NovelToon NovelToon
Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / CEO / Janda / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:10.9k
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.

Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.

Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.

“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28. Masa Lalu Datang

Sore hari di ruang keluarga dipenuhi aroma pancake strawberry—permintaan Arunika yang selalu sama setiap kali ia ingin makan camilan. Selena dan Daren saling pandang begitu anak kecil itu duduk manis di kursinya, mengayunkan kaki mungilnya sambil menunggu pancake matang.

“Sayang,” panggil Selena lembut, kedua tangannya bertaut di pangkuan. “Mama sama Ayah ada berita penting buat Aru.”

Arunika berhenti mengayun kaki. Mata bulatnya membesar seperti boneka, penuh rasa ingin tahu.

Daren meletakkan piring pancake di atas meja, lalu duduk di samping Selena. Satu tangannya menggenggam tangan istrinya—gestur kecil, tapi jelas mengatakan: kamu yang mulai bicara.

Selena menarik napas pelan, kemudian meraih kedua tangan Arunika, menggenggamnya dengan lembut.

“Aru sayang…” suaranya lembut, penuh kasih.

“Kemarin Aru minta adik, kan? Aru minta sama Mama dan Ayah…”

Arunika mengangguk cepat, mata penuh antusias.

Selena melanjutkan, senyumnya menghangat.

“Ternyata doa Aru sudah dikabulkan sama Allah.”

Arunika berkedip. “Maksud Mama?”

Selena menuntun tangan kecil itu, menempelkannya ke perutnya yang masih rata.

“Di sini ada baby, Sayang.”

Hening satu detik.

Dua detik.

Lalu—Arunika meledak.

“HAAAH?? ARU JADI KAKAK?!”

Ia langsung berdiri dari kursinya, melompat-lompat seperti trampolin ada di bawah kakinya.

“Aku jadi kakak! Aku jadi kakak!!” teriaknya sambil berlari kecil mengitari ruang keluarga.

Selena dan Daren tertawa sampai tubuh mereka sedikit membungkuk.

Arunika kembali menghampiri Selena, napasnya naik turun. Dengan hati-hati ia menyentuh perut Selena.

“Baby-nya beneran ada di sini?” suaranya pelan—kali ini hampir berbisik.

Selena mengangguk. “Iya, Sayang. Baby-nya masih kecil banget. Tapi nanti Aru bisa lihat waktu kita USG.”

Arunika menempelkan pipinya ke perut Selena.

“Halo baby… aku kakak Arunika. Nanti kakak ajarin kamu cara makan pancake strawberry, ya.”

Daren mengacak pelan rambut anaknya. “Aru janji jadi kakak yang baik?”

Arunika mengangguk dengan sangat serius—terlalu serius.

“Aru janji akan jaga Mama sama baby. Tapi Ayah…” Ia menatap Daren dengan mata menyipit curiga. "Ayah jangan rebut Mama dari baby dan kakak.”

Daren melongo. “Lho kok Ayah jadi tersangka?”

Selena tertawa dan meraih Arunika, menariknya ke pelukan.

“Terima kasih ya, Sayang… udah mendoakan Mama dan Ayah punya baby.”

Arunika memeluk Selena erat, lalu berkata pelan—penuh tulus:

“Makasih Mama udah bikinin Aru adik. Aku sayang Mama.”

Daren mengusap punggung keduanya sambil bergumam dengan suara pelan dan bangga:

“Ayah juga sayang Aru… dan baby… dan Mama.”

Untuk pertama kalinya, keluarga itu bertiga berpelukan di sofa—dengan satu cinta baru yang mulai tumbuh.

 ---

Siang itu, suasana ruang meeting lantai 15 terasa jauh lebih sibuk dari biasanya. Para kandidat sekretaris datang dan pergi, sementara Daren duduk di ujung meja panjang dengan laptop terbuka di depannya. Kemeja putihnya tergulung rapi sampai siku, memperlihatkan jam tangan hitam yang tampak kontras dengan kulitnya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun sikapnya tetap tegas dan profesional—seperti biasa saat ia bekerja.

Daren mengetik beberapa catatan mengenai kandidat sebelumnya, lalu menekan tombol interkom.

“Silakan panggil kandidat berikutnya,” ucapnya singkat.

Beberapa detik kemudian, pintu ruang meeting terbuka. Masuklah seorang wanita dengan langkah percaya diri. Sepatu high heels hitamnya berdetak pelan di lantai marmer, rambut panjangnya ditata rapi jatuh di bahu, wajahnya cantik dengan riasan tipis namun elegan.

Nama pada map yang ia bawa: Raya Ardelina.

Daren yang semula fokus pada laptop, mengangkat wajah ketika mendengar pintu tertutup. Sebelah alisnya terangkat—seolah ia mengenali sosok itu.

Raya tersenyum halus.

“Selamat siang, Pak Daren.”

Suara itu lembut, tetapi ada keyakinan di baliknya.

Daren mengangguk singkat. “Silakan duduk, Miss Raya?”

“Iya.” Raya duduk perlahan, sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari Daren. Tatapannya seolah sedang menilai—bukan hanya pekerjaan, tetapi juga… sesuatu yang lain.

Daren membuka file CV di layar laptopnya. “Baik, kita mulai. Bisa ceritakan pengalaman kerja terakhir Anda?”

