Renatta Putri Setiawan, seorang gadis berusia 22 tahun. Hidup dalam kemewahan dan kemanjaan dari keluarganya. Apapun yang menjadi keinginannya, selalu ia di penuhi oleh orang tua dan saudaranya.
Namun, suatu hari gadis manja itu harus menuruti keinginan orang tuanya. Ia harus mau dijodohkan dengan seorang pria berusia 40 tahun, agar keluarga Setiawan tidak mengalami kebangkrutan.
Renatta yang membayangkan dirinya akan hidup susah jika keluarganya bangkrut, terpaksa menerima perjodohan itu. Asalkan ia tetap hidup mewah dan berkecukupan.
Gadis itu sudah membayangkan, pria 40 tahun itu pasti berperut buncit dan berkepala plontos. Namun, siapa sangka jika pria yang akan dijodohkan dengan dirinya ternyata adalah Johanes Richard Wijaya. Tetangga depan rumahnya, dosen di kampusnya, serta cinta pertama yang membuatnya patah hati.
Apa yang akan Renatta lakukan untuk membalas sakit hatinya pada pria yang pernah menolaknya itu?
****
Hai-hai teman Readers. Kembali lagi bersama Author Amatir disini.
Semoga cerita kali ini berkenan, ya.
Ingat, novel ini hanya fiksi belaka. Tidak ada ikmah yang dapat di ambil setelah membacanya.
Terima Gaji.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Wanita Lain Di Ruangan Richard.
Suasana kelas menjadi riuh karena dosen yang biasanya datang tepat waktu, kini justru belum menampakkan batang hidungnya.
Tak biasanya dosen Richard datang terlambat, jika pun ia tidak dapat mengajar, maka ia tidak akan datang.
Beberapa mahasiswa dan mahasiswi pun bertanya pada Renatta. Mengingat, wanita itu merupakan asisten dari dosen Richard.
“Re, kamu ‘kan asistennya pak Richard. Memangnya dia kemana? Dia sudah terlambat sepuluh menit ini.”
Renatta menghela nafas, kemudian mengedikan bahunya.
Padahal tadi di rumah, pria itu mengingatkan Renatta agar tidak terlambat masuk kelas. Tetapi nyata sekarang, justru dirinyalah yang datang terlambat.
“Memangnya laki kamu kemana, Re?” Tanya Gista dengan berbisik.
Renatta menggelengkan kepalanya. “Tadi kita berangkat bersama, walau beda mobil karena dia akan ke kantor.” Wanita itu juga ikut berbisik.
“Lihat ke ruangannya saja, Re.” Saran Gista.
Renatta mengangguk pelan. “Ikut aku, Ta.”
Gista pun mencebikkan bibirnya. “Aku tidak mau jadi obat nyamuk.”
Mata Renatta membola. Ia kemudian menarik lengan sahabatnya itu.
“Jangan banyak bicara.”
Renatta menyeret Gista keluar dari dalam kelas. Mereka pun berjalan menunju ruangan Richard.
Suara tawa seorang wanita terdengar dari dalam ruangan pria berusia empat puluh tahun itu.
“Re, suara tawa siapa itu?” Tanya Gista penasaran.
Renatta menggeleng pelan. Tangannya tiba-tiba mengepal, membayangkan ada seorang wanita yang sedang tertawa bersama sang suami di dalam sana.
“Kita kembali ke kelas saja.” Gerutu Renatta.
“Eh, jangan. Kita ketuk pintunya saja.” Gista mencegah Renatta untuk pergi.
“Sudah, Re. Ketuk saja. Pak Richard sudah beberapa kali ini tidak mengajar di kelas. Masa sekarang tidak mengajar lagi, padahal dia ada di kampus?” Gista memanasi.
Karena Renatta tak kunjung mengetuk pintu, Gista pun mengambil alih kemudian menggedor papan kayu itu.
“Masuk.” Terdengar seruan dari dalam.
Dan Renatta tahu, jika itu suara sang suami.
Richard tersentak melihat siapa yang datang. Pria itu dengan cepat berdiri, dan berjalan menuju pintu.
“Ada apa?” Tanyanya dengan sikap santai. Ia teringat janji untuk tidak terlalu terbuka di depan umum.
Renatta tak menjawab, ia sibuk mencuri pandang ke dalam ruangan, dimana terlihat seorang wanita dewasa sedang duduk di kursi tamu.
“Pak Rich, ada jadwal mengajar di kelas kami. Dan bapak sudah terlambat sepuluh menit.” Lagi-lagi Gista mewakili Renatta saat wanita itu hanya diam.
“Ah, jadi pak Richard ada kelas? Kita terlalu asyik mengobrol hingga lupa waktu.”
Wanita yang tadi duduk di dalam, tiba-tiba sudah berdiri di samping Richard.
Renatta dan Gista saling melempar tatap. Wanita dewasa itu terlihat cantik dan memiliki tubuh tinggi bak seorang model.
