Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayi Yang Tak Bernafas
Hujan turun pelan di pagi itu, butiran kecilnya menempel di daun dan menetes pelan dari talang. Suara hujan yang biasanya menenangkan kini terasa seperti irama yang menandai sesuatu yang akan hilang. Aku berada di ruang tunggu rumah sakit, menggenggam genggam tangan Bu Murni yang dingin, sementara pikiranku berputar tanpa henti.
Di balik pintu kaca, ruang perawatan bersinar steril; lampu putihnya memantulkan bayangan perawat yang lalu-lalang. Itu kontras tajam dengan dinginnya yang menusuk di dadaku suatu dingin yang bukan hanya karena udara, tapi karena ketakutan yang membesar sejak larut malam kemarin.
Laras dibawa ke sini tengah malam setelah pingsan hebat. Kami semua panik; Raka menangis tersedu-sedu, Dimas menekan bahu seolah menahan amukan yang tak tahu harus diarahkan kepada siapa. Aku teringat betul dua bulan lalu ketika dokter menyeret kata-kata itu secara halus ke dalam ruangan: “maaf… tetapi janinnya…” Aku tidak ingin kembali ke saat itu. Namun sekarang kami di sini lagi, dan sesak di dada terasa semakin nyata.
Perawat keluar, wajahnya ramah tapi ada garis kelelahan yang jelas di bawah matanya. “Bu Murni? Kami sudah melakukan pengecekan rutin. Ibu boleh masuk sebentar, tapi tolong tenang.” Suaranya seperti permintaan dan amunisi yang tidak mempan pada kami yang sudah remuk.
Aku berdiri, menarik napas panjang sampai perut terasa penuh. Langkahku berat ketika menyeberangi lorong, menempelkan tangan ke pintu yang dingin sebelum mendorongnya masuk.
Di dalam, Laras terbaring. Selimut putih menutupi tubuhnya dari dada ke bawah; wajahnya pucat, bibirnya sedikit biru. Monitor di sampingnya berdetak, angka-angka berganti. Di sudut ruangan, seorang bidan memegang benda kecil yang dibalut kain—cara ia menggenggamnya membuat jantungku seperti ditusuk. Itu bukan aksesoris; itu bagian dari hidup yang baru saja berhenti.
Aku tidak mau melihat. Tapi mataku menolak menurut.
“Dia… tidak bernapas lagi,” kata bidan dengan suara serak, seperti berusaha menutup jurang di antara kata dan duka. “Kami sudah melakukan resusitasi, tapi tidak berhasil.”
Kalimat itu menghantam, membuat tubuhku menegang sampai lututku lemas. Semua rasa menumpuk, dan untuk sesaat aku merasa dunia melambat, lalu berhenti.
Laras membuka mata-mata yang tampak kosong namun penuh pertanyaan. Ia mencoba menggerakkan bibirnya, suara seraknya memecah keheningan. “K...kak…?” Ia memanggilku dengan suara setengah jadi.
Aku melangkah mendekat dan menangkap tangannya. Tangan itu selembut kapas, masih terasa hangat, tapi tatapannya… tatapannya menuntut sesuatu yang tidak bisa kuberikan: kata-kata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Aku di sini, Lar,” suaraku pecah. “Kakak di sini.”
Laras menangis, tapi tidak penuh histeris. Tangisnya berat, berlapis; ada penyerahan yang getir di setiap tarikan napasnya. “Kenapa… kenapa dia nggak…,” ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Kata-kata yang sederhana itu koyak oleh kesedihan yang terlalu dalam untuk ditelan.
Aku memeluknya. Pelukan itu terasa seperti menahan runtuhan. Bu Murni berduduk di kursi samping, wajahnya tak lagi menampakkan kekuatan yang biasa ia keluarkan. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil terisak pelan. Dimas mematung di ambang pintu, rahangnya bergetar, sementara Raka menghentakkan sepatu ke lantai dengan nafas tersengal cara anak bungsu kami menangis berbeda, tapi sama memilukan.
