Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Kemarahan Jayden
Rahang Jayden mengeras, urat di pelipisnya tampak menegang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya sembari menatap Selina dengan sorot penuh amarah.
“Maaf… maafkan saya… saya nggak sengaja,” ucap Selina panik, suaranya bergetar, tubuhnya gemetar menahan rasa takut.
“Duh… gimana sih kamu. Kemeja anak saya jadi basah” Kata Ella pelan.
“Nanti saya… saya bersihin—”
“Dasar wanita pembawa sial!” teriak Jayden. Ia berdiri dengan cepat, kursinya sampai bergeser ke belakang menimbulkan bunyi berdecit.
“Mama tahu ini siapa? Ini orangnya! Yang waktu itu nabrak bumper mobil aku sampai penyok! Dan waktu aku minta ganti rugi, dia malah akting nangis-nangis, bilang nggak punya uang. Sampai Papa datang dan nyuruh aku buat bebasin dia!” Jayden bersuara lantang, wajahnya merah padam.
“Apa?” Ella terperanjat, pandangannya terarah ke Selina yang kini sudah terisak pelan.
“Dan sekarang?” lanjut Jayden. “Dia numpahin air ke kemeja mahalku! Aku yakin dia sengaja, karena dendam sama aku. Padahal jelas-jelas, yang bikin mobilku penyok itu dia!”
Selina menggeleng cepat. “Maafkan saya… saya beneran nggak sengaja. Tadi itu saya kaget, makanya saya—”
“Halah! Alasan kamu doang!” potong Jayden cepat.
“Mama mahal-mahal booking kafe ini, tapi ternyata pelayanannya kacau! Bisa-bisanya Pak Nathan mempekerjakan karyawan yang ceroboh dan nggak becus kayak kamu!”
“Sudah, Nak, jangan marah-marah.” Ella mencoba menenangkannya, tangannya mengusap lengan putranya pelan.
Para pelayan kafe di belakang Selina hanya bisa berdiri terpaku, tak ada yang berani bersuara.
“Mood-ku jadi hancur gara-gara wanita ini!” Jayden menggeram, menatap Selina seakan ingin menelannya bulat-bulat.
“Saya… saya akan ganti kemeja Bapak. Tolong maafkan saya…” ucap Selina dengan suara parau tangannya menangkup di depan dada.
“Harga dirimu saja tidak bisa membeli kemejaku yang mahal ini!” bentak Jayden lagi.
Hati Selina perih seketika mendengar kata-kata itu. Seolah ada belati yang menusuk dalam-dalam. Dia menangis semakin terisak.
“Sudah… sudah… jangan diperpanjang lagi. Ini hari bahagia kamu. Jangan biarkan orang luar merusaknya, oke?” kata Ella, menenangkan putranya lagi dengan suara lembut.
Jayden mengatur napasnya yang memburu. Ia menarik napas panjang, lalu kembali melayangkan tatapan tajam ke arah Selina sebelum akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan kesal.
Selina buru-buru mundur, lalu berlari ke belakang. Begitu sampai di depan toilet. Wanita itu terduduk di lantai, punggungnya bersandar ke dinding, dan tangisnya semakin nyaring.
'Dasar pembawa sial!'
'Kamu itu anak pembawa sial!'
“Aku… aku bukan pembawa sial…” Selina terisak, tangannya menutup kedua telinganya erat-erat, ingin mengusir suara-suara itu. Namun semakin ia berusaha menepis, semakin keras gema itu menyayat hatinya.
Ia menarik napas tersengal, tubuhnya nyaris terkulai.
Di saat-saat seperti ini… hanya Ian yang bisa menguatkannya.
Rasanya ia ingin segera pulang, memeluk bocah itu erat-erat, karena disanalah satu-satunya tempat ia merasa aman.
•••••••••
Jayden dan Ella kini sudah berada di dalam mobil. Dari tadi wajah Jayden hanya tertekuk muram. Ella yang duduk di sampingnya sudah tahu betul apa penyebab sikap putranya itu.
“Sudah, Nak… jangan cemberut begitu. Muka ganteng kamu jadi hilang, loh.” Ella terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana.
Jayden mendengus. “Gimana aku nggak kesal, Ma. Dua kali loh dia bikin aku naik darah!”
Ella menoleh, suaranya lembut, “Tapi kayaknya emang dia nggak sengaja, Nak. Mungkin dia kaget waktu lihat kamu, makanya sampai numpahin minuman.”
“Harusnya tadi Mama biarin aja aku minta ganti rugi sama dia. Biar dia tahu rasa!” Jayden menjawab cepat.