“Baiklah, karena pak Richard akan mengajar kita akan lanjutkan mengobrolnya nanti.” Wanita itu mengusap lengan Richard, kemudian permisi meninggalkan tempat itu.
Renatta menatap penuh selidik pada sang suami.
“Maaf, pak. Jika tidak bisa mengajar, lebih baik kami diberi tugas atau di pulangkan saja.” Wanita itu kemudian menarik lengan sang sahabat kembali ke dalam kelas.
***
“Sayang, kamu marah padaku?” Tanya Richard pada sang istri. Pria itu sengaja pulang kantor lebih awal, mengingat sikap Renatta sama sekali tidak bersahabat saat di kampus tadi.
Renatta mengedikan bahunya. Wanita itu sibuk menata pakaian bersih di dalam lemari.
“Bicaralah, sayang. Jangan diam.” Richard menarik lengan sang istri, hingga wanita itu menempel padanya.
“Om, kamu menyakiti aku.” Renatta berusaha melepaskan cengkeraman tangan sang suami.
Pria itu mengendurkan cengkeramannya, namun tak melepaskan tangan sang istri.
“Jawab aku. Jangan diam saja.” Volume Richard naik beberapa oktaf.
Jantung Renatta berdetak cepat ketika melihat mata sang suami memerah dengan rahang mengetat.
Sungguh wanita itu tidak pernah tahu tentang sifat sang suami yang mudah sekali marah.
Bukankah, harusnya Renatta yang marah? Kenapa sekarang pria itu yang tersulut emosi?
“Kamu marah karena ada seorang wanita di dalam ruanganku?” Tebak Richard kemudian.
“Ya.” Tanpa sadar Renatta menjawabnya.
“Dia hanya rekan kerja. Dosen baru di kampus, dan Edward memintaku untuk menjelaskan beberapa hal padanya.” Jelas Richard kemudian. Suara pria itu perlahan melemah.
“Dosen baru tetapi bisa tertawa dengan lepas di hari pertama bertemu? Sepetinya obrolan kalian sangat menarik.” Kini giliran Renatta yang mengeluarkan amarahnya.
“Kamu cemburu.” Bukan pertanyaan. Richard mengucapkan sebuah pernyataan.
“Jelas aku cemburu. Om tahu sejak dulu aku menyukaimu. Dan sekarang kita sudah menikah. Meski bukan karena cinta, tetapi aku memiliki hak untuk cemburu.”
Wanita itu menghentak tangan sang suami. Ia kemudian keluar dari ruang ganti.
“Kami hanya mengobrol tidak lebih.” Richard mengejar sang istri.
“Ya. Mengobrol hingga membuat wanita itu tertawa lepas.”
“Sayang. Berhenti. Berani kamu keluar dari kamar ini dengan marah, aku kurung kamu.” Richard kembali menarik lengan sang istri sebelum wanita itu mencapai pintu.
“Lepaskan aku, om. Om menyakitiku.”
Kali ini Richard tak menghiraukan. Ia menghempas tubuh sang istri di atas tempat tidur.
“Hanya dia yang tertawa. Bukan aku. Dan aku sangat bersyukur kamu datang. Dengan begitu, dia cepat keluar dari ruanganku.”
Richard mengukung tubuh sang istri. Ia mengunci kedua tangan wanita itu di atas kepalanya.
“Sebagai seorang pria beristri, harusnya om bisa tegas. Jam mengajar bisa om jadikan alasan untuk mengusirnya keluar. Bukan malah asyik mengobrol hingga terlambat masuk kelas. Coba saja aku yang terlambat, segala hukuman pasti sudah di berikan padaku.” Renatta berbicara panjang lebar menumpahkan isi hatinya.
Richard menghela nafas pelan. Selama ini, ia belum pernah berhubungan dengan lawan jenisnya. Ia tidak tahu jika hal sepele seperti ini, bisa membuat sang istri marah.
“Maafkan aku, sayang.” Pria itu mencoba mengalah. Sama-sama keras kepala, hanya akan membuat keduanya semakin bertengkar.
“Lepaskan aku, om.”
Richard melepaskan kuncian tangannya. Namun ia tidur disamping sang istri sembari memeluk erat pinggang wanita itu.
“Maafkan aku, sayang. Lain kali, aku tidak akan mengobrol berdua lagi dengan wanita selain dirimu.”
Renatta mendengus pelan.
“Bukan seperti itu juga, om. Boleh mengobrol dengan wanita lain, tetapi ingat batasanmu. Om sampai membuat dia tertawa lepas, bisa saja lama-lama dia menjadi nyaman, da menaruh minat padamu.”
Richard mengangguk paham.
“Maafkan aku, sayang.”
***
Bersambung.
dimana mana bikin gerah 😜🤪
aku baru nemu cerita ini setelah kesel nunggu cerita sisa mantan 😁