NovelToon NovelToon
PESONA TETANGGA BARU

PESONA TETANGGA BARU

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"

Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.

Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.

Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

12

Maya menatap kertas kecil di tangannya, nomor telepon Arya tertera jelas di sana. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Nomor pribadi. Bukan nomor kantor atau nomor umum. Ada getaran aneh yang menjalar di hatinya, perpaduan antara rasa bersalah dan sensasi yang menyenangkan. Arya memberinya nomor pribadinya.

Mengapa?

Ia melipat kertas itu rapi, menyimpannya di saku dasternya. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi oleh Arya dan nomor itu. Tawaran bantuan yang tidak wajar dari seorang majikan kepada pembantu rumah tangganya.

Sesampainya di rumah, Maya langsung menuju dapur, menyiapkan makan malam untuk Tama. Otaknya sibuk merangkai alasan, mencari celah untuk menggunakan nomor Arya. Apakah ia harus menunggu hingga benar-benar ada hal yang perlu bantuan, atau sekadar mencari alasan sepele untuk menghubunginya? Pikiran itu sendiri sudah terasa seperti sebuah pengkhianatan.

Malam itu, di ranjang, Maya merasa gelisah. Tama sudah terlelap di sampingnya, dengkurannya mengisi kesunyian kamar. Maya meraih ponselnya, membuka kontak, dan mengetik nomor Arya. Ia menatap deretan angka itu lama, jarinya ragu untuk menekan tombol

Panggil. Apa yang akan ia katakan? Bagaimana jika Arya curiga?

Ia akhirnya membatalkan niatnya. Belum waktunya. Ia harus menunggu. Menunggu alasan yang tepat, atau setidaknya, alasan yang bisa ia yakini sendiri.

***

Dua hari berlalu. Maya terus menjalani rutinitasnya di rumah Arya. Pagi hari, ia akan disambut Bi Sumi yang ramah. Siang hingga sore, ia akan sendirian di rumah besar itu, menyelesaikan pekerjaannya. Arya sering tidak ada, pergi bekerja atau rapat. Namun, setiap kali Arya berada di rumah, Maya merasakan tatapan pria itu padanya. Tatapan yang selalu membuat jantungnya berdebar.

Seperti pagi ini. Maya sedang membersihkan kolam renang di halaman belakang. Ia mengenakan celana kain dan kaus longgar, mengikat rambutnya ke belakang. Matahari pagi terasa hangat di kulitnya. Air kolam renang memantulkan cahaya biru jernih. Ia menggunakan jaring untuk mengumpulkan daun-daun kering yang jatuh ke dalam air.

Tiba-tiba, ia mendengar suara pintu kaca terbuka.

Arya.

"Pagi, Mbak Maya," sapanya, suaranya terdengar

dekat.

Maya menoleh. Arya berdiri di tepi kolam, mengenakan celana pendek olahraga dan kaus polos yang membungkus tubuh atletisnya. Keringat tipis terlihat di dahinya, sepertinya baru selesai berolahraga. Ia membawa sebotol air mineral.

"Pagi, Tuan," jawab Maya. Ia merasa sedikit kikuk karena penampilannya yang tidak terlalu rapi.

Arya melangkah mendekat ke tepi kolam. Ia menatap kolam renang, lalu beralih menatap Maya. "Sudah lama di sini?"

"Baru saja mulai, Tuan. Mengambil daun-daun yang jatuh," jawab Maya, menggerakkan jaringnya di air.

"Saya rasa saya tidak bisa membersihkan kolam sendiri," Arya terkekeh pelan. "Pekerjaan yang cukup sulit, ya?"

"Tidak juga, Tuan. Sudah biasa," kata Maya.

Arya meneguk air mineralnya. Matanya terus menatap Maya, mengamati setiap gerakannya. Maya bisa merasakan tatapan itu, membuatnya sedikit risih sekaligus anehnya, menikmati. Ia merasa diperhatikan.

"Ngomong-ngomong, Mbak Maya," Arya tiba-tiba berkata, nadanya berubah sedikit serius. "Saya butuh bantuan Anda."

Jantung Maya berdesir. Bantuan apa? Apakah ini alasan yang ia tunggu? "Bantuan apa, Tuan?"

"Saya punya beberapa koleksi buku lama di gudang. Buku-buku itu perlu dibersihkan dan ditata rapi. Saya ingin Anda yang menatanya," kata Arya. "Saya tidak mau sembarang orang menyentuh buku-buku itu. Anda kan rapi."

