NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Kabar kehamilanku adalah fajar setelah malam yang panjang. Ia tidak datang dengan gegap gempita, melainkan dengan kehangatan yang sunyi dan menyebar perlahan, mengisi setiap sudut kehidupan kami yang telah kami tata ulang dengan hati-hati. Bagi Danu, kabar itu adalah pembebasan. Aku bisa melihatnya di matanya setiap pagi saat ia bangun dan hal pertama yang dilakukannya adalah mengusap perutku dengan lembut, seolah ingin memastikan semua ini nyata.

"Dia menyapamu," bisikku suatu pagi saat merasakan gerakan halus dari dalam.

"Tidak mungkin," balasnya, matanya melebar takjub. "Dokter bilang masih terlalu awal untuk merasakan gerakan."

"Kalau begitu dia hanya meregangkan badan," kataku sambil tertawa. "Dia pasti akan jadi anak yang aktif, sepertinya."

Danu menempelkan telinganya di perutku, wajahnya dipenuhi kekhidmatan yang kekanak-kanakan. "Halo yang di dalam," bisiknya. "Ini Ayah. Baik-baik di sana, ya. Jangan menyusahkan Ibu."

Momen-momen seperti inilah yang menjadi fondasi baru kami. Momen-momen kecil yang dipenuhi cinta murni, tanpa bayang-bayang utang budi atau paksaan. Dia berubah menjadi suami yang luar biasa protektif. Setiap malam, akan ada segelas susu hangat di meja samping tempat tidurku. Dia akan memastikan aku meminum vitamin, mengingatkanku untuk tidak mengangkat barang berat, dan bahkan mencoba memasak—meskipun hasilnya seringkali berakhir dengan kami memesan makanan dari luar sambil tertawa.

Tantangan pertama kami adalah memberitahu keluarga. Kami memutuskan untuk melakukannya bersama-sama di akhir pekan. Saat kami tiba, Ayah dan Ibu menyambut kami seperti biasa. Suasana rumah sudah jauh lebih ringan sekarang.

"Ada apa ini, kok tumben kalian datang tidak bilang-bilang?" tanya Ibu sambil meletakkan teh di meja.

Danu menggenggam tanganku, memberiku kekuatan. "Ayah, Bu," mulainya. "Kami... kami punya kabar bahagia."

Aku mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasku dan menyerahkannya pada Ibu. Dengan dahi berkerut, Ibu membukanya. Di dalamnya ada sepasang sepatu bayi rajutan berwarna putih gading yang mungil.

Ibu menatap sepatu itu, lalu menatapku, lalu kembali ke sepatu itu. Bibirnya bergetar. "Arini... ini... ini maksudnya...?"

Aku mengangguk sambil tersenyum, air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. "Ibu dan Ayah akan jadi kakek-nenek."

Hening sesaat, lalu pecahlah tangis haru Ibu. Ia langsung berdiri dan memelukku erat, lebih erat dari yang pernah kurasakan. "Ya Allah, Nak... Alhamdulillah..." isaknya di bahuku.

Ayah, yang biasanya begitu tegar, tampak menyeka sudut matanya dengan punggung tangannya. Ia menghampiri Danu dan menepuk bahunya dengan keras, sebuah gestur maskulin yang sarat akan emosi. "Jaga putri Ayah dan calon cucu Ayah baik-baik, Danu. Ayah percaya padamu."

"Pasti, Yah," jawab Danu dengan suara serak.

Di tengah kebahagiaan itu, aku teringat pada pernikahan pertamaku. Dulu, kabar seperti ini adalah tujuan akhir dari sebuah transaksi yang menyakitkan. Kini, ia adalah awal dari sebuah anugerah yang datang karena cinta. Kontras itu membuatku semakin bersyukur.

Namun, masih ada satu orang lagi yang harus tahu. Seseorang yang reaksinya paling kutakutkan sekaligus paling kunantikan. Kak Binar.

Memberitahunya melalui Ayah dan Ibu terasa seperti pengecut. Ini adalah sesuatu yang harus kulakukan sendiri. Seminggu kemudian, aku memberanikan diri meneleponnya.

"Kak, apa ada waktu? Ada yang mau aku bicarakan," kataku, berusaha terdengar sesantai mungkin.

Kami bertemu di sebuah kafe yang tenang dengan taman di bagian belakang. Dia tampak sehat. Wajahnya lebih berisi, dan ada binar yang berbeda di matanya—bukan binar ambisi, melainkan binar ketenangan.

"Jadi, ada kabar penting apa?" tanyanya setelah kami memesan minuman.

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku hamil, Kak."

