Jinwoo seorang prajurit bermasalah dari Korea Selatan, di kirim ke sebuah negara yang sangat kacau, dan banyak hal hal yang tidak terjadi terjadi di sana, negara yang kacau tidak hanya memerlukan tentara, tetapi mereka juga perlu tenaga medis, dan Renata yang merupakan seorang dokter, juga ikut ke sana, dan disanalah, benih benih cinta mereka berdua tumbuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bandara
"Terima kasih, Rafael, kau sudah datang dan membawa Naya," ucap Renata, matanya tak lepas menatap Naya yang tertidur lelap di dalam mobil.
Rafael menatap Renata dengan senyum samar. Ada kebahagiaan di sana, tetapi juga keraguan yang samar-samar mengintip dari balik tatapannya. "Lalu, setelah ini bagaimana? Kita akan ke mana?" tanyanya, bingung karena Renata sama sekali tak menjelaskan niatnya dalam pesan tadi. Hubungan mereka masih abu-abu, dan Rafael tak tahu ke mana semua ini akan bermuara.
"Kita akan menikah," jawab Renata dengan ringan, seolah itu adalah hal paling wajar di dunia.
Rafael terkejut. "Menikah? Apakah kau yakin? Kau tahu aku akan segera ditugaskan ke Korea, bukan?" Tatapannya menelusuri wajah Renata, mencari keraguan di sana.
Renata membuka pintu mobil. "Aku tahu. Kita bisa menikah hari ini atau besok. Aku sudah siap," ujarnya mantap sebelum melangkah masuk ke kursi penumpang.
Rafael menarik napas dalam, lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi. "Apakah kau sudah berbicara dengan ayah dan ibumu?" tanyanya pelan.
Renata tersenyum tipis. "Aku yakin dengan keputusanku, Rafael. Sekarang, ayo kita ke bandara. Anna akan berangkat ke Korea. Besok, dia akan menikah dengan Choi."
Sepanjang perjalanan, Renata tak bisa mengalihkan pandangannya dari Naya. Gadis kecil itu tertidur nyenyak di kursi belakang, wajahnya damai seperti malaikat kecil. Ada kebahagiaan yang tak bisa Renata jelaskan, tetapi yang pasti, senyumnya tak pernah pudar saat melihat Naya berada di dekatnya.
Saat tiba di bandara, Renata menoleh ke arah Rafael. "Tunggu di sini dan jaga Naya. Aku akan segera kembali. Oh ya, apakah kau sibuk hari ini?" tanyanya.
"Tidak. Tidak ada jadwal operasi dan semua pasien sudah kuperiksa. Kenapa?" balas Rafael, menatap Renata dengan rasa ingin tahu.
Renata ragu sejenak sebelum menjawab. "Setelah ini, kita akan berbelanja kebutuhan untuk Naya dan juga bahan makanan di rumah."
Rafael tak menanggapi, tetapi justru bertanya, "Kita akan tinggal di mana? Di rumahku atau rumahmu?"
Renata tersenyum kecil. "Di rumahku saja," jawabnya sebelum keluar dari mobil.
Di dalam bandara, Renata menelusuri area keberangkatan, mencari sosok Anna. Saat melihat sahabatnya berdiri dengan ekspresi gelisah, ia langsung melambaikan tangan. "Anna!" teriaknya.
Anna yang semula tampak khawatir langsung tersenyum lega saat melihat Renata. "Renata!" serunya, matanya mulai berkaca-kaca.
Renata segera memeluknya erat. "Selamat atas pernikahanmu. Maaf, aku tidak bisa datang besok."
Air mata Anna akhirnya jatuh. Itu bukan air mata kesedihan, melainkan air mata haru. "Aku akan pergi, Renata. Setelah ini, mungkin kita akan jarang bertemu," ucapnya lirih.
Renata tersenyum hangat. "Kita akan selalu bertemu. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi rasanya ada benang yang menghubungkan kita. Sejauh apa pun kita terpisah, salah satu dari kita akan selalu menarik yang lain untuk kembali."
Anna mengernyit. "Apa maksudmu?" tanyanya, bingung.
Renata menarik napas dalam sebelum berkata, "Aku berhasil mendapatkan hak asuh Naya. Sekarang, dia bersamaku, dan selamanya akan tetap bersamaku." Wajahnya penuh kebahagiaan.
Anna membulatkan matanya. "Wow! Lalu bagaimana dengan persyaratan pernikahan? Kau harus memiliki suami, bukan?"
Renata menundukkan kepalanya sedikit. "Aku tidak tahu apakah ini benar atau salah, tetapi aku dan Rafael... sepertinya akan menikah."
Anna tertawa kecil. "Tidak heran. Aku sama sekali tidak kaget. Tatapan kalian selama ini sudah cukup menjelaskan segalanya."
Renata hanya tersenyum tipis. Lalu, ia menatap papan informasi keberangkatan. "Lihat, sudah hampir waktunya. Pergilah, dan jangan lupa kabari aku saat kau sudah sampai."
Anna mengangguk, tetapi sebelum pergi, ia menatap Renata dengan tatapan serius. "Bagaimana dengan keluargamu? Apakah mereka sudah tahu?"
Renata menundukkan wajahnya. "Aku tidak dianggap di sana, Anna. Rumah itu hanyalah bangunan dingin, bukan tempatku pulang."
"Jadi, kau akan menikah tanpa ayahmu?" Anna meletakkan tangannya di bahu Renata.
Renata menatapnya, matanya penuh luka. "Kau lupa? Dia bukan ayah kandungku. Memanggilnya 'ayah' saja sudah terasa begitu berat bagiku. Tapi anehnya, kakakku begitu nyaman hidup di sana bersamanya." Suaranya bergetar, dan tanpa bisa ditahan, air mata mengalir di pipinya.
Anna mengusap air mata sahabatnya. "Sesekali, datanglah ke makam ayahmu. Duduk di sana, ceritakan semua yang kau rasakan."
Renata tersenyum pahit. "Aku masih sangat kecil saat kehilangannya, Anna. Mungkin itu sebabnya aku selalu merasa sedih setiap kali seseorang berkata kasar padaku."
Anna tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya memeluk Renata erat. "Sudahlah. Kau sudah dewasa sekarang. Kau bertahan dan tumbuh kuat tanpa ayahmu. Kau hebat, Renata."
Renata menatap papan informasi sekali lagi. "Pesawatmu akan segera berangkat. Masuklah."
Saat Anna melangkah menjauh, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. "Siapa yang akan menghapus air matanya saat dia menangis nanti? Siapa yang akan ada di sampingnya saat ia merasa sendirian? Siapa yang akan menepuk bahunya? Siapa yang akan menemaninya saat malam yang dingin datang? Siapa yang akan ia ajak ke makam ayahnya nanti?"
Sementara itu, Renata hanya bisa menatap kepergian sahabatnya dengan hati yang berat. "Semua orang boleh pergi dan berubah kapan pun mereka mau. Aku tidak keberatan. Tapi tidak dengan dia. Tidak dengan Anna. Jangan ubah dia."