Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 : Teror
...****************...
...Shinta...
| Kak, boleh kirimin uang gaa
| Ada buku dari dosen yang harus aku beli
| 30 cukup kok, buat jajan sekalian hehee
Araya menatap roomchat adiknya itu sembari memakan camilan yang di bawakan Bi Laksmi. Shinta pikir ia bodoh apa? Beli buku apaan tiga puluh juta, dia ini juga pernah berkuliah, dosen mana yang cari untung segitu besarnya.
Tangannya bertengger di dagu, seolah memikirkan jawaban apa yang cocok di berikan untuk adik kesayangannya ini.
Setelah dapat, Araya segera mengetikkan pesan balasannya.
...Shinta...
^^^Kakak lagi gak megang uang sekarang, ta |^^^
| Loh, kenapa? Emang suami kakak gak ngasih?
“Ngasih lah, tapi buat foya-foya, ya kali buat kamu,” gumam Araya menjawab.
...Shinta...
^^^Iya, soalnya dia denger omongan Mama waktu di sini kemarin, jadi ya marah ga transfer ke kakak |^^^
| Kakak minta aja dong
| Gimana pun harta keluarga kita banyak di dia, kak
^^^Duh, kakak gak enak, ta |^^^
^^^Bulan depan deh kayaknya bisa kakak kasih |^^^
| Hmm, ya udah deh
Di sisi Shinta, ia menatap kesal pesan terakhir yang ia kirim. Araya sama sekali tak berniat membujuknya seperti biasa, hanya membaca pesannya begitu saja.
“Dia benar-benar berubah,” gumamnya.
Dan sialnya, perubahan Araya sangat merugikannya.
Shinta menghentikan aktivitasnya begitu mendengar suara bel rumah berbunyi. Sejenak, ia berpikir—paket pesanannya pasti sudah datang. Dengan langkah ringan, ia menuju pintu, tak sabar menerima pakaian yang ia beli beberapa hari lalu.
Namun, begitu daun pintu terbuka, tak ada kurir di sana. Tak ada suara ucapan selamat pagi atau tangan yang mengulurkan paket. Hanya kesunyian yang menyergap, bersama dengan sebuah kotak hitam yang diletakkan tepat di depan rumahnya.
Kotak itu berukuran cukup besar, jauh lebih besar daripada sekadar bungkusan pakaian. Pita pink melilit rapi di sekelilingnya, tampak begitu kontras dengan warna hitam yang pekat.
“Mungkin packaging nya yang gede,” gumam Shinta.
Ia berjongkok dan perlahan membuka kotak itu. Begitu lipatan penutupnya terangkat, aroma anyir langsung menerobos masuk ke hidungnya.
“AKHHH!”
Matanya membelalak, darah terasa tersedak di tenggorokannya saat ia melihat isi di dalamnya.
Sebuah kepala babi.
Masih merah. Masih basah oleh darah yang menggenang di dasar kotak, bercampur dengan potongan daging yang terlihat robek kasar. Bola matanya kosong, menatapnya lurus seakan mengejek keterkejutannya. Bekas sayatan di lehernya masih segar, seolah baru saja dipisahkan dari tubuhnya beberapa saat lalu.
Shinta terpekik, suara ketakutannya menggema di sepanjang lorong rumah. Tangannya refleks melepaskan kotak itu, membuat kepala babi itu terguling keluar. Cairan kental berwarna merah menyembur ke lantai, merayap mendekati ujung kakinya. Shinta melompat mundur, nyaris kehilangan keseimbangan, tangannya mencengkeram kuat ke dada saat napasnya tersengal ketakutan.
Matanya menatap liar ke sekitar.
Siapa yang menerornya seperti ini?
Siapa yang cukup kejam untuk mengirimkan hal mengerikan seperti ini padanya?
Dari kejauhan, tanpa Shinta ketahui terdengar suara langkah kaki yang cepat, menghilang di ujung gang. Seseorang baru saja pergi dari sana setelah memastikan tugasnya selesai.
***
Araya menatap foto yang dikirim seseorang dengan senyuman puas. Terlihat di sana Shinta yang memekik ketakutan melihat barang kirimannya.
Siapa lagi yang mengirim teror pada gadis itu jika bukan Araya?
Ia sudah bertekad akan membalas perbuatan Shinta dan ibunya, bukan berarti merencanakan pembunuhan seperti yang kedua orang itu lakukan.
Tidak, Araya tidak sekeji itu. Ia lebih memilih mengganggu kehidupan mereka sedikit demi sedikit seperti ini. Araya lebih suka mereka frustasi karena kehilangan segalanya nanti.
Ia menyuruh orang untuk memberikan teror kecil itu. Araya juga mencari tahu kehidupan mereka berdua setelah uang warisan ayahnya di habiskan dalam sekejap.
Ibu tirinya bekerja di salah satu perusahaan sebagai manager. Tentunya ibunya yang kosong itu tidak mendapat posisi tinggi itu dengan mudah, Araya sudah menyimpan kartu as wanita itu.
Saat ini, orang yang ia bayar mengabari jika Shinta keluar dari rumahnya dalam keadaan rapi. Araya segera menyuruhnya untuk mengikuti ke mana gadis itu pergi.
Araya mulai berpikir, kira-kira ke mana Shinta akan mengadu? Ia sama sekali tidak mendapat chat dari gadis itu. Apa Mamanya? Tapi setahu Araya ia tengah bekerja.
