Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dejavu?
Keramaian di lapangan utama Universitas Nusantara Global terasa memekakkan telinga. Ratusan mahasiswa baru, lautan kemeja putih, berkumpul dengan wajah penuh semangat dan sedikit cemas. Tawa, obrolan, dan teriakan dari para senior panitia OSPEK bercampur menjadi satu simfoni yang menandai dimulainya kehidupan kampus.
Arjuna dan Aulia berjalan memasuki kerumunan itu, mencari barisan untuk fakultas mereka. Kehadiran mereka berdua yang berjalan berdampingan langsung menarik perhatian.
"Eh, lihat deh! Itu bukannya yang peringkat satu sama peringkat dua, ya?" bisik seorang mahasiswi pada temannya.
"Yang namanya Arjuna sama Aulia itu? Beneran! Kok mereka bisa barengan?" sahut temannya, matanya tak lepas dari mereka.
Gosip menyebar secepat api di antara para mahasiswa baru. Nama Arjuna Wicaksono, sang jenius misterius dari desa, dan Aulia, yang sudah terkenal di kalangan tertentu karena kecantikan dan auranya yang dingin, kini menjadi topik pembicaraan utama. Fakta bahwa mereka berdua datang bersama menciptakan berbagai macam spekulasi. Apakah mereka sudah saling kenal sebelumnya? Apakah ada hubungan spesial di antara mereka?
Arjuna, yang tidak terbiasa menjadi pusat perhatian, merasa sedikit tidak nyaman. Ia bisa merasakan puluhan pasang mata menatapnya, beberapa dengan kekaguman, beberapa dengan rasa penasaran, dan beberapa dengan tatapan iri. Di sampingnya, Aulia tampak tidak terpengaruh sama sekali. Ia tetap berjalan dengan kepala tegak, seolah tidak peduli dengan bisik-bisik di sekitarnya.
Saat mereka menemukan barisan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, acara pun dimulai. Dari atas panggung utama, seorang senior dengan jaket almamater dan pengeras suara mulai berteriak-teriak, memberikan instruksi.
"SELAMAT PAGI, ADIK-ADIK MAHASISWA BARU!"
"PAGI, KAK!" jawab kerumunan serempak.
Beberapa anggota BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang menjadi panitia inti mulai memperkenalkan diri. Mereka berjalan di depan barisan, menatap para maba dengan tatapan sangar yang dibuat-buat, khas acara OSPEK.
Saat itulah, mata Arjuna menangkap sesuatu yang membuatnya terdiam. Di antara para senior panitia yang berjalan dengan angkuh itu, ada satu wajah yang sangat ia kenali. Wajah tampan dengan seringai sinis yang sama.
Rian.
Pria yang ia permalukan di mall beberapa minggu lalu. Kini, ia berdiri di sana, mengenakan jaket almamater UNG, menatap barisan mahasiswa baru dengan tatapan seorang penguasa. Di sekelilingnya, ada beberapa temannya yang juga menjadi panitia, geng yang sama yang waktu itu menertawakan Aulia.
Jantung Arjuna berdebar sedikit lebih kencang. Dunia ini ternyata begitu sempit.
Seolah ditakdirkan, pandangan Rian menyapu barisan dan berhenti tepat saat matanya bertemu dengan mata Arjuna. Seringai di wajah Rian seketika lenyap, digantikan oleh tatapan tajam yang penuh kebencian. Kilatan amarah dan janji pembalasan yang tertunda terlihat begitu jelas. Ia seolah berkata, 'Jadi, di sini kau rupanya. Kau masuk ke dalam kandangku.'
Rian tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapan matanya sudah lebih dari cukup. Ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Aulia yang berdiri tak jauh dari Arjuna, dan tatapannya menjadi lebih rumit, campuran antara marah, sesal, dan benci.
Arjuna menghela napas pelan. Ia menatap ke arah panggung, ke arah para senior yang berteriak-teriak, lalu kembali ke arah Rian yang masih menatapnya dengan tajam dari kejauhan.
‘Sepertinya,’ gumam Arjuna dalam hati, menatap lurus ke depan dengan ekspresi yang kembali tenang. ‘Kuliahku ini... tidak akan tenang.’
Ia tahu, selain perlombaan akademis dengan Aulia, kini ia memiliki musuh nyata di dalam kampus. Musuh yang punya kekuasaan, koneksi, dan dendam pribadi padanya. Petualangannya di Universitas Nusantara Global akan jauh lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan.
