Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekad Rian
“Ayo, masuk dulu, Mas,” ucap Aldi —adik tingkat Rian semasa kuliah— sambil membuka pintu rumah kontrakannya.
“Iya, Di,” jawab Rian, mengikuti langkah pria kurus berkacamata itu masuk ke rumah sederhana itu.
Rumahnya tipe 36, tidak besar tapi rapi dan hangat. Cocok untuk lajang seperti Aldi yang bekerja sebagai ASN di sebuah kementerian.
“Anggap aja rumah sendiri ya, Mas. Mau makan, mau buat kopi, mau masak, tinggal ke belakang aja. Jangan sungkan-sungkan,” ujar Aldi sambil menaruh kunci di meja.
Rian tersenyum tipis. “Aman itu, Di. Aku yang harusnya berterima kasih sudah diizinkan numpang di sini.”
“Nggak apa-apa, Mas. Aku malah senang, jadi ada temannya,” jawab Aldi sambil ikut duduk di ruang TV yang juga merangkap ruang tamu.
Aldi kemudian menunjuk pintu di sisi kanan. “Mas nanti tidur di kamar itu aja, ya. Kamar cadangan. Biasanya dipakai ibu atau adikku kalau mereka datang.”
“Sip, aman. Aku juga nggak akan lama-lama. Paling lama tiga hari. Kerjaan pasti numpuk kalau aku tinggal lebih lama,” ucap Rian sambil menghela napas berat.
Aldi tersenyum menggoda. “Pak Lurah… pasti sibuk.”
Rian hanya tertawa kecil mendengarnya, meski tawanya jelas terdengar hambar. Isi kepalanya terlalu penuh untuk benar-benar menikmati candaan itu.
Setelah suasana sedikit tenang, Aldi akhirnya bertanya dengan nada lebih serius, “Mas… rencana mau mulai dari mana? Mau langsung temui orang tuanya Mbak Jelita di rumah?”
Pertanyaan itu membuat Rian terdiam.
Ia menatap lantai beberapa saat, lalu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa panas. “Aku juga bingung, Di. Jakarta ini besar. Aku bahkan nggak tahu persis rumah Kakek Doni di mana. Nggak tahu juga apakah Jelita ada di rumah atau di mana…”
Rian menghela napas berat lagi. “Aku cuma… takut terlambat.”
Aldi memperhatikan ekspresi seniornya itu. Ada kegelisahan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Biasanya Rian adalah orang yang tenang, disiplin, dan tegas. Tapi sekarang, ia terlihat seperti pria yang baru saja kehilangan kompas hidupnya.
Aldi akhirnya berkata, “Kalau gitu, mulai dari yang paling jelas dulu, Mas.”
Rian menoleh, menunggu.
“Ke rumah Kakek Doni. Itu paling logis. Kan Mas tahu alamatnya dari ibunya Mas Rian, ‘kan?”
Rian langsung tersentak kecil, seperti baru diingatkan sesuatu yang sangat penting. “Iya… iya. Aku emang dikasih ibuku alamatnya.”
“Nah, itu duluan,” ujar Aldi sambil menepuk bahu Rian. “Kalau Mbak Jelita ada di rumah, Mas bisa bicara langsung. Kalau nggak ada, minimal Mas bisa tanya ke keluarganya. Nggak usah muter-muter.”
Rian mengangguk perlahan, wajahnya yang semula murung kini mulai menunjukkan sedikit ketegasan. “Iya, Di. Kayaknya itu yang paling masuk akal.”
Aldi tersenyum kecil. “Besok pagi aku temenin kalau Mas mau.”
Rian menatapnya. “Serius?”
“Serius lah. Masa aku biarin Kakak tingkatku nyari alamat sambil nyasar keliling Jakarta.”
Rian tertawa tulus meski tipis. “Makasih, Di.”
Aldi balas tersenyum. “Santai, Mas. Semoga Mas nggak telat ngambil hatinya Mbak Jelita.”
Rian terdiam. Sesaat kemudian ia menunduk pelan.
“Aku juga berharap begitu.”
*
*
*
Pagi itu, setelah sarapan Rian berangkat bersama Aldi yang sengaja mengambil cuti pergi menuju alamat Kakek Doni yang diberikan oleh ibunya. Meski Jakarta masih belum terlalu padat, hati Rian tetap berdegup cepat. Rasa khawatir, cemas, sekaligus berharap bercampur menjadi satu.