Bidan meletakkan kantong kecil berisi kain putih di meja samping, sebuah perbekalan kecil untuk keluarga. “Kita bisa melakukan protokol duka kalian boleh melihat lebih lama, boleh menyentuh, boleh memandikan. Apa keluarga ingin…?” Suaranya tersendat. Pilihan itu terasa seperti lorong gelap menganga: ritual untuk menghadapi kehilangan, tapi juga bukti bahwa kehilangan itu nyata.
Ibu mengangkat kepala, matanya bening dari air mata. “Biarkan aku melihatnya,” suaranya lapuk tapi tegas. Dengan langkah goyah ia melangkah mendekat, menyentuh kain yang membungkus tubuh kecil itu. Matanya membelalak ketika kain dibuka perlahan.
Bayi itu sangat kecil. Tangan seperti daun kering, jari-jari mungil yang kupinginnya belum sempat kugenggam. Wajahnya lembut, damai, seperti sedang tidur panjang namun perasaan di dadaku tak bisa menerima kata “damai” itu. Ada jurang rindu yang menganga. Ibu menutup matanya dengan gerakan ibu yang penuh kasih, seperti menidurkan kembali anaknya sendiri. “Maafkan Ibu kalau Ibu tak bisa jaga semuanya,” bisiknya pada mayat kecil itu, padahal setiap kata itu sebenarnya untuk Laras, untuk kami, untuk dirinya sendiri.
Laras mengangkat tangan, dengan kelam-kelamnya ia meraih kain itu. Tangannya gemetar ketika ia menyentuh pipi bayi, seolah ingin mengecek apakah itu nyata. “Maafkan aku,” suaranya kecil. “Maafkan aku karena nggak bisa simpen dia hidup di dalam aku.” Rasa bersalah membebani suaranya padahal kami tahu ini bukan salahnya. Tubuh manusia tak selalu kooperatif; alam tak memihak keinginan.
Aku menunduk, menahan air mataku. Kata-kata klisè “bukan salahmu”, “kamu kuat” terasa hambar, tak punya daya menolong. Bagaimana bisa kami menenangkannya ketika hatiku sendiri tertatih? Di hadapan tubuh kecil itu, kami semua hanya manusia yang tak sanggup menjawab pertanyaan paling primitif: kenapa?
Jam di dinding berdetak pelan. Waktu berjalan, meski rasanya kami tidak ingin melangkah bersama ia hari itu. Perawat menawarkan ruang privat untuk keluarga sebuah kamar kecil dengan kursi, air hangat, dan kertas-kertas untuk administrasi. “Ambil waktu yang kalian butuhkan,” katanya. “Kami akan bantu urus yang administratif nanti.”
Laras mengangkat kepalanya, menatap tiap wajah: ibunya, aku, Dimas, Raka. “Kalian tetap di sini kan?” suaranya menggantung kematian. Kami semua mengangguk, tapi jawaban itu tidak mengusir bayangan kosong dalam dadanya.
Malam itu kami bertemu dengan rutinitas baru yang kejam: memilih baju kecil untuk dimandikan sekali, memilih kain kecil untuk membungkus, memilih doa yang pas untuk diucapkan. Setiap pilihan kecil itu terasa seperti memerintah hati untuk menerima hal yang mustahil diterima. Aku membayangkan bagaimana seharusnya—ketika bayi menangis, Laras akan meraba dan tenang; sekarang ia harus belajar meraih hal-hal yang tak lagi menolak tidur selamanya.
Ketika mereka memandikan bayi itu, air yang digunakan terasa seperti mengaburkan batas antara ritual dan pengkhianatan; kami membersihkan tubuh mungil yang tidak lagi bernapas. Air hangat menetes dari jari-jari kami, dan bau sabun ringan menggulung. Di sanubari, ada rasa bersalah karena mensterilkan sesuatu yang tak lagi membutuhkan kebersihan karena ia tak lagi hidup. Namun budaya memberi kami cara untuk mengucap selamat jalan yang layak karena manusia butuh penutup untuk luka.
Selesai ritual, kami duduk melingkar, memegang tangan satu sama lain seperti penguat. Aku menyandarkan kepala ke dinding dan menatap plafon putih rumah sakit. Di sana, bayangan kelabu dari pagi yang muram bertumpuk. Raka mendekat dan menggenggam tanganku. “Kak… apa kita bisa kasih nama?” suaranya kecil dan serak. Ia belum bertemu bayi itu, tapi naluri penjagaannya langsung terbuka.