Maya terkejut. Membersihkan buku lama? Terdengar seperti pekerjaan sepele, tapi ini adalah alasan bagi Arya untuk berinteraksi lebih lama dengannya. "Baik, Tuan.

Saya bisa. Tapi... di mana gudangnya?"

"Nanti saya tunjukkan," Arya tersenyum tipis.

"Bagaimana kalau setelah makan siang? Saya akan temani Anda."

"Baik, Tuan," jawab Maya. Sebuah janji interaksi berdua. Perasaan berdebar kembali muncul.

Arya mengangguk. "Kalau begitu saya mau mandi dulu. Gerah sekali." Ia melangkah pergi, meninggalkan Maya sendirian di tepi kolam.

Maya menarik napas dalam-dalam. Dia mencarikan alasan. Dan alasan itu adalah... buku. Sebuah senyum kecil tak sadar muncul di bibirnya. Arya sengaja mencari cara untuk menghabiskan waktu dengannya.

Siang itu, setelah makan siang, Bi Sumi pamit pulang.

Maya menyelesaikan sisa pekerjaannya, jantungnya berdebar menanti Arya.

Tak lama kemudian, Arya muncul dari ruang kerjanya. Ia sudah berganti pakaian, kini mengenakan kaus polos berwarna navy dan celana jins. Penampilannya lebih santai, namun tetap memancarkan aura maskulin yang kuat.

"Sudah siap, Mbak Maya?" tanyanya.

"Sudah, Tuan," Maya mengangguk.

"Ayo ikut saya," Arya berjalan di depannya, menuju sebuah pintu kecil di balik dapur. "Ini gudangnya. Agak berdebu, jadi hati-hati."

Arya membuka pintu gudang. Aroma apek dan debu langsung menyergap. Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi penuh dengan tumpukan kotak-kotak kardus, beberapa perabot tua yang tertutup kain, dan rak-rak kayu penuh buku.

"Ini buku-buku saya waktu kuliah dulu. Dan beberapa koleksi lama," kata Arya. "Tolong dibersihkan satu per satu, lalu ditata rapi di rak ini." Ia menunjuk sebuah rak kosong di sudut.

"Baik, Tuan," kata Maya.

"Saya akan bantu mengeluarkan beberapa kotak ini,"

Arya mulai menarik beberapa kotak kardus yang besar dan berat.

"Tidak usah, Tuan. Biar saya saja," Maya merasa tidak enak melihat majikannya mengangkat barang berat.

"Tidak apa-apa. Saya tahu ini berat," kata Arya, otot-otot lengannya menonjol saat ia mengangkat kotak. Ia meletakkan kotak-kotak itu di lantai, di dekat Maya.

Maya mulai membersihkan buku-buku itu satu per satu. Ia mengambil kain lap bersih dan mulai mengelap sampulnya. Beberapa buku terlihat sangat tua, dengan sampul yang sudah usang dan kertas yang menguning.

Arya tidak pergi. Ia justru duduk di bangku kayu di dekat pintu, mengamati Maya bekerja. Matanya tidak lepas dari setiap gerakan Maya.

"Tuan Arya tidak bekerja?" tanya Maya, merasa canggung dengan tatapan Arya.

Arya tersenyum tipis. "Saya sedang 'bekerja'. Mengawasi Anda."

Maya tersipu. "Saya tidak butuh diawasi, Tuan. Saya tahu apa yang harus saya lakukan."

"Saya tahu. Tapi saya suka melihat orang bekerja keras," kata Arya, suaranya tenang, namun ada nada menggoda di dalamnya. "Lagipula, saya bosan sendirian. Bi Sumi sudah pulang."

Hati Maya berdesir. Bosan sendirian. Sebuah kalimat yang terdengar begitu... personal. Apakah Arya benar-benar bosan, atau ini hanya alasan lain untuk menemaninya?

"Tuan Arya tidak ada teman di sini?" Maya bertanya, berani.

Arya menghela napas pelan. "Ada. Tapi kebanyakan teman bisnis. Atau... teman lama yang tidak terlalu ingin saya temui." Ada jeda sejenak. "Seperti Brama, yang kemarin datang."

Maya sedikit terkesiap mendengar nama itu. "Dia siapa, Tuan? Teman Anda?"

