Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.
Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.
Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.
Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?
Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.
Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.
Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?
Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?
Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan
Gagal.
Lagi-lagi aku gagal memperbaiki kotak musik yang telah hancur itu. Setelah cukup lama mengumpulkan kepingan kaca yang berserakan di lantai, aku mencoba untuk menyambungnya menggunakan lem, tapi ternyata memperbaiki apa yang telah hancur tidaklah mudah.
Seperti sebuah hubungan, jika kepercayaan yang telah diberikan dirusak begitu saja akan sulit untuk membangun kembali kepercayaan itu.
Aku menyerah, tubuhku bersandar pada kaki sofa. Mataku menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Sejak tadi, Mas Al tidak menampakan batang hidungnya. Ia mengurung diri di kamar layaknya perempuan yang sedang ngambek.
Kembali aku menghela napas, mataku beralih menatap kotak musik yang tak berbentuk di atas meja. Sebenarnya seberapa penting kotak musik ini? Lalu perempuan itu? Kepalaku kembali berdenyut memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tak aku mengerti.
Gelap telah menelan senja sore ini. Perutku yang belum terisi berkeriuk lapar. Aku bahkan sampai lupa belum makan sejak pagi tadi. Aku beranjak menuju dapur. Mencari apa yang bisa kumakan. Lauk-pauk yang dimasak Mas Al pagi tadi masih utuh tak tersentuh di atas meja makan.
Satu per satu lauk-pauk itu kuhangatkan. Tak lupa mengecek nasi di dalam megic jar yang ternyata masih utuh juga. Apa Mas Al belum makan juga sejak pagi?
Sepiring hangat nasi lengkap dengan lauk-pauknya tersaji di atas nampan. Aku yakin, pasti Mas Al diam-diam juga kelaparan di dalam kamar. Hanya saja ia enggan untuk keluar dari kamar.
"Mas!" panggilku seraya mengetuk pintu kamar.
Tak ada sahutan. Entah apa yang tengah dilakukan Mas Al di dalam sana. Jangan-jangan ia mati karena kelaparan. Kembali aku mengetuk pintu, kali ini ketukanku cukup keras.
"Hmm," sahutnya dari dalam membuatku menghembuskan napas lega.
"Setidaknya ia masih hidup," pikirku.
"Aku bawain makan nih, buka dong pintunya!" teriakku yang tak disahutinya lagi.
"Aku taruh di depan pintu ya makanannya!" Telingaku merapat ke pintu tapi tak ada suara apapun yang kudengar, kuletakkan nampan itu di depan pintu kamar.
Aku berbalik, kemudian bersembunyi di balik dinding dapur. Tak lama, pintu kamar sedikit terbuka. Kepala Mas Al menyembul keluar. Matanya melirik ke sana-sini, kemudian jatuh tepat ke arah nampan di bawah.
Perlahan tangannya terulur untuk mengambil nampan itu. "Kok minumnya gak sekalian sih?" gerutunya kemudian kembali menutup pintu.
Aku menutup mulut untuk menahan tawa yang ingin pecah saat itu juga. Dasar dosen gengsian!
...🍉🍉...
Punggungku serasa akan patah lantaran semalam tidurku tak nyenyak sama sekali. Bagaimana bisa aku tidur nyenyak di atas sofa yang hanya pas untukku berbaring. Sementara saat aku tak sadar bergeser ke samping, tubuh mungilku terjerembab ke lantai.
Jangan tanya berapa kali aku jatuh mencium lantai yang dingin di tengah malam. Berkali-kali aku bangun untuk kembali membaringkan tubuhku di atas sofa. Mas Al benar-benar laki-laki paling kejam yang pernah aku temui. Bisa-bisanya dia membiarkan istrinya tidur kedinginan di sofa ruang tamu.
Pagi ini, sarapan yang biasanya begitu bising dengan suaraku yang terus-terusan menggoda Mas Al, terasa begitu hening. Aku sedang dalam mode ngambek lantaran Mas Al yang begitu tega denganku. Tapi, sepertinya laki-laki di depanku ini tak perduli sedikit pun.
Ia tetap memakan makanannya dengan begitu lahap. Tidak peduli sama sekali dengan kedua pipiku yang merah membengkak.
Matanya menatapku sekilas sebelum menghabiskan segelas susunya kemudian beranjak dari duduknya. Segera aku menghabiskan sandwich yang kubuat dan segelas susuku lalu mengikutinya berjalan ke luar.
