Seorang kakak miskin mendadak jadi sultan dengan satu syarat gila: Dia harus menghamburkan uang untuk memanjakan adik semata wayangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Malam di Kampung Rawa
Kampung Rawa - Pukul 02.00 WIB
Malam itu gelap dan lembab. Lampu-lampu jalan yang remang berkedip-kedip, seolah takut melihat apa yang akan datang.
Warga Kampung Rawa sedang terlelap. Mereka baru saja merasakan sedikit harapan setelah kedatangan Atlas siang tadi. Mimpi mereka indah: tentang apartemen gratis, sekolah untuk anak-anak, dan air bersih.
Namun, mimpi itu dirusak oleh suara raungan knalpot bising.
BRUM... BRUM...
Tiga truk bak terbuka dan puluhan sepeda motor merangsek masuk ke jalan utama kampung. Sekitar 50 orang pria bertubuh kekar, mengenakan seragam ormas loreng oranye-hitam dan membawa balok kayu serta parang, melompat turun.
Mereka adalah Legiun Srigala, ormas bayaran paling kejam di Jakarta Barat yang sering dipakai pengembang nakal untuk "membersihkan lahan".
"BANGUN! BANGUN WOI TIKUS-TIKUS GOT!" teriak pimpinan preman itu, seorang pria botak dengan tato naga di leher bernama Bogon.
Bogon mengayunkan tongkat baseball-nya dan menghantam kaca gerobak nasi goreng milik warga.
PRANG!
Suara pecahan kaca memecah keheningan malam. Tangisan bayi terdengar dari dalam rumah-rumah semi permanen. Warga yang ketakutan mengintip dari balik jendela, gemetar.
Pak RT, dengan sarung dan kaos kutang, memberanikan diri keluar membawa pentungan ronda.
"Heh! Siapa kalian?! Mau ngapain malem-malem bikin rusuh?!" bentak Pak RT, meski suaranya bergetar.
Bogon tertawa, meludah ke tanah. "Pak Tua, kami disuruh 'ngingetin'. Tanah ini udah milik Adiguna Group. Besok pagi, kalian harus angkat kaki. Kalau nggak..."
Bogon memberi isyarat. Anak buahnya menyalakan obor dan bom molotov.
"...kampung ini bakal jadi api unggun raksasa."
"Jangan! Tolong!" Ibu-ibu mulai keluar rumah, memohon sambil menggendong anak. "Kami mau pindah ke mana, Bang? Jangan dibakar!"
"Bodo amat! Bakar!" perintah Bogon kejam.
Anak buahnya bersiap melempar molotov ke atap rumah warga yang terbuat dari seng dan kayu kering.
Warga menjerit putus asa.
Namun, molotov itu tidak pernah menyentuh atap.
DOR!
Suara tembakan peredam (silencer) terdengar sangat pelan, seperti bisikan maut.
Botol molotov di tangan preman itu pecah berkeping-keping di udara, terkena peluru penembak jitu (sniper) yang entah bersembunyi di mana.
Cairan bensin tumpah ke baju si preman, lalu tersulut api obor yang dia pegang sendiri.
"AAA! PANAS! TOLONG!" Preman itu berguling-guling di tanah, mencoba memadamkan api. Teman-temannya panik mundur.
"Siapa itu?! Keluar lu pengecut!" teriak Bogon, mengacungkan parangnya ke kegelapan.
Dari ujung gang yang gelap, sorot lampu mobil menyala terang menyilaukan mata. Sebuah Range Rover Sentinel hitam melaju pelan, lalu berhenti tepat di depan barisan preman.
Pintu terbuka. Atlas turun.
Dia mengenakan jas hitam panjang (trench coat) dan sarung tangan kulit. Di belakangnya, Sebastian berdiri memegang payung hitam, meski tidak hujan.
"Kalian mengganggu tidur warga saya," ucap Atlas dingin. Suaranya tenang, tapi aura King's Presence-nya menekan udara di sekitar situ hingga terasa berat.
"Lu siapa bocah?!" Bogon maju, meremehkan Atlas yang terlihat muda dan rapi. "Lu mau jadi pahlawan kesiangan? Habisin dia!"