Setibanya di depan rumah itu, Rian berdiri mematung.
Rumah dua lantai dengan halaman bersih, terawat, dan berpagar kayu coklat muda. Tidak seperti rumah di kampung, suasananya lebih modern, lebih tenang… namun terasa asing bagi Rian.
Aldi menepuk bahu kakak tingkatnya itu. “Mas, ayo.”
Mereka melangkah ke depan pagar. Aldi menekan bel sekali. Diam. Tidak ada reaksi.
Dua kali.
Tiga kali.
Akhirnya pintu pagar bergeser terbuka dari dalam. Seorang laki-laki paruh baya dengan seragam keamanan rumah keluar sambil tersenyum sopan.
“Iya, Pak? Ada yang bisa dibantu?”
Rian maju setengah langkah. “Permisi, Pak. Saya Rian. Mau menemui Kakek Doni.”
Wajah pria itu langsung berubah bingung. “Oh… Bapak dari kampung, ya?”
Rian mengangguk.
Pria itu tersenyum ramah, tapi senyum itu mengandung sesuatu yang membuat dada Rian langsung menegang.
“Maaf, Pak Rian. Kakek Doni nggak ada di rumah.”
Aldi langsung ikut bertanya, “Memang lagi pergi kemana, Pak?”
“Sejak kemarin pagi keluar. Katanya mau menghadiri acara syukuran.”
Rian mengerutkan kening. “Syukuran? Dimana?”
Pria itu sempat berpikir sejenak, lalu menjawab dengan jelas.
“Syukurannya di rumah sakit keluarga besannya. Rumah sakit besar, milik keluarga langsung. Biasanya kalau ada acara keluarga besar, semuanya kumpul di sana.”
Rian tersentak, menegang, lalu pelan-pelan mengangguk. “Rumah sakit… keluarga ibunya Jelita bukan, Pak?”
“Iya, Pak. Rumah sakit milik ibunya Mbak Jelita. Kalau dari sini sekitar tiga puluh menit. Tapi kalau macet… ya bisa lebih.”
Rian menelan ludah. Kalimat ibu tadi kembali terngiang di kepalanya.
Di Jakarta itu ada syukuran… entah syukuran apa. Bisa jadi lamaran Jelita.
Ia menarik napas panjang yang terdengar sangat berat. “Terima kasih, Pak.”
“Siap, Pak. Semoga bertemu sama yang dicari.”
Rian mengangguk kecil dan berbalik. Aldi mengikuti di sampingnya, namun ia tidak bicara sampai mereka kembali masuk mobil.
Begitu pintu mobil tertutup, Rian meletakkan kedua tangannya di wajah. Bahunya sedikit bergetar. Bukan menangis, tapi jelas ia sedang menahan sesuatu yang besar.
Aldi menatapnya dengan empati. “Mas… jangan mikir aneh-aneh dulu. Syukuran itu kan macam-macam. Bisa ulang tahun, bisa syukuran kesehatan, bisa apapun.”
Rian menggeleng lemah. Suaranya pelan tapi penuh tekanan. “Tapi bisa juga… itu acara lamarannya.”
Aldi terdiam.
Rian menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras. “Aku harus ke sana. Apa pun yang terjadi, aku harus lihat sendiri.”
Aldi mengangguk cepat. “Siap, Mas. Ayo kita berangkat.”
Rian mengangguk pelan dan lemas.
Ketika dirinya akan menyalakan mobil, Aldi langsung berkata, “ Aku aja yang bawa mobilnya, Mas. Biar aman.”
Rian mengangguk kembali. Ia keluar dan memutari mobilnya, kemudian membuka pintu penumpang depan. Aldi melajukan dengan penuh keyakinan mobil milik Rian itu dengan kecepatan sedang. Sedang Rian yang duduk di sampingnya menatap ke arah jalanan dengan penuh tekad.
Hari itu, ia memutuskan, lebih baik hancur karena kebenaran daripada tersiksa oleh prasangka yang tidak pernah terjawab.
*****
Hayo loh, Pak Lurah... Jelita mau dilamar orang, hayooooo 🤭🤣🤣
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