Aku memperhatikannya dengan saksama, bersiap untuk reaksi apa pun. Dia terdiam. Tangannya yang sedang mengaduk teh berhenti bergerak. Matanya terpaku pada cangkir di hadapannya. Untuk sesaat, aku takut keheningan ini akan pecah menjadi sesuatu yang buruk. Aku takut monster lama di dalam dirinya akan kembali terbangun.

Perlahan, dia mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Tapi ekspresinya... bukanlah kebencian atau iri. Itu adalah ekspresi yang rumit—campuran antara kesedihan atas apa yang tidak akan pernah bisa ia miliki, dan sesuatu yang lain... sesuatu yang tulus.

"Aku bohong kalau aku bilang aku tidak merasa sedikit sedih," bisiknya jujur, suaranya bergetar. "Mengingat semua yang telah terjadi... ada bagian kecil dari diriku yang masih sakit."

Dia berhenti, menyeka air matanya. "Tapi," lanjutnya, menatapku lurus ke dalam mata. "Rasa bahagiaku untukmu... jauh lebih besar. Sungguh, Rin. Aku bahagia untukmu. Untuk kalian berdua."

Lalu, sebuah senyum tipis yang tulus terukir di bibirnya. "Jadi... kapan aku bisa mulai belanja? Aku yakin aku akan jadi aunty terbaik di seluruh dunia."

Saat itu, aku tahu dia benar-benar telah sembuh. Dia telah menemukan cara untuk menyalurkan keinginan dan cintanya yang besar untuk memiliki anak menjadi sesuatu yang positif: menjadi seorang tante yang hebat. Beban terakhir di hatiku terangkat. Lingkaran ini akhirnya benar-benar tertutup.

Sejak hari itu, Kak Binar menjadi salah satu pendukung terbesarku. Dia akan mengirimiku artikel-artikel tentang kehamilan sehat. Dia akan menelepon hanya untuk bertanya apakah aku sudah minum susu atau apakah aku mengalami mual.

Suatu hari, sebuah paket besar datang ke apartemenku. Saat kubuka, isinya adalah sebuah baby crib dari kayu jati yang indah, dengan ukiran awan-awan kecil. Ada secarik kartu di dalamnya.

Untuk keponakan pertamaku. Tempat mimpi-mimpi indahnya akan dimulai. Dengan cinta, Aunty Binar.

Aku menangis saat membacanya. Danu, yang baru pulang kerja, menemukanku terduduk di lantai sambil memeluk kartu itu. Dia tidak bertanya apa-apa. Dia hanya berlutut, memelukku, dan membiarkanku melepaskan semua sisa emosi yang ada.

Bulan-bulan berlalu. Perutku semakin membesar, dan begitu pula cinta di antara aku dan Danu. Kami sibuk mempersiapkan kedatangan anggota keluarga baru kami. Kami mengecat salah satu kamar kosong di rumah kami dengan warna kuning mentari yang cerah. Danu dengan bangga memasang baby crib pemberian Kak Binar di tengah ruangan. Ayunan kayu yang dulu dirakitnya dengan susah payah di halaman belakang kini tampak menanti penumpang pertamanya.

Kami sering menghabiskan malam dengan hanya duduk di kamar bayi yang setengah jadi itu, membayangkan masa depan.

"Menurutmu dia akan mirip siapa?" tanyaku sambil menyandarkan kepala di bahu Danu.

"Semoga matanya mirip kamu. Tapi sifat keras kepalanya jangan," candanya.

"Enak saja! Justru keras kepala itu yang membuatku bisa bertahan," balasku sambil mencubit lengannya pelan.

Kami tertawa bersama. Di tengah ruangan yang dipenuhi bau cat baru dan harapan, aku merasa begitu utuh.

Memaafkan bukan berarti melupakan. Aku tidak akan pernah lupa rasa sakit dan penghinaan yang pernah kurasakan. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana rasanya menjadi barang bekas. Tapi kenangan itu tidak lagi memiliki kuasa untuk menyakitiku. Kenangan itu telah bertransformasi menjadi pilar-pilar kekuatanku. Menjadi pengingat bahwa bahkan dari awal yang paling buruk sekalipun, kita selalu punya kekuatan untuk menulis ulang akhir cerita kita.

Lembaran baru dalam hidupku tidak lagi putih kosong. Ia diwarnai oleh spektrum penuh dari pengalamanku—hitamnya keputusasaan, kelabunya kebingungan, dan kini, emasnya kebahagiaan. Dan di lembaran inilah, aku, Danu, dan calon bayi kami akan melukis sisa kisah kami bersama. Sebuah kisah yang bukan lagi tentang suami setengah pakai, melainkan tentang cinta yang utuh dan telah melalui segalanya.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!