“Pasti teman atau pacarnya,” gumam Araya, ia juga tahu Shinta memiliki kekasih yang bukan dari kalangan sembarangan.
Bukankah hidup gadis itu berjalan terlalu mulus? Ia memeras Araya dan pasti juga memanfaatkan pacarnya dengan baik. Uang mengalir dari berbagai sisi di hidupnya.
Dan Araya lah yang akan menghancurkan jalan mulus itu.
Setelah mendapat laporan Shinta memang menemui pacarnya, Araya merencanakan sebuah ide yang menarik.
Ia segera bersiap, memilih style perempuan dewasa yang cocok dengan wajah cantiknya. Setelahnya Araya meminta Bi Laksmi mengatur rambutnya dengan baik.
Rambut bagian depannya diikat ke belakang, sedangkan yang lainnya dibiarkan tergerai.
“Selesai, Nyonya. Kalau boleh tahu Nyonya ingin ke mana?” Tanya Bi Laksmi, sebab tak biasanya Araya bersiap-siap cukup lama seperti ini.
“Cuman mau me time, Bi.” Jawab Araya.
Araya mengambil salah satu kunci mobil dari koleksi mobil mewah sang suami.
Setelah sampai di lantai dasar, mood Araya sedikit memburuk melihat Fiona, pelayan yang ia kerjai kemarin.
Melihat bagaimana gadis itu menyuruh-nyuruh pelayan lain bak Nyonya rumah, benar-benar membuat Araya geram.
Hanya karena posisi gadis itu lebih tinggi dari pelayan lain karena ibunya kepala pelayan, bukan berarti ia bisa memerintah sembarangan seperti ini.
Ketika Araya datang, gadis itu hanya meliriknya sekilas. Tanpa berniat memberikan sapaan hormat padanya.
Araya memanggil pelayan yang tengah mengepel ruang tengah itu, “kamu, ke sini.” Pinta Araya.
Pelayan itu segera menghampirinya, “Iya, Nyonya?”
Araya kini beralih pada Fiona, pelayan inilah yang tadi melaksanakan perintah gadis itu.
“Kamu, ambil alih pekerjaan dia!” Ujarnya menatap Fiona dan pelayan itu bergantian.
“Maaf, tapi saya tidak bertanggung jawab pada bagian lantai satu,” jawab Fiona angkuh.
Araya tersenyum miring, “siapa yang peduli dengan tugas kamu? Saya ini Nyonya kamu kalau kamu lupa. Kalau saya minta kamu untuk mengepel, ya kerjakan. Kamu tuli?!” Balas Araya tak santai.
Khas seolah nyonya rumah yang suka merundung pekerjanya.
“Tapi itu bukan pekerjaan saya!” Jawab Fiona tak kalah keras.
“Oh, kamu melawan saya?!” Tanya Araya yang kini mulai emosi juga.
Kepala pelayan yang kebetulan lewat menatap terkejut siapa yang tengah beradu mulut dengan Nyonya-nya itu.
“Saya gak takut, ya!”
“Fiona!” Tegur kepala pelayan langsung.
Ia segera menunduk menatap Araya, “Nyonya, tolong maafkan putri saya. Dia baru mulai bekerja, jadi masih banyak melakukan kesalahan,” ujarnya.
Araya menatap kepala pelayan ini, namanya Bi Mina. Ia tahu wanita ini cukup kompeten bekerja, tidak seperti anaknya itu.
“Saya harap anak Bibi bisa lebih sopan ke depannya, tidak kurang ajar seperti ini,” ujar Araya menatap Fiona sinis.
“Sialan,” gumam Fiona yang masih dapat di dengar oleh semua orang di sana.
Plak!
Tak hanya Fiona yang terkejut mendapat tamparan dari sang ibu, Araya pun menatapnya kaget.
“Jaga ucapan kamu jika tidak ingin ibu kirim ke kampung lagi! Cepat minta maaf pada Nyonya!” Ujar Bi Mina tegas.
Wajah Fiona sudah memerah menahan tangis, tak menyangka sang ibu sampai menamparnya seperti ini.
“Ma-maaf,” ujarnya dan langsung pergi begitu saja.
Araya tersentak mendapati Bi Mina yang langsung berlutut di depannya, “Nyonya, maaf Nyonya. Saya akan menegurnya, tolong jangan pecat saya.” Ujarnya takut.
Araya segera menuntun wanita paruh baya itu untuk berdiri. Yang salah di sini hanyalah putri Bi Mina, wanita itu sama sekali tak melakukan kesalahan.
“Gak papa, Bi. Bibi sama sekali gak salah, saya juga gak akan mecat Bibi,” ujar Araya berharap dapat menenangkan wanita itu.
Bi Mina tersenyum mendengarnya, Ia tahu Nyonya-nya memang sudah berubah. Jika dulu putrinya melawan seperti hari ini, sudah pasti mereka akan langsung di tendang keluar mansion.
“Terima kasih banyak, Nyonya. Saya juga akan mengembalikan Fiona ke rumah kami,” ujar Bi Mina. Ia juga sadar kelakuan putrinya dari dulu memang buruk.
...****************...
tbc.
semangat terus ya buat ceritanya Thor
ga smua laki2 bs kek dy
bner2 kasih istri tahta tertinggi di hatinya
anak aja nmr 2
cb di konoha
istri mah media produksi anak aje
semangat terus ya buat ceritanya Thor