"Bisa dibilang begitu," Arya mengernyitkan dahi. "Dia punya urusan bisnis yang belum selesai dengan saya. Dan dia punya cara yang kurang ajar."

Maya mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih jauh. Arya tidak ingin membahasnya.

Mereka kembali dalam keheningan. Hanya suara lap yang mengusap buku dan napas mereka. Maya terus bekerja, sesekali merasakan tatapan Arya padanya. Tatapan itu terasa seperti sentuhan, sebuah panas yang menjalar di kulitnya.

"Mbak Maya," Arya tiba-tiba memanggil.

"Iya, Tuan?"

"Coba lihat buku ini," Arya menunjuk sebuah buku tua dengan sampul kulit. "Ini salah satu buku favorit saya."

Maya mengambil buku itu, mengelapnya perlahan.

Judulnya dalam bahasa Latin. "Saya tidak mengerti, Tuan.

Ini bahasa apa?"

"Bahasa Latin. Ini buku tentang sejarah seni kuno," jelas Arya. Ia bangkit dari duduknya, mendekat ke arah Maya. Ia berdiri di belakang Maya, cukup dekat sehingga Maya bisa merasakan kehangatan tubuhnya. "Buku ini menceritakan tentang..."

Arya mulai menjelaskan isi buku itu. Suaranya yang dalam dan berpengetahuan membuat Maya terpukau. Ia berbicara tentang seni, filsafat, dan sejarah dengan cara yang begitu menarik. Maya hanya mendengarkan, sesekali mengangguk. Ia merasa kagum. Arya bukan hanya kaya, ia juga cerdas. Jauh berbeda dari Tama yang hanya berkutat dengan mesin motor.

Saat Arya menjelaskan sebuah ilustrasi di halaman buku, ia membungkuk sedikit. Tangannya terulur, menunjuk gambar. Punggung tangannya menyentuh punggung tangan Maya. Sentuhan itu singkat, namun begitu jelas. Sebuah sengatan listrik menjalar di lengan Maya.

Maya segera menarik tangannya sedikit, jantungnya berdegup kencang. Ia melirik Arya. Pria itu tampaknya tidak menyadari sentuhan itu, matanya fokus pada buku.

Atau, apakah ia berpura-pura tidak menyadari?

"Jadi, begitulah seni di masa itu berkembang," Arya mengakhiri penjelasannya, menegakkan tubuh.

"Wah, menarik sekali, Tuan," kata Maya, suaranya sedikit tercekat. Ia masih merasakan panas di punggung tangannya.

"Saya senang Anda tertarik," Arya tersenyum tipis.

"Saya jarang punya kesempatan bicara soal ini dengan orang lain."

Ada jeda sejenak. Mata Arya menatap Maya lagi. Ada kilatan aneh di sana, sebuah undangan. "Anda juga suka membaca?"

"Tidak terlalu, Tuan. Saya jarang punya waktu," jawab Maya, jujur. "Kalau begitu, lain kali, kalau Anda sedang senggang, saya bisa ceritakan lagi tentang buku-buku lain," kata Arya, nadanya terdengar menggoda.

Hati Maya berdesir. Tawaran itu. Sebuah tawaran untuk berinteraksi lebih lama, di luar konteks pekerjaan, di antara tumpukan buku-buku kuno. Tawaran yang sangat berbahaya, namun begitu memikat.

Ia menatap Arya. Pria itu masih menatapnya, dengan senyum tipis yang tak terbaca. Apakah ini semua adalah bagian dari rencana Arya? Atau hanya kebetulan?

Maya merasakan konflik batin yang hebat. Ia tahu ia harus menolak. Tapi ada bagian dari dirinya yang sangat ingin menerima tawaran itu. Sebuah dorongan yang tak bisa ia jelaskan, mendorongnya semakin dekat ke arah Arya, ke arah bahaya.

"Saya... saya tidak tahu harus bilang apa, Tuan," kata Maya, suaranya nyaris berbisik.

Arya hanya tersenyum lebih lebar. Sebuah senyum yang mampu membuat Maya berdebar sekaligus penasaran akan apa yang akan terjadi selanjutnya.

1
Mar lina
kalau sudah ketagihan
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya
lestari saja💕
klo sdh kondisi gtu setan gampang bgt masuk menghasut
lestari saja💕
ya pasti membosan kan bgt.bahaya itu
lestari saja💕
mampir,penulisannya bagus,semoga ga berbelit2
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!