Arsenio Wickley, seorang mafia yang berusia 39 tahun. Semenjak kejadian kekasihnya pergi karena kesalahan pahaman, semenjak itu Arsenio menutup hatinya untuk semua wanita. Tapi, kehadiran seorang gadis mengubah pendiriannya. Clara datang kepadanya, dan berniat menjadi sugar baby Arsen. bukan karena uang tapi karena ia butuh kasih sayang yang tidak ia dapat dari orang tuanya.
" Om, aku mau jadi sugar Baby om" ucap Clara sambil menatap wajah Arsen.
" Apa kau tahu, apa yang dilakukan Sugar Baby?" Arsen mendekati wajah Clara, membuatnya sedikit gugup.
" Memang apa yang harus aku lakukan?" tanya Clara yang penasaran, ia hanya tahu sugar baby itu hanya menemani makan, dan jalan-jalan.
" kau harus menemaniku tidur, apa kau mau?" Arsen semakin memojokkan tubuh Clara.
" tidak!! aku tidak mau.." Clara berlari saat mendengar ucapan Arsen.
" Dasar bocah ingusan" ucap Arsen seraya menggelengkan kepala.
Nantikan kisah kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Sera
Setelah sarapan bersama di ruang makan yang terasa lebih hangat dari biasanya, Arsen bersikeras mengantarkan Clara ke kampus. Hari ini, Clara kembali mengenakan pakaian yang lebih pantas—bukan kaus oblong murahan atau jeans belel. Ia memadukan kemeja putih longgar dengan rok span hitam yang mencapai lutut. Riasan tipis menghiasi wajahnya, menyamarkan lelah dan luka batin yang selama ini ia sembunyikan. Pipinya tampak merona, bibirnya dilapisi lipstik nude yang membuat senyumnya semakin manis. Bahkan bulu matanya tampak lebih lentik dari biasanya. Tak heran, sepanjang perjalanan, Arsen terus mencuri-curi pandang ke arahnya.
Clara duduk di kursi penumpang, mengenakan sabuk pengaman dengan gugup. Tangannya mengepal di atas pahanya, menahan gejolak yang tak bisa ia definisikan.
“Tuan… ehm, om…” Clara melirik ke arah Arsen, lalu buru-buru membuang pandangan ke kaca jendela mobil. “Boleh aku tanya sesuatu?”
Arsen menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. “Hmm? Ada apa?”
Clara menelan ludah. “Apa… istri Anda—”
“Aku tidak punya istri,” Arsen cepat menyela, bibirnya tersungging sedikit senyum, seolah tahu arah pertanyaan Clara.
Clara terdiam. Hatinya berdebar makin cepat. Tapi ia memberanikan diri melanjutkan, “Jadi… Anda seorang duda?”
“Aku belum menikah,” jawab Arsen singkat.
Clara semakin bingung. Matanya sempat menatap Arsen sebelum kembali menunduk. “Tapi… Anak anda…”
Arsen menarik napas, lalu menjawab dengan nada lebih tenang, “Dia anak sahabatku. Sebelum meninggal, dia menitipkan Arion padaku.”
Clara menoleh cepat, menatap mata pria itu dalam-dalam. Ada sesuatu dalam penjelasan Arsen yang membuat jantungnya terasa lebih ringan. Seperti beban yang tak sengaja ia pikul kini menguap perlahan.
“Tenang saja,” lanjut Arsen sambil sekilas meliriknya, “Tidak akan ada yang melabrakmu karena dekat denganku.”
Clara merutuki dirinya sendiri. Malu bukan main karena Arsen bisa membaca pikirannya. Ia hanya bisa menggaruk pelipis, tak tahu harus berkata apa.
Arsen menatap Clara yang salah tingkah, “Kenapa kartu yang kuberikan tak pernah dipakai?”
Clara terkejut. “Kartu itu? Aku… aku tidak tahu harus beli apa…”
“Pakai saja. Terserah mau beli apa. Yang penting setiap hari harus ada pengeluaran dari kartu itu. Kalau tidak, aku akan menghukummu.”
Nada datar Arsen membuat Clara langsung meneguk ludah. Ia tidak tahu apakah pria itu sedang bercanda atau benar-benar serius. Tapi yang pasti, wajahnya langsung pucat.
Mereka tiba di depan kampus. Clara baru saja akan membuka pintu, namun Arsen lebih dulu keluar dan membukakan pintu untuknya. Spontan, mata-mata mahasiswa di sekitar langsung tertuju pada mereka.
Clara menunduk, malu bukan main. Tapi yang lebih membuatnya panik adalah ketika Arsen menarik pelan lengannya, menggiringnya masuk ke lingkungan kampus.
“Tuan, tidak perlu ikut masuk. Aku bisa sendiri. Tuan pulang saja…” bisik Clara gugup.
Arsen menoleh, menatap wajah Clara lekat-lekat. “Kau malu bersamaku?”
“Ti… tidak…” jawab Clara pelan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Arsen terus menggandeng tangannya masuk ke lorong kampus yang ramai. Sesekali terdengar bisik-bisik dari mahasiswa lain yang menyaksikan pemandangan tak biasa itu.
Sesampainya di tangga aula utama, Arsen menghentikan langkah. Ia menatap Clara, kemudian dengan santai mengelus kepala gadis itu.
