Lily Valencia seorang wanita yang cantik, yang mengandung dan membesarkan seorang anak seorang diri, tanpa tahu siapa yang menghamilinya.
Kehidupan yang keras ia lalui bersama Adam, putranya. Setelah Lily diusir karena di anggap aib oleh keluarganya.
Setelah Empat tahun berlalu, pria itu datang dan mengaku sebagai ayah biologis Adam.
"Dia anakku, kau tidak berhak memisahkan kami!"
"Dia lahir dari benih yang aku tanamkan di rahimmu. Suka atau tidak, Adam juga anakku!"
Lily tidak tahu seberapa besar bahaya yang akan mengancam hidupnya, jika ia bersama pria ini. Kehidupannya tak lagi bisa damai setelah ia bertemu dengan ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua berita
Seorang pria berkulit putih duduk dengan tenang, kepala tertunduk tekun menanda tangani semua dokumen-dokumen yang selama ini terbengkalai. Beberapa hari Aric terus berada di markas, hingga meninggal pekerjaannya di kantor.
Beberapa perkerjaan bisa di kerjakan Hakim. Namun, ada beberapa hal yang harus Aric untuk turun tangan sendiri.
Hakim terlihat cemas saat melihat pesan di ponselku, pesan yang sudah ke seratus kali masuk dalam ponselnya. Belum lagi telpon yang terus meneror Hakim, karena orang itu tidak bisa menghubungi Aric secara langsung.
Dengan ragu-ragu Hakim maju dua langkah mendekat kearah Aric.
"Ada apa? Katakan,"ujar Aric tanpa menoleh, ia tahu Hakim sejak tadi ini mengatakan sesuatu.
"Ada berita baik dan berita buruk, Tuan ingin mendengar yang mana dulu?"
Aric menghentikan bolpoin yang akan menyentuh berkas dihadapannya. Ia menoleh lalu menatap tajam kearah Hakim.
"Terserah," Jawabannya acuh. Aric kembali mengerjakan perkerjaannya yang tertunda.
"Tuan besar menyuruh Anda untuk membawa Nyonya pulang ke rumah utama," tutur Hakim pada akhirnya.
"Ternyata dia yang menyuruh orang membuntuti ku." Hakim mengangguk mengiyakan.
"Ini berita buruk kan? Apa berita baiknya?"
"Lima menit yang lalu Rey mengirimkan pesan, Tiger wu sudah mati, Tuan."
"Hem ... secepat ini mereka bergerak. Bagaimana dengan putrinya? Apa Rey sudah menemukan jejak wanita itu?"
"Sudah Tuan, Pulang putih. Rey hanya mengatakan itu," jawab Hakim.
Sudut bibir Aric terangkat keatas. Benar dugaannya, semua penyerangan terhadap orang-orangnya di lakukan oleh pria itu, orang yang sudah sejak lama menginginkan kematian Aric.
Jika dulu Aric hanya memikirkan White Clown, kini ada keluarga kecilnya yang harus ia jaga.
"Tuan bagaimana? Lihatlah Tuan besar sudah meneror saya lagi." Hakim menyodorkan ponselnya agar Aric bisa melihat.
Aric melirik sekilas, sebuah nama tertera di layar pipih itu. Telepon Hakim terus berderai, menunggu untuk diangkat.
"Hais ... berisik sekali. Cepat angkat sana." Aric mengibaskan tangan mengusir Hakim menjauh.
"Tapi Tuan, saya harus jawab apa? Tuan besar terus memaksa untuk bicara dengan Anda."
"Katakan aku sedang sibuk membuat cucu untuknya, aku akan berkunjung saat sudah menyelesaikan misi mulia ku."
Hakim ternganga dengan ucapan sang Tuan, jawaban seperti itu kenapa tidak dia sendiri yang mengatakan pada Ayahnya.
"Tuan, Anda sebaiknya bicara sendiri dengan Tuan besar." Hakim menyodorkan ponselnya semakin mendekatkan pada Aric.
Aric mengerutkan keningnya, ia memelototkan matanya pada Hakim.
"Apa kau mau jadi perjaka permanen, aku akan mengabulkannya dengan senang hati," ucao Aric datar tapi penuh penekanan.
Hakim menelan salivanya dengan kasar, ia tiba-tiba merasa ngilu pada area diantara kaki.
Secepat kilat Hakim melangkah menjauh, sebelum Aric mengeluarkan belati kecil miliknya.
"Halo Tuan besar." Hakim mengangkat telponnya setelah berada disudut ruangan.
"Kenapa lama sekali! Di mana Aric? kenapa dia tidak mau mengangkat telepon ku?!" tanya Yadid Gulfaam yang tak lain adalah Ayah Aric.
Suara Yadid begitu keras, hingga Hakim harus menjauhkan barang pipih itu dari telinganya.
"Emh ... Tuan sedang sibuk Tuan."
"Sibuk apa?! dasar anak tidak tahu diuntung, bukankah dia jarang pergi ke kantor ?!"
"Ada tugas lain selain perkejaan Tuan," jawab Halim setenang mungkin, walaupun ia merasa kikuk untuk mengatakan alasan Aric.
"Perkerjaan apa!?"
"Tuan Aric, sedang membuat cucu untuk Tuan." Hakim menutup wajahnya dengan satu telapak tangannya, ah ... akhirnya Hakim mengatakan itu.
Hening. Sebuah ledakan tawa terdengar dari seberang sambungan telepon.
"Bagus-bagus suruh Aric untuk melanjutkannya."
"Baik Tuan."
Hakim bernafas lega, akhirnya Tuan besar itu memutuskan sambungan teleponnya.
lucunya liat anne yang masih kecil tapi dah nurut ke adam apa mereka bakal berjodoh