Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran Rian
Rian dibawa masuk ke sebuah ruangan yang cukup besar, bahkan terasa jauh lebih luas daripada ruang kerjanya di kantor kelurahan. Begitu pintu tertutup, suasana hening langsung menyergap.
Di sebelah kanan pintu berdiri sebuah lemari tinggi berisi berkas-berkas tersusun rapi dan deretan buku tebal. Sebagian besar judulnya tertulis dalam bahasa Inggris, membuat Rian menebak-nebak bahwa buku-buku itu berkaitan dengan dunia kedokteran dan manajemen rumah sakit.
Di sisi kiri ruangan terdapat satu set sofa berwarna gelap dengan meja kaca di tengahnya. Pada sofa tunggal, Fadi—ayah Jelita—sudah duduk lebih dulu. Posisi tubuhnya tegak, kedua tangan bertaut di atas paha, wajahnya tenang namun jelas menyimpan ketegangan.
Sementara itu, di ujung ruangan tampak sebuah meja kerja besar yang tertata rapi. Di atasnya terpasang nameplate berwarna perak yang langsung menarik perhatian Rian.
Direktur Utama
dr. Bunga Jelita, Sp.OG-KFM
“Pasti mamanya Jelita, namanya sama-sama ada Jelita,” gumam Rian.
“Eeekkhhm.”
Suara itu membangunkan Rian dari lamunannya, meneliti ruangan yang mungkin akan menjadi ‘ruang sidang’ untuknya saat ini.
“Duduk!”
Kembali suara dari ‘yang mulia hakim’ yang tegas dan berat, meminta Rian untuk duduk di dekatnya. Dengan langkah pelan dan berat, Rian berjalan dengan kepala yang kembali tunduk ke bawah.
Ketika sudah duduk, Rian masih belum berani untuk mengangkat kepalanya ke atas. Keberanian yang sejak semalam ia kumpulkan tiba-tiba lenyap sudah.
Sebelum berangkat, Rian sudah meyakini jika dirinya akan menemui kedua orang tua sang pujaan hati. Ia menyiapkan hati dan mentalnya untuk pertemuan ini. Namun entah kemana semua itu pergi, tak tersisa.
Ketika Fadi akan berbicara, pintu ruangan yang tertutup itu kembali terbuka dari luar. Kakek Doni, berjalan dengan santai, melewati kedua pria beda generasi itu.
“Kenapa Bapak ikutan masuk?” tanya Fadi.
“Emang ada salahnya… kalau bapak ikut masuk ke ruangan menantu sendiri?” tanya Kakek Doni sambil berjalan santai menuju meja kerjanya Bunga.
“Kalian berdua sama-sama direktur. Bedanya, kamu di kantor orang, kalau istrimu di tempatnya sendiri. Sesekali orang tua ini mengunjungi tempat kerja anak-anaknya,” sambung Kakek Doni. Ia duduk di kursi kerja milik menantunya itu hingga Fadi hanya bisa menghela nafasnya pelan.
Ia kembali memfokuskan dirinya pada pria muda yang kini duduk di depannya, yang masih saja menundukkan kepalanya.
Rian
Pria itu seakan kehilangan taringnya saat ini. Pria yang sudah terbiasa berorganisasi sejak SMA, bahkan pernah berorasi di depan gedung dewan semasa kuliah—menuntut keadilan untuk rakyat— kini bagaikan daun putri malu yang baru saja tersentuh.
“Bapak kenal sama dia?” tanya Fadi pada ayahnya, nada suaranya tertahan, jelas masih menyimpan emosi.
“Tentu saja kenal,” jawab Kakek Doni santai. “Dia lurah di tempat tinggal Bapak.”
Fadi mengangguk pelan, lalu kembali menatap Rian. Tatapannya tajam, membuat Rian refleks meluruskan punggungnya.
“Kalau begitu… untuk apa fia datang ke sini?” tanya Fadi lagi, kali ini dengan suara lebih rendah namun berwibawa.
“Tinggal kamu tanya langsung sama dia,” jawab Kakek Doni tanpa beban, seolah ingin mengalihkan tekanan itu.
Fadi menghela napas pelan, mencoba mengendalikan diri. Tatapannya kembali mengarah pada Rian.