Ella menghela napas panjang. “Kamu ini… kayak kekurangan kemeja saja,"
“Kesel banget aku. Mukanya itu loh… kayak sengaja akting biar orang kasihan sama dia. Padahal jelas-jelas dia yang salah.”
Ella tersenyum tipis. “Jangan keburu benci sama orang, Nak. Hati-hati loh, nanti malah bisa jadi cinta. Apalagi dia perempuan.”
“Amit-amit, Ma!” Jayden mendengus sambil bergidik ngeri. “Nggak mungkin aku jatuh cinta sama kalangan pelayan kafe gitu. Nggak selevel. Udah gitu… pembawa sial lagi!”
Ella menarik napas panjang lagi. Kali ini dia memilih diam. Ia tahu benar tabiat putranya. Kalau Jayden sedang marah, mulutnya bisa setajam pisau, tak ada yang bisa menahan kecuali waktu yang membuat emosinya reda sendiri.
Sementara itu, Selina baru tiba di kontrakannya. Wanita itu menarik napas panjang sejenak di depan pintu sebelum akhirnya melangkah masuk.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam,” sahut Bi Desi yang tengah duduk di ruang tengah.
“Makasih ya, Bi, udah bantuin jagain Ian. Aku nggak sempet bawa makanan, jadi aku kasih uang aja,”
Bi Desi langsung menggeleng cepat. “Nggak usah, Nak. Simpen aja uangnya. Alhamdulillah, jualan kerupuk bibi laris semua hari ini.”
Selina tersenyum kecil, matanya berkaca-kaca karena merasa terbantu. “Bi… makasih banyak.”
Bi Desi berpamitan pulang. Selina lalu menuju kamar mandi, sebelum akhirnya masuk ke kamar.
Di sana, ia mendapati putranya sudah tertidur pulas, wajah mungilnya begitu damai di bawah cahaya lampu redup.
Selina duduk di tepi ranjang, tangannya terulur mengusap lembut rambut Ian. Matanya kembali berkaca-kaca, lalu ia menunduk mengecup pelan dahi putranya.
“Cuma kamu satu-satunya harta berharga yang Mama punya. Tanpa kamu… Mama nggak tahu hidup Mama akan seperti apa,” lirihnya dengan suara bergetar.
“Apapun akan Mama lakukan demi kebahagiaan kamu. Tapi… Mama minta maaf kalau Mama nggak bisa ngasih keluarga yang lengkap buat kamu. Tolong… jangan pernah benci Mama saat kamu tahu, kalau Mama lah yang bawa kamu pergi dari mereka.”
Selina ikut berbaring di sisi putranya, memeluk erat permata hatinya.
•••••••
Besok paginya, setelah mengantar Ian ke sekolah, Selina kembali ke kafe Lincoley. Wanita itu mengenakan masker hitam sebelum masuk. Dari kejauhan ia sudah melihat keberadaan seseorang yang membuatnya tidak ingin menampakkan wajahnya.
“Iya, Abang, aku baik-baik aja. Jangan khawatir,” suara Kim terdengar jelas sambil memegang ponsel di telinganya.
“…”
“Nggak usah macam-macam mau nyamperin ke sini. Urus kerjaan Abang aja.”
“…”
“Males ah, nanti aku jadi obat nyamuk kalian lagi.”
“…”
Kim tersenyum kecil. “Hm, salam buat Kak Azura.”
Selina yang baru masuk sempat berhenti melangkah. Ia bisa menebak dengan mudah—tentu Kim sedang berbicara dengan abangnya.
Ia mendengar percakapan itu. Hatinya seketika mencelos saat mendengar nama Azura disebut, napas Selina terasa sesak.
Meskipun di depan orang lain ia selalu berusaha terlihat tegar, sok datar jika nama mantan suaminya disebut, kenyataannya jauh di lubuk hati ia masih merasakan luka yang belum benar-benar sembuh. Luka yang hanya ia sendiri yang tahu dalamnya.
“Eh, Mbak!”
Langkah Selina terhenti. Ia menutup matanya sejenak, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Tangannya merapatkan masker hitam yang menutupi wajahnya, lalu ia merapikan poni rambut yang menutupi sebagian kening. Kim bisa curiga kalau dirinya berlari begitu saja.
"Mm...boleh minta temani ngobrol nggak?" Katanya Kim tampak ragu.
Selina menggelng, "Maaf minta sama yang lain saja,"
Kening Kimberly mengernyit, gadis itu tidak hendak bersuara tapi Selina sudah melenggang pergi.
padahal lembek