Andra dan Trista terpaksa menikah karena dijodohkan. Padahal mereka sudah sama-sama memiliki kekasih. Pernikahan kontrak terjadi. Dimana Andra dan Trista sepakat kalau pernikahan mereka hanyalah status.
Suatu hari, Andra dan Trista mabuk bersama. Mereka melakukan cinta satu malam. Sejak saat itu, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati mereka. Trista dan Andra terpaksa menyembunyikan kedekatan mereka dari kekasih masing-masing. Terutama Trista yang kekasihnya ternyata adalah seorang bos mafia berbahaya dan penuh obsesi.
"Punya istri kok rasanya kayak selingkuhan." - Andra.
"Pssst! Diam! Nanti ada yang dengar." - Trista.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 - Berpura-Pura
Andra berdiri di ambang pintu sambil berusaha menjaga ekspresinya tetap normal, meski jelas dia sedang kacau. Tika menatapnya dengan tatapan lempeng penuh selidik.
“Ada perlu apa?” tanya Andra, mencoba terdengar tegas.
“Aku… Tika. Pembantu baru di rumah ini,” jawab Tika datar, tanpa ragu sedikit pun. “Aku sudah dapat izin langsung dari Mbak Trista.”
Andra spontan memutar otak. Pembantu? Izin?
Otaknya kosong selama dua detik sebelum akhirnya sebuah memori muncul dengan samar.
Tadi malam, tepatnya sebelum mereka kembali saling terpikat satu sama lain, Trista memang sempat berkata bahwa dia ingin mempekerjakan pembantu agar rumah itu tidak terlalu merepotkan. Namun Andra tak menyangka pembantunya akan datang secepat ini.
“Oh…” Andra akhirnya mendengus pelan. “Baiklah. Masuklah dulu.”
Tika melangkah masuk tanpa banyak bicara. Mata gadis itu mengamati ruang tamu dengan sangat detail, seperti sedang memetakan tempat. Sikapnya terlalu tenang untuk ukuran seseorang yang baru hari pertama bekerja. Andra bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Terlebih dia melihat Tika punya tubuh yang agak kekar.
“Aku akan panggil Trista,” katanya cepat, lalu buru-buru naik ke lantai dua.
Di kamar, Trista sedang duduk di tepi ranjang, wajahnya masih memerah, rambut berantakan, dan tubuhnya diselimuti rasa lemas yang belum hilang. Begitu mendengar pintu terbuka, dia menoleh.
“Andra?” tanyanya pelan. “Siapa tadi?”
Andra menutup pintu dan bersandar di belakangnya. “Itu… pembantu yang kau bilang semalam.”
Trista mengerjap. “Pembantu yang mana?”
“Yang kau bilang kau mau pekerjakan.”
Trista menelan ludah. Ada sesuatu pada kata-kata Andra yang membuat perutnya terasa dingin.
“Namanya Tika,” lanjut Andra. “Dan dia bilang kau sudah kasih izin. Dia bawa tas juga. Sepertinya dia mau langsung kerja hari ini.”
Trista langsung berdiri. “Tidak mungkin…”
Andra mengernyit. “Lho? Bukannya kau sendiri—”
“Andra,” potong Trista cepat, suaranya berubah tegang. “Tika itu… orangnya Regan.”
Andra membeku. “…Regan? Pacarmu?”
Trista menunduk. “Ya.”
“Terus kenapa dia kirim… pembantu?”
Trista menarik napas dalam. Jantungnya berdegup cepat, bukan karena takut, tapi karena panik. Semua yang terjadi tadi malam, keintiman yang secara tidak sengaja berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, mendadak terasa seperti masalah besar.
“Andra… aku harus jujur sesuatu soal Regan.”
Andra menunggu, alisnya terangkat.
Trista menggenggam kedua tangannya agar tidak bergetar. “Regan itu… bukan sekadar pacar montir biasa. Dia bos mafia.”
Hening. Andra menatap Trista selama beberapa detik, lalu tertawa. Bukan sekadar tawa kecil. Dia benar-benar terbahak.
“Yang benar saja, Tris!” serunya sambil memegangi perut. “Pacarmu? Bos mafia? Yang bener? Jangan bercanda, aku masih pusing karena kurang tidur.”
Trista meremas rambutnya frustasi. “Aku serius!”
Andra malah tertawa lebih keras. “Kau yakin dia bukan cuma montir yang suka pamer? Mafia apaan yang ngirimin pembantu? Aduh Tris, jangan nakutin aku pagi-pagi begini.”
Trista mendesah panjang, wajahnya memerah bukan karena malu, tapi kesal. “Dengar aku, Andra! Regan memang montir, tapi dia juga punya jaringan sendiri. Dia memimpin kelompoknya. Dia berbahaya.”
Andra berhenti tertawa, meski senyum masih tersisa di bibirnya. “Berbahaya bagaimana? Dia pukul orang pakai kunci inggris?”
“Andra!” tegur Trista keras.
Andra terdiam.
Trista mengambil napas lagi, mencoba menjelaskan dengan lebih tenang. “Tika dikirim untuk mengawasiku. Regan tidak suka aku tinggal serumah dengan pria lain… meskipun kita nikah kontrak. Dia bilang Tika harus memastikan aku aman.”
Andra mengerutkan dahi. “Aman dari siapa? Dari aku?”
“…Iya.”
Andra memejamkan mata dan mendengus tidak percaya. “Jadi menurut dia aku apa? Predator? Bahaya? Yang benar saja…”
Trista memalingkan wajah, dadanya terasa sesak. “Dia… tipe orang yang… obsesif. Protektif berlebihan.”
“Aku lihat,” gumam Andra sarkastik.
“Tika itu… bukan pembantu biasa. Dia bisa lapor setiap gerak-gerikku. Setiap gerak-gerak kita.” Trista menatap Andra dengan sorot cemas. “Dan setelah apa yang terjadi tadi malam… dan pagi ini…”
Andra merasakan napasnya tersangkut. Ya. Itu masalahnya. Masalah besar. Seluruh tubuhnya tiba-tiba memanas lagi hanya mengingat betapa dekat mereka berdua barusan. Betapa alami rasanya. Betapa inginnya dia menarik Trista kembali ke pelukannya. Namun kini ada yang lebih mendesak.
“Jadi kau yakin Tika ini mata-mata?” tanya Andra, kini lebih serius.
“Ya.”
“Andai aku tahu begitu, aku nggak akan membiarkan dia masuk.”
Trista menatap lantai. “Andra, kita harus hati-hati. Tika bisa lapor pada Regan… kalau dia lihat sesuatu mencurigakan.”
Andra menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya. “Ya Tuhan, aku bahkan belum sarapan, sudah dikejar mafia.”
Trista hampir tersenyum mendengar komentar konyol itu, tapi kecemasannya terlalu besar.
Andra melangkah mendekat. “Tenang,” katanya lembut. “Aku nggak tahu siapa pacarmu sebenarnya, tapi aku tahu satu hal.”
“Apa?”
“Aku nggak akan biarkan siapa pun menyakitimu. Termasuk dia.”
Trista menatap Andra dengan campuran takut dan hangat. Ada sesuatu di dada yang membuatnya sulit bernapas.
“Tapi sekarang…” Andra menghembuskan napas. “Kita harus turun. Berpura-pura normal. Seolah tidak terjadi apa-apa.”
Trista tahu Andra benar. Mereka sudah menyalakan api besar, dan kini seseorang datang membawa bensin.