“Aku akan menjemputmu nanti. Jangan pulang sendiri.”
Lalu ia berbalik, berjalan pergi dengan langkah mantap. Sosoknya yang tinggi, karismatik, dan dingin membuat semua orang terdiam. Aura ‘cool’ pria itu benar-benar mendominasi suasana. Beberapa mahasiswi bahkan hanya bisa melongo, sementara para pria melirik Arsen dengan penuh rasa iri.
Dari kejauhan, seseorang menggertakkan gigi. Sera. Ia baru saja turun dari mobil dan kini berdiri bersama dua orang temannya.
Tangannya mengepal. Matanya tak lepas dari punggung Arsen yang menjauh.
“Clara…” suara Vanya tiba-tiba terdengar di sampingnya, membuat Clara menoleh cepat.
Vanya berdiri di sana bersama seorang pria tinggi dengan sorot mata tajam. Pria itu adalah Jodi, yang menatap Clara seperti ingin menerkam.
Clara sedikit menghindar, gugup dan bingung.
“Aku minta maaf soal kemarin,” ucap Clara. “Setelah jam pelajaran pertama, kita bicara. Aku akan menjelaskan semuanya.”
Jodi hanya diam, tapi dia tidak bisa marah dengan sahabatnya itu. Sedangkan Vanya, dengan cepat menggandeng lengan Clara hingga masuk kedalam kelas.
****
Setelah jam pelajaran pertama usai, Clara segera menghampiri Vanya yang sudah menunggunya di depan kelas. Wajah Vanya tampak cemas, sementara Jodi berdiri tak jauh dari mereka, bersandar pada dinding dengan lengan terlipat dan ekspresi dingin yang membuat Clara gugup.
“Kita bicara di luar,” ajak Clara lirih, lalu menuntun mereka berdua ke sebuah kafe kecil tak jauh dari kampus. Kafe itu sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menyendiri. Mereka memilih tempat di pojok, agak tersembunyi.
Ketiganya duduk. Vanya mengambil posisi di sisi kanan Clara, sementara Jodi duduk tepat di hadapannya. Suasana terasa kaku. Clara berusaha mengatur napas, tapi jantungnya berdetak begitu keras. Tatapan Jodi seperti belati yang menusuk-nusuk dadanya.
Tak tahan dengan tekanan itu, Clara meraih tangan Jodi di atas meja. “Jodi, maaf…”
Namun, baru beberapa detik, dia buru-buru menarik kembali tangannya. Ia sadar, sentuhan itu hanya akan memperkeruh suasana. Dan benar saja.
“Kau bahkan tak bisa lagi menyentuhku. Kau takut padanya?” suara Jodi terdengar pelan, namun dalam. Sorot matanya dingin, terluka. “Clara, kita berteman sejak awal kuliah. Kita pernah tertawa, berbagi cerita… Tapi sekarang? Kau terlihat seperti orang asing. Apa aku sudah tidak berarti apa-apa bagimu?”
Clara mengatup bibir, Ia tahu ini akan sulit.
“Bukan begitu, Jodi…” Clara menunduk. “Aku masih menganggapmu sahabatku. Sangat berarti. Tapi untuk sekarang… aku tidak bisa dekat denganmu. Aku minta maaf karena belum bisa cerita semuanya.”
Vanya memandang keduanya dengan cemas. Ia tahu Jodi menyimpan rasa pada Clara. Tapi ia juga tahu betapa rumit hubungan Clara dan Arsen sekarang.
Jodi mengepalkan tangannya. “Berapa hutangmu, Clara? Aku akan membayarnya. Aku tahu kau dipaksa tinggal bersama pria itu karena uang, bukan?”
“Bukan karena itu, Jodi…” Clara menggeleng pelan.
“Clara!” suara Jodi meninggi, membuat beberapa pengunjung kafe menoleh. “Kau bahkan tidak tahu siapa dia! Dia terlihat berbahaya!. Dia hanya memperalatmu!”
Clara menggigit bibir, berusaha menahan gejolak dalam dadanya. “Kau salah. Tuan Arsen tak pernah memperlakukanku dengan buruk. Justru… dia sangat baik padaku. Aku merasa aman di dekatnya.”
“Kau merasa aman karena belum tahu siapa dia sebenarnya,” gumam Jodi, hampir seperti diri sendiri. Ia mengusap rambutnya dengan kasar, frustrasi tak bisa menembus tembok yang dibangun Clara.
Sementara itu, Vanya masih meneguk jus-nya pelan, berusaha menengahi namun sadar ini bukan waktu yang tepat. Ia hanya sesekali memandang Clara dengan sorot prihatin.
Namun, tak jauh dari sana, duduk di meja belakang dekat jendela, Sera sedang berpura-pura membaca buku. Telinganya menangkap semua percakapan itu dengan jelas. Bibirnya perlahan menyeringai licik.
“Hutang… jadi Clara tinggal bersama pria itu karena hutang,” bisiknya pelan. “Bagus… sangat bagus.”
Ia membuka ponselnya, mulai mencatat sesuatu. Rencana baru telah terbentuk dalam kepalanya—rencana yang mungkin bisa menghancurkan Clara untuk selamanya. Dan kali ini, ia tak akan bertindak sendirian.