Bogon dan 50 anak buahnya merangsek maju, siap mencincang Atlas.
Atlas tidak bergerak. Dia hanya menjentikkan jarinya.
"Bersihkan."
WUSH! WUSH! WUSH!
Dari atas atap rumah-rumah warga, dari balik gerobak, dan dari dalam bayang-bayang gang, puluhan sosok berbaju hitam taktis muncul serentak.
Mereka adalah The Black Watch. Unit pasukan khusus bayaran yang disewa Atlas. Mereka mengenakan helm tempur full-face, rompi anti-peluru, dan memegang tongkat kejut listrik (stun baton) serta senapan serbu taktis.
Perkelahian itu tidak seimbang. Itu bukan tawuran, itu pembantaian sepihak.
Seorang prajurit Black Watch menangkis parang preman dengan tangan kosong, mematahkan lengan preman itu dalam satu gerakan Krav Maga, lalu menyetrumnya hingga pingsan.
ZZZZT!
Dalam waktu kurang dari 3 menit, 50 preman Legiun Srigala sudah terkapar di tanah. Mengerang kesakitan, patah tulang, atau pingsan. Tidak ada warga yang terluka.
Bogon, sang pemimpin, kini berlutut gemetar di depan Atlas. Dua prajurit menahan lengannya. Wajah garangnya hilang, digantikan ketakutan murni saat melihat laras senapan mengarah ke kepalanya.
"Ampun Bos! Ampun! Saya cuma disuruh!" Bogon menangis.
Atlas berjongkok di depan Bogon. Dia mengeluarkan segepok uang tunai—sekitar 10 juta rupiah—dan menampar-namparkannya pelan ke pipi Bogon.
"Siapa yang suruh?" tanya Atlas pelan.
"P-Pak Bambang! Bambang Adiguna! Dia bilang gusur paksa malem ini juga!"
Atlas tersenyum tipis. "Bagus."
Atlas memasukkan uang itu ke saku baju Bogon.
"Uang ini buat biaya rumah sakit lu dan anak buah lu. Bawa sampah-sampah ini pergi dari kampung gue. Dan kasih tau Bambang..."
Atlas berdiri, menatap Bogon dengan mata Predator.
"...bilang sama dia, tanah ini sudah ada Rajanya. Kalau dia mau perang, jangan kirim kroco. Suruh dia datang sendiri bawa tank."
"I-iya Bos! Siap Bos!"
Bogon dan sisa anak buahnya yang masih sadar lari terbirit-birit, menyeret teman-teman mereka yang pingsan, meninggalkan truk dan motor mereka begitu saja.
Warga Kampung Rawa keluar dari persembunyian. Mereka menatap Atlas dan pasukan hitamnya dengan takjub.
"Mas Atlas..." Pak RT mendekat dengan mata berkaca-kaca. "Makasih, Mas... Kalau nggak ada Mas, kami udah habis..."
Atlas tersenyum hangat, aura membunuhnya lenyap seketika. "Tenang aja, Pak. Selama saya masih napas, nggak ada yang boleh nyentuh kampung ini."
[QUEST UPDATE: PROJECT EDEN]
[Keamanan Warga: Terjamin (100%).]
[Reputasi: The Protector of The Poor (Pelindung Kaum Lemah).]
[Cashback Kebahagiaan Kolektif: +500 WP.]
Atlas melihat notifikasi WP itu. Sedikit, tapi bermakna.
"Sebastian," perintah Atlas.
"Ya, Tuan?"
"Besok pagi, pasang pagar beton di sekeliling kampung ini. Dan tempatkan satu peleton Black Watch untuk jaga 24 jam. Aku nggak mau ada tikus masuk lagi."
"Dan soal Bambang Adiguna?"
Mata Atlas berkilat.
"Dia sudah bermain api dengan cara kasar. Besok, kita akan membalasnya dengan cara yang lebih menyakitkan: Lelang Terbuka."
Atlas tahu, Bambang Adiguna sedang krisis uang tunai karena skandal korupsi adiknya. Atlas akan membeli tanah sengketa ini secara legal di depan hidung Bambang, dengan harga yang tidak mungkin bisa dilawan oleh Adiguna saat ini.