"Mas tunggu!" teriakku seraya memegangi pipiku yang nyeri setiap kali aku bersuara.
Mas Al berhenti mendadak membuatku menabrak punggung tegapnya. "Aww ..." ringisku seraya mengusap dahiku.
Ia berbalik, mataku mendelik kesal ke arahnya. "Bisa gak jangan berhenti mendadak," kesalku.
"Yang teriak nyuruh saya berhenti siapa?" tanyanya balik. "Mau ngapain lagi?" lanjutnya.
"Mau nebeng, sampe depan gang doang."
Ia berdecak lalu kembali melangkah memasuki mobil BMW berwarna hitam miliknya. Aku mengikutinya masuk, duduk di sampingnya kemudian mengenakan sabuk pengamanku. Mas Al melirikku sekilas sebelum melajukan mobilnya.
Keheningan menyelimuti perjalanan pagi ini. Seolah tidak ada siapa pun di dalam mobil, hanya deru mesin mobil yang sejak tadi mengisi suara. Tak ada yang berniat untuk membuka mulut. Kami sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Aku dengan segala rasa kesal dan sesalku yang menjadi satu. Kesal pada laki-laki di sampingku karena membiarkanku tidur sendirian di sofa. Sesal karena telah mengusik apa yang seharusnya tak kusentuh.
Sedang pria dengan kemeja biru di sampingku, entah. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Ia terlihat fokus menyetir, tapi sesekali dapat kulihat ekor matanya yang melirik ke arahku. Mungkin ia masih kesal denganku karena kejadian kemarin.
Mas Al menurunkanku di gang sebelum sekolah. Setelah aku turun, tanpa pamit ia langsung melajukan mobilnya.
"Ck, dasar kutub utara!" decihku kesal.
Aku berjalan seraya menendang udara. "Anjir!" umpatku saat tak sengaja aku menendang batu yang lumayan besar.
"Karmanya instan ya," gerutuku seraya kembali berjalan.
Sekolah terlihat masih sepi. Tidak seperti biasanya, padahal ini sudah cukup siang. Aku melihat jam di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul 07.15 WIB. Tumben sekali jam segini hanya segelintir siswa-siswi yang sudah berangkat.
Kaki jenjangku berjalan pelan di koridor menuju kelasku. Tak kujumpai tatapan-tatapan memuja dari siswa-siswi SMA Athena lantaran sekolah yang masih sepi.
"Assalamualaikum," salamku saat masuk ke dalam kelas.
"Walaikumsalam, Cantik," sahut Dito dan beberapa teman sekelasku yang tengah sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Senyum indah terukir di bibirku. Aku melepas tasku dan mendudukan diri di kursiku. Tanganku melipat di atas meja menatap kursi kosong di depanku. Tak lama, pintu kelas terbuka. Dua orang curut datang menghampiriku.
"Pipi lo kenapa merah-merah gitu, Del? Bengkak lagi."
Rain yang baru datang segera menyadari apa yang terjadi dengan fisikku. Tanganku segera menutup pipi yang semalam terus saja mencium lantai.
"Gak papa. Gak sengaja tadi gue nabrak tiang," elakku asal.
"Beneran maneh teh nggak papa?" timpal Senja yang sudah mendudukkan dirinya di depanku.
Aku mengangguk sekilas. Kemudian menelungkupkan kepala di atas meja. Menikmati rasa nyeri yang masih terasa menjalar di kedua pipiku.
"Kemaren kita ke rumah lo, Del. Tapi kata bunda, lo gak tinggal di rumah mereka lagi, lo-"
"Kalian ke rumah gue?!" teriakku panik, mata bulatku melebar menatap dua orang di depanku.
"Iya," sahut Raina dan Senja bersamaan.
Aku menggigit kuku jariku. Apa bunda bilang ke mereka kalau aku sudah menikah dan tinggal bersama suamiku?
"Gue bisa jelasin semuanya. Ini gak seperti yang kalian bayangkan."
Rain dan Senja saling bertatapan. Kemudian menatapku seraya mengangkat kedua alisnya.
"Apa yang mau lo jelasin? Bunda udah jelasin semuanya," kata Rain, "Kenapa lo gak bilang sih, Del? Kita masih sahabat kan?" Rain memajukan wajahnya, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
Aku menyenderkan tubuh lemasku di kursi. Bagaimana bunda bisa mengatakannya tanpa meminta persetujuanku terlebih dulu?