Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 29 Menjemput Andini
"Mas Edwin kamu di sini? katanya mau ke toilet," tanya Mona yang melihat Edwin sedang berada di toko perhiasan berlian yang tadi dia datangi.
Deg!
Edwin terkejut mendengar suara Mona ada dibelakangnya. Edwin segera berbalik menatap Mona yang sedang menatapnya heran.
"Tidak sedang apa-apa, Mon, tadi sehabis dari toilet aku ingin melihat-lihat perhiasan saja," kata Edwin berusaha menetralkan rasa terkejutnya. Beruntung dia sudah selesai membayarnya dan anting yang dia beli sudah masuk ke dalam saku celana jadilah Mona tak melihat benda itu.
"Cincin yang tadi aku beli sudah cukup, kok, Mas. Ayo temani aku belanja yang lain," ajak Mona lalu menggandeng tangan Edwin.
Edwin mengangguk lalu mengikuti Mona yang membawanya ke toko sepatu. Mona ingin membelikan papanya sepatu olah raga agar pria paruh baya itu mau rajin berolahraga mengingat usianya yang sudah hampir 60 tahun harus sering-sering berolahraga agar tubuhnya tetap sehat.
Mona mengambil sepasang sepatu olah raga dengan merk ternama lalu membawanya menuju kasir untuk membayarnya. Mona sudah menawari Edwin untuk membeli sepatu juga namun pria itu tak mau dan tak membeli apa-apa untuk dirinya dari Maldives.
"Setelah kembali ke Jakarta aku akan kembali bekerja lagi, Mas," ucap Mona memberi tahu Edwin.
"Tidak apa-apa asalkan kamu bisa mengatur waktu dan tetap memprioritaskan aku," kata Edwin.
"Tentu, Mas, aku kan sudah berjanji padamu bila akan berubah."
Edwin mengangguk mengiyakan perkataan Mona meski di hatinya ada sesuatu yang mengganjal disana. Entah Mona benar-benar akan berubah atau hanya meyakinkan dirinya yang jelas Edwin sudah memberinya kesempatan. Edwin akan melihat sejauh mana Mona bertindak untuk berubah atau untuk meyakinkan dirinya.
...****************...
Andini baru saja tiba di kampus. Dia sedang memarkirkan motornya diparkiran yang sudah disediakan. Tak lama Angga datang dengan motor Ninja miliknya, lelaki itu melihat Andini diparkiran membuat Angga segera memarkirkan motornya di sebelah motor Andini.
"An," panggil Angga.
Andini menoleh, dia terkejut melihat Angga yang sudah berada di sebelahnya.
"Motor kamu baru, An?" tanya Angga menelisik motor matic yang tadi Andini kendarai.
"Iya, Ga," jawab Andini singkat.
"Sarapan dulu yuk, An," ajak Angga.
"Aku sudah sarapan di rumah, Ga."
"Kalau begitu temani aku sarapan." Angga menarik tangan Andini membawanya berjalan menuju kantin dikampus itu.
"Ga, lepasin jangan tarik-tarik begini tidak enak dilihat orang."
"Kalau tidak begini nanti kamu tidak mau menemani aku sarapan," ucap Angga sembari berjalan dan menarik tangan Andini.
"Iya iya aku temani kamu tapi tolong lepaskan tanganku," pinta Andini.
Angga menghentikan langkah kakinya, dia lalu menoleh dan melepaskan tangan Andini.
"Kalau begitu ayo temani aku sarapan," ucap Angga.
Andini menggangguk mau tidak mau dia mengikuti Angga yang mengajaknya menuju kantin kampus. Disana Angga langsung mengambil makanan untuknya dan juga untuk Andini padahal gadis itu mengatakan bila dirinya sudah sarapan dirumah.
Andini menghela nafas. Sikap Angga yang seperti inilah yang tidak Andini sukai. Angga tipe lelaki pemaksa dan keinginannya harus dituruti.
"Angga aku kan tadi bilang sudah sarapan. Kenapa kamu membawakan aku makanan?" tanya Andini.
"Aku ingin kamu bukan hanya menemani aku makan tapi kamu juga ikut makan," jawab Angga. Dia lalu mulai menyantap nasi goreng miliknya.
Andini menyodorkan nasi goreng miliknya pada Angga.
"Kamu habiskan, aku tadi sudah sarapan," kata Andini lalu bangkit dari duduknya. Andini pergi meninggalkan Angga yang masih sarapan.