Hari pertama OSPEK di Universitas Nusantara Global berjalan dengan lancar. Meskipun melelahkan, dengan berbagai sesi perkenalan dan instruksi dari para senior, Arjuna menikmatinya. Ini adalah langkah pertama dari mimpinya, dan ia menyerap semuanya dengan penuh semangat.
Saat acara hari itu selesai dan para mahasiswa baru mulai membubarkan diri, Aulia menghampiri Arjuna yang sedang merapikan tasnya.
"Mau pulang bareng?" tawar Aulia, nadanya datar seperti biasa, namun tawaran itu sendiri terasa seperti sebuah kemajuan dalam hubungan mereka.
Arjuna menoleh dan tersenyum tipis. "Terima kasih tawarannya, Aulia. Tapi aku harus langsung ke tempat kerja."
Aulia mengangkat sebelah alisnya, sedikit terkejut. "Kerja? Hari pertama selesai kuliah kamu langsung kerja?"
"Iya, ada beberapa hal yang harus dibiayai," jawab Arjuna sederhana, tidak merinci.
Aulia tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk mengerti, lalu berbalik dan pergi. "Hati-hati," hanya itu kata yang ia ucapkan sebelum menghilang di antara kerumunan.
Arjuna pun memulai perjalanannya menuju lokasi proyek. Di dalam angkot yang melaju tersendat, ia melepas penat. Namun, perjalanannya terhenti. Di depan, lalu lintas macet total. Suara klakson bersahut-sahutan dan banyak orang berlari ke satu arah.
"Ada kecelakaan kayaknya di depan," kata sopir angkot pada penumpangnya.
Arjuna, yang duduk di dekat pintu, menjulurkan kepalanya keluar. Ia melihat kerumunan orang di depan. Rasa penasaran dan naluri aneh mendorongnya. Ia membayar ongkosnya dan turun dari angkot.
Saat ia mendekati kerumunan itu, sebuah perasaan dingin yang akrab menjalar di punggungnya. Dejavu.
Ia menembus kerumunan dan pemandangan di hadapannya membuat jantungnya mencelos. Seorang kakek tergeletak tak sadarkan diri di aspal panas, sementara seorang nenek menangis histeris di sampingnya. "Tolong... tolong, suami saya... tiba-tiba jatuh..."
Pemandangan ini, tangisan ini, kepanikan ini... semuanya terasa seperti gema dari tragedi yang pernah ia saksikan di dekat warung makan tempo hari.
Secara refleks, matanya terfokus pada sang kakek. Cincin di jarinya berdenyut. Pandangannya berubah. Kali ini, ia tidak melihat gumpalan bakso. Ia melihat sesuatu yang lebih rumit. Ia melihat jaringan pembuluh darah di dalam tubuh sang kakek. Dan di sana, di salah satu arteri utama yang menuju ke jantung, ia melihat sebuah gumpalan darah berwarna gelap yang menyumbat aliran sepenuhnya. Penyumbatan darah.
"Sabar ya, Nek! Ambulans sudah dihubungi!" teriak seseorang dari kerumunan.
Arjuna tahu menunggu ambulans adalah hukuman mati. Ia harus melakukan sesuatu. Namun, saat ia baru akan melangkah maju, seorang wanita dengan percaya diri menerobos kerumunan.
"Permisi, beri jalan! Saya seorang perawat!" katanya dengan suara tegas.
Orang-orang langsung memberinya jalan. Wanita itu berlutut, melakukan pemeriksaan singkat, dan dengan cepat mengambil kesimpulan yang salah.
"Pasien henti jantung! Saya akan mulai CPR!"
Ia lalu mulai menekan dada sang kakek dengan ritme yang cepat, persis seperti yang dilakukan 'dokter' palsu di insiden sebelumnya.
Arjuna membeku di tempatnya. Ia melihat pemandangan itu dan tidak bisa menahan seulas senyum kecut yang terukir di bibirnya. Sebuah senyum yang penuh dengan kepahitan.
Sejarah berulang. Pola yang sama, dengan aktor yang berbeda. Seorang penolong yang berniat baik namun salah diagnosa. Kerumunan yang menaruh harapan pada orang yang salah. Dan seorang pria tua yang sekarat karena masalah yang sama sekali berbeda dari apa yang sedang coba ditangani.
Arjuna hanya bisa berdiri di sana, menjadi satu-satunya saksi bisu yang mengetahui kebenaran, terjebak dalam ironi takdirnya yang kejam.
biar nulisny makin lancar...💪