“Bisa tolong kamu jelaskan,” ucapnya tenang namun tegas, “apa maksud ucapan kamu tadi? Kenapa kamu sampai menghentikan acara keluarga kami?”
Rian menelan ludahnya dengan susah payah. Tenggorokannya terasa kering. Ia hendak membuka mulut, tetapi belum sempat satu kata pun keluar, suara Kakek Doni kembali terdengar.
“Fad…” Kakek Doni menatap putranya dengan sorot mata dalam. “Bapak cuma mau bilang satu hal dulu.”
Fadi menoleh.
“Almarhum ayahnya Rian itu,” lanjut Kakek Doni pelan, “orang yang nunjukin ke Bapak letak kuburan mendiang ibumu.”
Ucapan itu membuat ruangan mendadak hening.
Fadi menatap ayahnya dengan alis berkerut. Kenangan lama seperti tersibak begitu saja. Ia terdiam beberapa detik, lalu kembali menatap Rian dan kali ini tidak setajam sebelumnya.
Rian sendiri terkejut. Ia tidak menyangka Kakek Doni akan mengatakan hal itu di saat seperti ini. Detik itu juga ia menyadari satu hal, Kakek Doni menyusul mereka untuk melindunginya. Bukan dengan membela secara terang-terangan, melainkan dengan mengingatkan Fadi bahwa ia bukan orang asing, apalagi orang yang patut dilampiaskan amarah.
“Ternyata almarhum ayah nggak cuma ninggalin warisan tanah sama kebun aja. ‘Warisan’ ini bahkan jauh lebih berharga dari tanah itu semua,” batin Rian
“Kakek…” panggil Rian pelan. Tatapannya ke arah Kakek Doni begitu polos, sampai-sampai jika situasinya tidak sedang setegang ini, mungkin orang akan mengira ia sedang minta dibelikan es krim, bukan sedang menghadapi calon mertua yang menahan emosi.
Kakek Doni meliriknya sekilas, lalu mengangguk kecil, seolah memberi isyarat agar Rian tenang.
“Sekarang,” ucap Fadi akhirnya, nada suaranya jauh lebih terkendali, “silakan lanjutkan. Saya mau dengar langsung dari kamu.”
Rian menarik napas panjang. Jantungnya berdetak keras, tetapi ia tahu tak ada lagi ruang untuk menghindar.
“Saya minta maaf, Om,” ucapnya dengan kepala sedikit menunduk. “Atas kelancangan saya… atas keributan yang saya buat.”
Ia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Fadi dengan mata yang jujur.
“Saya datang ke sini bukan untuk mempermalukan keluarga Om. Saya juga tidak tahu kalau acara hari ini bukan acara pertunangan Jelita,” lanjutnya, suaranya bergetar namun tetap jelas.
Rian menghela napas sekali lagi, lalu berkata dengan penuh keberanian.
“Sejujurnya, sejak pertama kali saya bertemu Jelita di rumah Kakek Doni… saya sudah menyukainya.”
Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa bisa ditarik kembali.
“Saya tahu posisi saya tidak pantas. Saya tahu saya datang terburu-buru dan ceroboh. Tapi perasaan itu nyata, Om. Dan saya tidak ingin memendamnya dengan cara yang tidak jujur lagi.”
Ruangan kembali sunyi.
Kakek Doni menatap Rian dengan sorot mata yang teduh. Ada rasa bangga sekaligus iba. Fadi sendiri terdiam, matanya menatap lurus ke depan, mencerna kejujuran yang baru saja ia dengar.
Dan di balik pintu yang sedikit terbuka, tanpa Rian dan semuanya sadari, Jelita beserta Bunga, Randi dan juga Silvia berdiri disana. Jelita bahkan mematung, dadanya naik turun ketika mendengar setiap kata yang akhirnya diucapkan pria itu dengan keberanian penuh.
“Nekad juga dia, Kak,” ujar Silvia sambil menyenggol pelan pundak Jelita.
Jelita tidak menjawab. Dirinya masih mencerna dan memahami apa yang saat ini terjadi.
Jelita begitu disayangi oleh keluarga Bunga.
Gak sabar menunggu hari pernikahan Jelita dan Rian
Bahagia banget pak lurah😄
dramatisasi si fadi dan mama bunga cuma bisa tepok jidat....🤣🤣🤣🤣