Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.
Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Burung Zalora
Sesaat setelah Dante dan Samir keluar dari ruang rahasia itu, Fonda Ono juga meninggalkan tempat itu, menuju ke dalam ruang utama di dalam rumahnya.
Isterinya – Rona, nampak memperhatikan gerak gerik suaminya, dilihatnya Fonda Ono begitu gelisah, seperti sedang memikirkan sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya. Sebagai seorang isteri, Rona tahu betul tingkah laku suaminya, oleh karena itu ia segera mengambilkan segelas minuman dan memberikannya kepada Fonda Ono.
“Ini minumlah dulu, Koko,” kata Rona kepada suaminya.
Koko adalah panggilan sayang isteri kepada suaminya. Panggilan ini adalah hal umum diucapkan oleh penduduk Loka Pralaya. Sedangkan panggilan sayang seorang suami kepada isteriya adalah Naung.
“Terimakasih, Naung.” Jawab Fonda Ono singkat, ia merebahkan tubuhnya di kursi besar yang berada di ruangan itu.
“Ada apa Koko, ceritalah.” Kata Rona
“Aku tahu, engkau sedang memikirkan sesuatu, apa... ada hubungannya dengan kampung Londata?”
“Betul, Naung, ... hal ini masih ada hubunganny dengan kampung Londata,” kata Fonda Ono, “tapi... aku bingung, banyak hal yang membuat kepalaku pening.” Jawab Fonda Ono.
“Apa Naung masih ingat?” tanya Fonda Ono.
“Saat malam hari Koko pulang agak larut itu?”
Rona mengernyitkan alisnya, ia mencoba mengingat kembali peristiwa itu.
“Oh ... apa saat Naung kasih tahu Koko ada panggilan dari Tetua itu?” tanya Rona.
“Iya, .. iya betul,... pas malam itu.” Jawab Fonda Ono “Malam itu Koko baru pulang dari menemui seseorang.”
“seseorang? ... siapa dia Koko?” tanya Rona agak curiga, ia kembali mengernyitkan alisnya, “apa seseorang itu wanita, Koko?”
“Bu ... bukan Naung.” Jawab Fonda Ono segera menjawab pertanyaan isterinya, “Bukan wanita ... tapi dua anak laki-laki.”
“Dua anak laki-laki?” tanya Rona semakin gusar...”Jangan bilang kalau itu adalah anakmu, Koko!”
Suara Rona meninggi, kelihatannya ia salah paham atas ucapan Fonda Ono. Melihat hal itu, Fonda Ono jadi tersenyum geli, ia tahu persis watak isterinya yang penyemburu. Dengan bercanda Fonda Ono bertingkah seolah-olah akan jatuh saat ia mau berdiri dari tempat duduknya, melihat suaminya akan terjatuh, Rona dengan sigap memeluk dan menahan tubuh Fonda Ono.
Dengan tersenyum Fonda Ono langsung memeluk erat isterinya, dan demi mengetahui bahwa itu hanyalah akal-akalan dari suaminya, ia meronta manja dan mendorong suaminya. Candaan itu hanya berlangsung singkat, karena Fonda Ono tahu jika isterinya hanya pura-pura cemburu.
Setelah suasana kembali mencair, Fonda ono menjelaskan masalah yang dihadapinya.
“Dua anak laki-laki itu adalah Banu dan Bani.” Kata Fonda Ono.
Rona hanya terdiam, dirinya sudah tahu mengenai kedua anak Bei Tama itu.
“Oh,... apa yang sudah mereka lakukan?,” tanya Rona, “hingga membuat Koko gusar?”
“Bukan itu masalahnya, mereka datang untuk memberikan batu Zato kepadaku.” Jawab Fonda Ono.
“Namun batu itu telah direbut oleh seseorang,...”
“Apa?” tanya Rona, “bagaimana ceritanya?”
Kemudian Fonda Ono menceritakan semua kejadian di lereng Sembuyan itu, hingga akhirnya batu itu bisa lepas dari genggaman Banu dan Bani.
“Wah,... “ kata Rona, “Luh Gandaru pasti akan marah jika mendengar ini, Koko.”
“Iya,... aku juga berpikir begitu.” Jawab Fonda Ono.
“Aku tak tahu apa yang mesti aku lakukan, sedangkan permasalahan ini menyangkut kepercayaan Luh Gandaru kepada kita.”
Rona mengerutkan keningnya, ia nampak ikut larut dalam memikirkan hal itu, sebab dia tahu bahwa posisi Luh Gandaru sangat penting bagi keluarga mereka. Hubungan keluarga mereka dengan Luh Gandaru sudah sedemikian eratnya, bagaimana jika kejadian itu akan memperburuk hubungan mereka.
Namun tiba-tiba Rona seperti tersentak ketika mengingat sesuatu dari cerita suaminya itu.
“Tapi, Koko.. “ katanya, “Banu dan Bani pasti sudah memberitahukan hal ini kepada ibunya.”
Fonda Ono tak kalah tercengangnya menyadari hal itu, mengapa itu baru ia sadari sekarang?
“Ah,... kenapa aku bisa tak menyadari hal itu?” kata Fonda Ono tepatnya kepada dirinya sendiri.
Mereka berdua saling tatap, kedua wajah itu nampak kebingungan menghadapi situasi itu.
“Jika kita diam saja, dan tidak segera menghubungi Luh Gandaru,” kata Rona, “aku rasa Luh Gandaru akan semakin tidak mempercayai Koko...”
