Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28
Pagi menjelang, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar hotel mewah itu. Udara hangat memenuhi ruangan yang masih menyimpan aroma malam sebelumnya.
Di atas ranjang, Ara dan Edward masih terlelap dalam pelukan erat, tubuh mereka saling menyatu tanpa sehelai kain pun menutupi.
Kelelahan semalam membuat keduanya tertidur pulas, seolah dunia di luar tak lagi penting.
Ara menggeliat pelan ketika merasakan lengan kekar melingkar di pinggangnya. Hangatnya pelukan itu membuat perutnya terasa geli, sementara pipinya memerah karena ingatan samar tentang apa yang terjadi semalam.
“Mau ke mana?” suara serak Edward terdengar dari belakang, berat dan malas. Khas sekali orang baru bangun tidur.
Ara menelan ludah. “Ini sudah pagi. Kita harus membersihkan diri,” ujarnya pelan, berusaha melepaskan diri dari dekapan Edward.
“Mau mandi?” tanya Edward lagi sambil menariknya lebih dekat.
Ara hanya mengangguk, tidak berani menatap wajah pria itu terlalu lama.
Tanpa berkata apa pun, Edward bangkit dari tempat tidur. Ara menatap punggungnya sekilas lalu buru-buru memalingkan pandangan.
Ruangan itu benar-benar berantakan. Bantal berserakan, seprai kusut, pakaian terlempar ke mana-mana. Ia tak perlu mengingat terlalu dalam untuk tahu betapa liarnya malam yang baru saja mereka lewati.
Rasa malu menyusup ke dadanya. Ia tak pernah membayangkan akan menyerahkan dirinya pada Edward. Pria yang mempelakukanya dengan tidak baik di awal pernikahan.
Kini semuanya sudah terjadi. Tak ada perasaan bersalah. Ara malah bahagia. Kebahagiaan yang sulit dijelaskan.
Tanpa aba-aba, pria itu membopong tubuh Ara dari ranjang.
“A-apa yang kau lakukan?” tanya Ara terbata sembari membenamkan wajahnya di dada telanjang Edward.
“Memandikanmu,” jawabnya tenang, seolah hal itu adalah hal paling wajar di dunia.
Ia membawa Ara ke kamar mandi, lalu menurunkannya perlahan ke dalam bathtub yang sudah berisi air hangat. Uap tipis memenuhi udara, menciptakan suasana yang menenangkan dan intim.
Ara menggigit bibir bawahnya, menatap Edward yang masih berdiri di dekat bathtub. “Kau tidak sekalian mandi?” tanyanya lirih.
Edward menoleh dengan alis terangkat dan senyum menyudut.
“Apa kau sedang menggodaku, hm?”
Ara buru-buru menggeleng. “T-tidak! Aku hanya bertanya.” Pipi halusnya berubah merah muda. “Kalau begitu, biarkan aku mandi duluan.”
Bukannya pergi, Edward justru masuk ke dalam bathtub yang sama. Air memercik halus saat tubuhnya tenggelam di belakang Ara.
“Kalau begitu, aku akan memandikanmu,” bisiknya di telinga wanita itu dengan suara berat dan berbahaya. “Kau pasti lelah melayaniku semalaman.”
Ara tak mampu membalas. Kulitnya merinding ketika Edward mengecup lembut punggungnya. Air hangat, aroma sabun, dan napas pria itu di tengkuknya membuat seluruh tubuhnya terasa lemas.
Namun saat suasana mulai memanas, bunyi getar ponsel di meja kamar memecah ketenangan itu.
Edward mendesah kasar. “Sial…”
“Ed, ponselmu,” kata Ara pelan, menatapnya.
“Biarkan saja,” gumam Edward, masih mencoba mencium bahu Ara.
“Tapi dia berdering terus,” desak Ara sembari menoleh.
Edward memejamkan mata sebentar, lalu menghela napas berat.
“Ck!” Ia berdiri dan melilitkan handuk di pinggangnya, meninggalkan Ara yang kini menatapnya dengan campuran lega dan sedikit kecewa.
Padahal, Ara ingin lebih lama berduaan dengan suaminya itu.
“Astaga, mikir apa aku. Sadar Ara, sadar! Edward punya wanita yang dia cintai di hatinya. Sementara aku hanya pengganti,” gumamnya.
**
Edward keluar dari kamar mandi dan meraih ponselnya di meja. Ia mengangkat panggilan itu dengan nada dingin dan kesal.
“Ada masalah, Tuan,” suara Bobby terdengar di seberang.
“Masalah apa yang membuatmu berani mengganggu pagi pertamaku setelah semalaman menghabiskan waktu dengan Ara?!” bentak Edward tajam.
Di ujung sana, Bobby terdengar gugup. “Apa jangan-jangan anda sudah melakukan malam pertama, Tuan?”
Edward mendengus. “Lupakan omong kosong itu! Katakan saja apa yang terjadi.”
“Nona Julia, dia kembali,” jawab Bobby cepat. “Dan keponakan anda sudah menunggu di mansion.”
Alis Edward mengernyit. “Keponakan? Siapa yang kau maksud?”
“Alex Frederick, Tuan.”
Ruangan itu mendadak terasa sunyi. Edward membeku di tempatnya.
“Apa katamu?”
“Dia tiba pagi ini tanpa pemberitahuan. Katanya ingin berbicara langsung dengan anda.”
Edward memijit pelipisnya keras. Nama itu membangkitkan seribu kenangan. Bocah jenius yang dulu sempat mempermainkan dirinya dan Julia, kini ada di mansion-nya? Apa maksudnya datang tanpa kabar?
“Shit…” desisnya pelan. Pandangannya terarah ke pintu kamar mandi, tempat Ara masih mandi dalam ketenangan yang semu.
Sekilas, wajah gadis itu melintas di pikirannya. Tubuh hangat, polos, dan tak tahu apa pun tentang dunia gelap yang ia jalani.
Edward meraih jas yang tergantung di kursi, menatap dirinya di cermin.
Raut dingin itu kembali. Semua kelembutan pagi tadi menghilang begitu saja, berganti dengan tatapan tajam milik seorang pemimpin dunia bawah.
“Siapkan mobil!” titah Edward sebelum Bobby menutup panggilan.
Ara belum tahu apa-apa soal Julia juga Alex. Dan Edward tahu, setelah panggilan tadi, dunia tenang di kamar hotel ini tidak akan pernah sama lagi.
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul