
Dia baru saja tahu bahwa usia kehamilannya memasuki minggu ke-10.
Awalnya, dia berniat memeriksa sendiri, tanpa diketahui siapa pun. Tapi Bram tahu. Entah dari siapa, entah bagaimana. Dan sekarang, pria itu berdiri di sampingnya, mengenakan kemeja putih dan jeans gelap, seperti masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.
"Aku ingin mendampingimu kali ini," ujar Bram, pelan.
Cassie menoleh sekilas. “Dulu… waktu aku pertama kali hamil, kau tidak pernah menemani,” ucapnya lirih.
Bram tertunduk. “Aku menyesal. Waktu itu aku terlalu sibuk mengejar ambisi, dan menganggap kehadiranmu sudah cukup tanpa perlu kehadiranku secara fisik.”
Cassie tersenyum miris. “Kau bahkan tidak tahu rasanya gugup menunggu hasil USG. Mendengar detak jantung kecil untuk pertama kalinya.”
“Sekarang… biarkan aku ikut menebus semua itu, meski tidak akan pernah cukup.”
Cassie mengangguk. Mungkin karena ia lelah menolak, atau mungkin karena di dalam hatinya, rasa itu belum sepenuhnya mati.
Di dalam ruang periksa, dokter tersenyum ramah.
“Selamat ya, Bu Cassie. Kandungan Anda sehat dan cukup kuat. Ini hasil USG-nya.”
Cassie menatap layar, dan air matanya jatuh begitu saja saat melihat titik kecil berdenyut itu.
Bram duduk di sebelahnya, tak berkata apa-apa. Tangannya refleks meraih tangan Cassie, menggenggamnya perlahan. Kali ini, Cassie tidak menariknya.
Saat mereka keluar dari ruang dokter, Cassie menatap Bram. “Apa kau mau anak ini karena rasa bersalahmu? Karena kau merasa gagal melindungi anak pertama kita?”
Bram menggeleng. “Aku mau anak ini karena aku mencintaimu. Dan karena aku tidak ingin kehilangan lagi satu pun bagian dari dirimu.”
Cassie menahan isak. Tapi dia tidak menjawab. Karena hatinya masih luka. Masih terbakar.
Beberapa hari kemudian, Cassie duduk di taman kota kecil di New York. Dia menatap langit sore, menatap hasil USG. Langit mulai berubah warna ke jingga keemasan. Sesekali, anak-anak kecil berlarian, membawa tawa dan kenangan yang menusuk hatinya.
Bram datang dari kejauhan, membawa dua gelas cokelat panas. Walau tidak mengatakan langsung akan kembali bersama, pria itu terus membuntutinya.
“Aku tahu kau suka yang extra cream,” ujarnya, duduk di sebelah Cassie.
“Terima kasih,” gumam Cassie. “Kenapa kau terus mengikutiku?”
Bram menatap ke depan. “Karena aku tidak tahu cara lain memperbaiki semuanya. Aku tahu, mungkin sudah terlambat. Tapi aku tidak bisa diam saja melihatmu menjauh.”
Cassie menarik napas dalam. “Apa kau tahu… aku iri pada perempuan lain yang suaminya selalu ada di sampingnya waktu hamil. Aku merasa begitu kesepian waktu itu. Tapi aku tidak bisa menyalahkanmu. Karena waktu itu aku terlalu memaksakan keadaan."
Bram menunduk. “Dan sekarang?”
“Aku sedang belajar. Untuk bicara. Untuk tidak memendam. Untuk mencintai diriku sendiri dulu… sebelum memutuskan mencintai orang lain lagi.”
Mereka terdiam cukup lama, hanya menikmati aroma cokelat panas dan nyanyian angin senja.
“Aku masih suamimu, Cass,” ujar Bram, lirih. “Tapi jika kau memutuskan untuk hidup tanpa aku, aku… akan belajar untuk menerima. Tapi tolong, beri aku waktu. Untuk membuktikan semuanya.”
Cassie memejamkan mata. Ia tahu, hatinya belum sepenuhnya mati untuk Bram. Tapi luka yang dalam butuh waktu untuk sembuh. Dan ia tidak akan memaksakan apa pun saat ini.
“Beri aku waktu juga, Bram,” ucap Cassie pelan.
Untuk kesekian kalinya, Bram tidak memaksa. Dia hanya menatap perempuan itu dengan harapan dalam diam karena bagi Bram, selama Cassie masih memberinya satu jengkal ruang di hatinya, maka ia akan bertahan di situ… tak peduli seberapa lama.
"Aku akan menunggumu, Cassie. Bahkan kalau itu berarti selamanya aku harus menunggu."
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca....
Dan juga Bram sekarang sudah bisa bersikap tegas sama Raina & emaknya, setelah dia menyadari kesalahannya dan gak mudah menggapai hati cassie
Dan kamu Bram memang harus sabar dan menunggu bumil untuk membuka hati lagi?? 🤔😇😇💪💪💪
semoga bumil kali ini bisa menjalani kehamilannya dengan happy dan kerjain Bram dengan ngidammu yg menyusahkan ya calon dekbay?? 🤔😇😇
Selamat menikmati buah kebodohanmu? dan selamat berjuang menaklukan bumil yg sensitif karena hormonal dan rasa kecewanya padamu??? 🤔😇😇😇