Fonda Ono semakin frustasi mendengar penjelasan isterinya, ia nampak memutar otak untuk dapat keluar dari masalah ini. Sebab selama ini ia sudah banyak dibantu Luh Gandaru dalam melancarkan usahanya.
“Sebaiknya Koko segera menghubungi Luh Gandaru, jangan biarkan masalah ini semakin melebar.” Kata Rona memberikan saran kepada suaminya.
“Iya,.. aku juga sedang berpikir begitu,” jawab Fonda Ono, “tapi bagaimana caranya?”
“Koko kan bisa mengirimkan utusan untuk menyampaikan pesan kepada Luh Gandaru.” Jawab Rona.
“Tidak bisa begitu, Naung.” Kata Fonda Ono, “sebab, ini adalah rahasia kita dan Luh Gandaru, jadi tidak boleh ada orang lain yang mengetahuinya.”
Rona kembali terdiam mendengar jawaban suaminya, ia menggigit bibirnya dan nampak tengah berpikir keras untuk membantu suaminya.
“Ah ..... “ kata Rona setengah berteriak.
“Apa,... ada apa Naung?” tanya Fonda Ono kaget.
“Apa Koko lupa?” kata Rona sambil menyipitkan matanya, “bukankah kita punya banyak burung Zalora?”
Untuk kedua kalinya ucapan Rona membuat Fonda On tersentak, barangkali karena beban pikiran yang begitu menumpuk, sehingga ia banyak melupakan banyak hal. Padahal dia sendiri yang merawat burung-burung itu, memberi makan setiap hari dan membuatkan tempat khusus untuknya.
Setengah melompat, Fonda Ono mendekati isterinya, dan dengan gerakan yang nakal, ia mencubit pipi isterinya itu dengan kedua tangannya.
“Wah, ...wah .. Naung memang isteri Koko yang paling pintar.” Pujinya kepada Rona.
Mendapat perlakuan seperti itu dari suaminya, Rona semakin menunjukkan sikap manjanya, ia pura-pura cemberut,
“Makanya kalau ada apa-apa itu bilang sama Naung, jangan dipendam sendiri.” Kata Rona.
Usulan Rona untuk menggunakan burung Zalora sebagai pembawa pesan itu memang sangat tepat. Sebab hanya burung itulah yang bisa melakukannya. Burung Zalora adalah sejenis burung mirip merpati, baik ukuran maupun warnanya yang putih. Namun ada perbedaan mencolok yang menjadikan burung Zalora ini istimewa, burung ini mampu menyimpan pesan dengan baik di dalam tubuhnya. Dan kecepatan terbangnya sangat sulit untuk dideteksi.
“Baik, Naung...” kata Fonda Ono, “aku akan mengambil burung itu.”
Tanpa menunggu lama, Fonda Ono segera bergegas menuju ke sebuah ruangan khusus, sebuah ruangan yang ia khususkan untuk memelihara beberapa burung Zalora. Setelah ia sampai di ruangan itu, diambillah satu burung Zalora dari sana.
Kemudian ia kembali ke ruang utama untuk menemui isterinya yang masih menunggunya di ruang itu. Begitu sampai, Rona nampak senang melihat burung itu, bulu-bulunya yang halus itu memang indah dipandang mata. Dengan tatapan yang berbinar Rona meminta burung itu untuk dipegangnya, Fonda Ono memberikan burung itu kepada Rona.
“Cup..cup... “ kata Rona sambil menempelkan pipinya ke burung itu, dan dengan penuh kelembutan diciumnya burung itu.
“Koko, burung ini sangat cantik... “ kata Rona.
“Iya, Naung,.... tapi sekarang ini bukan waktunnya untuk bermain-main dengan burung ini,” kata Fonda Ono, “sebab malam ini juga kita harus mengirimkan pesan kepada Luh Gandaru.”
Rona hanya tersenyum mendengar ucapan suaminya, kemudian setelah puas menciumi burung itu, ia segera menyerahkan kembali kepada Fonda Ono.
Segera setelah Rona menyerahkan kembali burung Zalora itu kepadanya, Fonda ono segera memegang burung itu dengan kedua tangannya. Dihadapkannya burung itu tepat di depan wajahnya.
Kemudian Fonda Ono memejamkan mata, ia berkonsentrasi untuk menyalurkan energi pesan ke tubuh burung Zalora, perlahan-lahan ia dekatkan mulutnya dengan paruh buruh Zalora, meniupkan energi pesan kepada burung itu.
Demi mendapat aliran energi pesan dari mulut Fonda Ono, seketika berubahlah warna burung Zalora, yang semula putih kemilau menjadi hitam legam segelap malam tanpa bintang, bukan itu saja, ukurannya pun ikut berubah.
Tubuh burung Zalora perlahan-lahan mengerut, ia mengecil hingga seukuran burung pipit. Fonda Ono masih memegangnya saat burung itu berubah bentuk, dan saat bentuknya sudah berubah menjadi hitam dan sebesar burung pipit, ia kembali memberikan burung Zalora kepada Rona.
“Naung, tolong kau lepaskan burung ini,” kata Fonda Ono.
Rona tidak menunggu lama untuk melaksanakan perintah suaminya, ia segera bergegas menuju halaman samping ruang utama itu, dari sana ia melepaskan burung itu ke udara, menembus kegelapan malam menuju kampung Londata.