Angga membanting sendok di tangannya, menghela nafas berat lalu mengejar Andini.
Andini dibuat kesal oleh Angga yang terus mengikutinya padahal dia ada banyak urusan yang harus dikerjakan sebagai mahasiswi baru tapi Angga terus mengikutinya.
Andini menghentikan langkahnya. Sepertinya penegasan Andini beberapa hari yang lalu mengenai hubungan mereka tidak cukup membuat Angga menjauhinya.
"Apa mau kamu Angga?" tanya Andini yang sudah kesal dengan Angga yang terus mengikutinya.
"Aku mau kita seperti dulu lagi, Andini."
"Bukannya sudah aku tegaskan bila kita ini sahabat dan selamanya akan menjadi sahabat."
"Aku ingin lebih dekat denganmu."
"Tidak bisa, Ga, sekarang aku sudah memiliki kekasih."
"Baru kekasih, Andini, kalian bisa saja putus."
"Iya, tapi aku tidak mau memberi harapan palsu untuk kamu, Angga."
"Tapi, An ...."
"Please, Ga, kita adalah sahabat."
Andini lalu meninggalkan Angga yang masih menatapnya.
"Aku tidak mau hanya menjadi sahabat kamu, Andini, aku ingin kamu menjadi milikku," kata Angga.
...****************...
Edwin sudah tiba di Jakarta dua jam yang lalu. Dia langsung beristirahat dirumah sementara Mona pamit pergi ke rumah orang tuanya untuk mengantarkan oleh-oleh yang dia beli dari Maldives.
Edwin enggan ikut bersama Mona karena tak ingin kembali sakit mendengar kata-kata mertuanya yang selalu merendahkan dirinya. Selain itu Edwin tidak ikut juga karena hendak menemui Andini yang dia yakini gadis itu sedang berada dikampus.
Edwin menjemput Andini di kampus, dia menunggu didalam mobil hingga dia melihat sosok Andini berjalan menuju parkiran barulah Edwin keluar dari mobil dan menghampirinya.
"Pak ...."
Andini menghentikan langkah kakinya saat melihat Edwin ada dihadapannya. Andini tak bisa berkata-kata senang bercampur haru Edwin tak melupakan dirinya dan masih menemuinya meski hubungan dengan istrinya sudah membaik. Bila bukan di tempat umum Andini sudah pasti berlari menghampiri Edwin dan memeluk pria itu.
"Pulang dengan saya, An."
"Motor saya bagaimana, Pak?"
"Biar nanti Bima yang ambil."
Andini mengangguk lalu menitipkan kontak motornya pada satpam dan berjalan bersama Edwin masuk kedalam mobil.
Edwin menoleh pada Andini lalu tersenyum. Dia mengusap puncak kepala Andini kemudian mulai melajukan mobilnya menuju apartement.
"Saya dengar kamu sudah berhenti bekerja di restorant," kata Edwin menoleh sebentar pada Andini kemudian kembali fokus mengemudi.
"Anda yang meminta saya berhenti bekerja."
"Kamu benar, saya yang memintamu berhenti bekerja."
"Saya rasa saya akan bosan bila tidak bekerja," kata Andini.
"Kenapa memangnya?" tanya Edwin.
"Karena anda tak lagi bersama saya," jawab Andini.
Edwin tersenyum, dia paham apa yang Andini maksud.
"Saya aka sering mengunjungi kamu," ucap Edwin.
"Benarkah?" tanya Andini senang. Dia bahkan mendekatkan wajahnya pada Edwin yang sedang mengemudi.
Edwin mengangguk membuat Andini langsung mencium pipi Edwin dengan riang. Seperti biasanya Andini selalu mampu membuat tubuh Edwin berdesir dengan jantung berdegup lebih cepat tapi kenapa hatinya tak bisa mencintainya.
Edwin hanya mampu menghela nafas karena sepertinya dia harus benar-benar melepas Mona baru lah bisa mencintai Andini.
Tak lama mereka tiba diapartement. Edwin mengambil paperbag berukuran kecil yang dia letakkan dikursi belakang sesuatu yang tadi dia beli sebelum menjemput Andini dikampus.
"Apa ini, Pak?" tanya Andini setelah tiba diapartement dan Edwin memberikan paperbag itu pada Andini.
"Buka saja kamu pasti suka," titah Edwin.
Andini membuka paperbag yang Edwin berikan. Matanya seketika berkaca-kaca saat melihat isi didalamnya.