Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 : SIAPA YANG KAU LIHAT SEKARANG?
Aku hanya membisu saat Bu Martha dan Pak Danu menyusun rencana pernikahan itu di depan mataku. Suara mereka terdengar berdengung, seolah-olah mereka sedang mendiskusikan kontrak bisnis, bukan masa depanku. Bagiku, pernikahan ini hanyalah pergantian status dari tawanan tanpa nama menjadi milik sah seorang monster. Setelah memberikan beberapa kata penghiburan yang hambar, mereka pun pamit pulang.
Keheningan penthouse kembali mencekikku. Aku terduduk lesu di tepi ranjang, menatap kosong ke depan sebelum akhirnya meraih ponsel yang diberikan Erlangga. Dengan harapan tipis, aku membuka daftar kontak, ingin mendengar suara teman atau siapa pun dari duniaku yang lama. Namun, dadaku terasa sesak melihat layar itu. Kosong. Hanya ada satu nama yang tertera di sana: Erlangga.
Dia benar-benar telah mengurungku dalam dunianya, menghapus jejak kehidupanku yang lama tanpa sisa.
Rasa frustrasi yang memuncak membuat kepalaku nyaris pecah. Aku butuh sesuatu untuk membungkam pikiran-pikiran gila ini. Aku beranjak, berjalan gontai menyusuri ruangan mewah yang dingin ini menuju dapur. Aku ingat Erlangga menyimpan koleksi minuman di sana. Dengan tangan gemetar, aku mengambil sebotol wine pekat, membuka tutupnya, dan langsung meneguknya tanpa gelas.
Cairan merah itu mengalir membakar tenggorokan, namun rasa panasnya terasa melegakan karena mampu mengalihkan rasa sakit di hatiku. Aku meneguknya lagi, kali ini lebih banyak, hingga napas kuterengah. Aku ingin hilang. Aku ingin tidak sadar.
"Non Ashilla! Astaga, Non... berhenti!" Suara pekikan Bi Sumi yang baru pulang dari pasar memecah suasana. Ia meletakkan belanjaannya dengan sembarang dan berlari ke arahku. "Jangan begini, Non. Nanti Tuan Erlangga marah besar."
"Biarkan saja, Bi! Biarkan dia marah!" teriakku parau, menepis tangannya yang mencoba merebut botol itu. "Aku benci tempat ini! Aku benci dia!"
Aku bersikeras, kembali menenggak minuman itu hingga sisa cairan merahnya membasahi dagu dan pakaianku. Pandanganku mulai berputar, kakiku terasa lemas. Melihat kondisiku yang sudah mabuk parah dan tak terkendali, Bi Sumi tampak pucat pasi. Ia tahu betul konsekuensi jika Erlangga melihat kekacauan ini.
Dengan tangan gemetar, Bi Sumi menjauh dariku, merogoh ponselnya, dan menelpon Erlangga dengan suara ketakutan. "Tuan... tolong segera pulang. Non Ashilla mabuk berat... saya tidak bisa menghentikannya, Tuan. Cepat pulang, Tuan..."
Aku tertawa getir mendengar aduan itu, tubuhku merosot ke lantai dapur yang dingin sambil terus memeluk botol yang hampir kosong.
Pandanganku berputar hebat. Lantai dapur yang dingin terasa seolah bergoyang di bawah tubuhku. Aku tertawa getir, memeluk botol wine yang nyaris kosong itu seperti satu-satunya teman yang tersisa. Saat pintu lift berdenting keras dan langkah kaki yang sangat kukenal menyerbu masuk, aku bahkan tidak takut. Rasa takutku sudah mati terkubur alkohol.
"Ashilla! Apa-apaan ini?!" Suara Erlangga menggelegar, namun ada nada panik yang terselip di sana.
Dia merenggut botol itu dari tanganku dan melemparkannya ke wastafel hingga pecah berkeping-keping. Dia mencengkeram bahuku, memaksaku menatap matanya yang berkilat marah. Tapi aku hanya membalasnya dengan tatapan sayu dan senyum miring yang mengejek.
"Kenapa, Erlangga? Kau takut mainanmu rusak?" racauku, suaraku serak dan pecah. "Atau kau takut... wajah yang kau puja ini hancur?"
Aku menyentuh pipiku sendiri dengan jari yang gemetar, lalu menatapnya tajam. "Katakan padaku... siapa yang kau lihat sekarang? Aku? Atau Sarah?"
Tubuh Erlangga menegang. Cengkeramannya di bahuku mengeras, namun sorot matanya berubah seketika—ada luka lama yang tersingkap di sana.
"Diam, Ashilla. Kau mabuk," desisnya, mencoba menarikku berdiri.
"Aku tidak akan diam!" aku berteriak, air mata mulai mengalir menyatu dengan sisa wine di wajahku. "Kau mengambil ponselku, kau menghapus teman-temanku, kau mengurungku di sini! Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku tidak punya nama! Aku tidak punya hidup!"
Aku memukul dadanya dengan sisa tenaga yang ada, meskipun rasanya seperti memukul tembok baja. "Kau memperlakukan aku dengan lembut saat kau merindukannya, lalu kau menjadi monster saat kau sadar aku bukan dia! Aku ini apa, Erlangga? Siapa aku?! Aku bahkan lupa bagaimana rasanya menjadi Ashilla!"
Erlangga terdiam membeku. Wajahnya yang biasanya angkuh kini nampak pucat. Ruangan itu mendadak sunyi, hanya menyisakan suara napasku yang tersengal dan isak tangisku yang pilu. Aku melihat rahangnya mengatup rapat, menahan badai emosi yang berkecamuk.
"Kau bukan Sarah," bisiknya rendah, suaranya terdengar sangat parau hingga nyaris tak terdengar.
"Lalu kenapa kau tidak membiarkanku pergi?!" raungku lagi sebelum kesadaranku benar-benar merosot. "Biarkan aku punya identitasku kembali... atau bunuh saja aku sekarang, Erlangga. Karena menjadi bayangan wanita mati itu jauh lebih menyakitkan daripada kematian itu sendiri."
Tubuhku lemas seutuhnya. Sebelum kegelapan merenggut kesadaranku, aku merasakan lengan kekarnya menangkapku, mendekapku erat ke dadanya. Aku sempat mendengar bisikan lirihnya yang bergetar di telingaku sebelum semuanya menjadi hitam.
"Kau tidak akan ke mana-mana... meski kau membenciku selamanya."
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,