Ibu menatap kami. Air matanya menggelimang. “Kalian yang mau pilih,” katanya.
Berjam-jam kami berbincang gelap menamai hidup yang sebentar itu. Nama-nama yang pernah kami impikan untuk anak-anak masa depan bermunculan: nama sederhana, nama keluarga, nama yang punya doa. Laras, meski lelah, menyampaikan satu nama dengan bibir tersekat dan mata berkaca-kaca. “Aku… aku pengin namanya ‘Raihan’,” katanya pelan. Suaranya pecah, namun penentuan itu memberi sesuatu: pemilikan, pengakuan bahwa walau sekejap, nyawa itu pernah menjadi bagian kami.
Kami memberi ruang, menamai, mendoakan, lalu pura-pura mencoba memulihkan unsur tak terpulihkan. Petugas rumah sakit membantu mengurus dokumen, memberi pilihan pemakaman atau kremasi. Pilihan-pilihan itu terasa berat seperti batu. Di akhir hari, kami memilih ritual sederhana penghormatan kecil, bunga, doa.
Ketika malam melingkupi gedung rumah sakit dan jalanan Bandung berkilau oleh refleksi lampu jalan pada genangan hujan, kami keluar dengan langkah yang goyah. Kotak kecil berisi tubuh mungil itu kami bawa pulang untuk sejenak disemayamkan di rumah sebelum dimakamkan. Mobil melaju pelan. Aku menatap dari balik kaca, melihat wajah-wajah yang dulu kukenali ibu, adik-adikku, suamiku semuanya mengembara dalam rasa yang sama: tak percaya, kosong, terluka.
Di rumah, kami mempersiapkan tempat kecil di ruang tamu, menutup seisi rumah dengan kesunyian yang teduh. Tetangga dan saudara yang tahu datang memberi salam, membawakan makanan dan pelukan. Mereka bicara hal-hal biasa, namun setiap kata itu terasa penuh belas. Ada kekuatan dalam hadirnya orang lain; kehadiran membuat duka tidak harus ditanggung sendiri.
Laras duduk di kursi, memegang kain yang pernah membungkus janin kecil itu. Di matanya ada kepasrahan, tetapi juga sesuatu yang lebih besar: kehendak hidup yang tak tergoyahkan. “Kak,” katanya pelan, menatapku, “aku takut aku nggak bisa ngelewatin ini.”
Aku menggenggam tangannya. “Kita lewatin bareng, Lar. Kita pangku rasa sakitmu, lalu kita ubah jadi alasan buat bangkit.”
Dia menangis, tapi ada secercah tekad pada bibirnya. “Aku masih ingin punya anak. Aku masih mau percaya.”
Malam itu kami menangis, meratap, memeluk, menata, dan berdoa. Kami turun ke lubang kecil di tanah pemakaman esok hari dengan hati berat dan langkah ragu, membawa sesuatu yang tak bisa diukur oleh ukuran biasa: cinta yang singkat, rindu yang panjang.
Di hari-hari setelahnya rumah kami tetap bergelut antara rutinitas dan kehilangan. Kadang aku melihat Laras termenung menatap kursi kosong, atau menatap pakaian bayi yang tak sempat dipakai. Kadang aku menatap cermin dan merasakan sisi rapuhku sendiri. Tapi di sela duka itu, ada hal yang tak boleh hilang: kami masih bersama. Itu adalah jembatan kecil yang membuat kami tetap melangkah.
Bayi yang tak bernapas itu mengajarkan satu pelajaran kejam sekaligus lembut: hidup bisa mengambil tanpa tanya, namun luka yang ditinggalkannya bisa menjadi ruang untuk saling menambal. Kami tak bisa memutar waktu, tapi kami bisa memilih bagaimana caranya berjalan lagi bersama dengan nama yang telah kami ucapkan, dengan doa yang sudah kami panjatkan, dan dengan cinta yang masih kami wariskan.
Dan di sela rintik hujan yang menghapus jejak-jejak hari itu, aku berbisik pada diri sendiri dan pada langit Bandung: semoga kita semua belajar memeluk luka, bukan membiarkannya memisahkan.