Raya menyilangkan kaki dengan anggun. “Saya sebelumnya bekerja sebagai asisten direktur di perusahaan milik keluarga. Dan… sebenarnya kita pernah bertemu.”

Daren menghentikan ketikan. “Pernah bertemu?”

Raya tersenyum lebih lebar. “Masa kakak lupa sama aku? Aku Raya. Teman dekat Kavi.”

Wajah Daren berubah sekilas, seakan mencoba mengingat. “Oh… Raya. Lama tidak bertemu.” Ia menarik napas pelan lalu kembali ke mode profesional. “Tapi untuk sekarang, kita fokus pada interview dulu. Nanti baru kita ngobrol lagi.”

Raya hanya mengangguk, tetapi sorot matanya jelas mengatakan: aku tidak datang hanya untuk interview biasa.

“Baik.” Daren kembali bertanya, “Kenapa memilih bekerja di sini?”

Raya merapatkan mapnya dan menatap Daren lebih dalam.

“Karena bekerja di bawah Anda… adalah kesempatan yang terlalu sayang untuk dilewatkan.”

Kalimat itu tidak terdengar seperti jawaban profesional. Ada makna lain di dalamnya—dan Daren menyadarinya.

Namun ia tetap menjaga jarak.

“Di sini profesionalitas adalah hal utama,” balas Daren tegas.

Raya bersandar sedikit, tersenyum tipis.

“Tentu. Saya bisa profesional… selama Anda bisa juga.”

Tatapan mereka bertemu, dan entah kenapa ruangan terasa sedikit lebih panas daripada sebelumnya.

“Baik, terima kasih untuk waktunya mengikuti proses interview hari ini. Untuk informasi lebih lanjut, nanti akan kami kabari melalui email.”

Daren berdiri sambil menutup laptopnya.

“Baik, Pak. Terima kasih juga atas kesempatannya.” Raya ikut berdiri, sikapnya profesional, senyum tipis terukir di bibirnya.

Namun sebelum melangkah keluar, Raya berhenti di depan pintu.

Ia menoleh sedikit—sekadar memiringkan kepala—namun tatapannya tajam dan langsung mengunci mata Daren.

“Oh ya,” ucapnya ringan.

“Titip salam untuk istri… Kavi.”

Kalimat itu meluncur terlalu santai, seperti ucapan biasa.

Namun efeknya tidak biasa sama sekali.

Daren terpaku.

Dengan rahang mengeras, Daren bertanya pelan, “Kamu kenal dengan istri Kavi?”

Raya tersenyum samar—senyum yang sulit diterjemahkan.

“Tentu saja saya kenal.”

Ia melangkah kembali mendekat, tangannya menyentuh kursi sebelum ia menambahkan dengan nada yang sengaja diperlambat.

“Sebelum Kavi meninggal, kami sudah cukup dekat. Bahkan…”

Ia menatap Daren tepat di mata.

“…aku juga dekat dengan Selena.”

Ada jeda.

Daren menegakkan tubuhnya. “Baik. Nanti akan saya sampaikan.”

Raya mengangguk pelan, tetapi tatapannya tidak pergi.

Seolah ia sedang menilai reaksi Daren, mencatat setiap gerakan kecil wajahnya.

“Silakan melanjutkan pekerjaan Anda, Pak Daren,” ucap Raya akhirnya.

Baru setelah itu ia membuka pintu dan berjalan keluar dengan langkah percaya diri.

Pintu tertutup.

Dan ruangan kembali hening.

Daren mengembuskan napas pelan.

Ada sesuatu yang tidak beres dengan kehadirannya.

Terlalu tahu. Terlalu percaya diri. Terlalu… masuk ke masa lalu yang sudah dikubur.

Tangannya mengepal pelan.

“Apa tujuan wanita itu?”

 ---

Malam itu kamar terasa hangat. Lampu tidur menyala lembut, menciptakan cahaya keemasan yang memantul di dinding. Selena sudah berbaring di tempat tidur, rambutnya terurai di atas bantal. Daren duduk di sampingnya, satu tangan mengelus lembut bagian perut Selena yang masih rata.

“Gimana hari ini?” bisik Daren pelan. “Anak ayah ini bikin Mama kelelahan nggak? Rewel nggak di dalam sana?”

Selena terkikik kecil. “Hari ini baik-baik aja. Dia tenang, mungkin karena kamu sebelum ke kantor udah bisikin adek bayinya jangan rewel."

Daren tersenyum, mencium pipinya singkat. “Nah, kan. Anak kita pinter.”

“Mmm, kamu gimana?” tanya Selena balik. “Kerjaan lancar? Udah dapat sekretaris baru?”

Daren menarik napas pelan. “Masih diseleksi sih. Belum fix. Besok final kandidatnya.”

Selena mengangguk, jemarinya memainkan ujung selimut. Namun sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Daren menambahkan pelan, seperti berpikir apakah ia harus jujur atau tidak.

“Oh iya… tadi ada Raya yang ikut interview.”

Selena mengernyit. “Raya?” ia mencoba mengingat. “Raya yang mana?”

“Raya Ardelina.” Daren menatap atap sesaat, lalu kembali menatap Selena. “Katanya teman dekat Kavi. Tapi aku kurang ingat pernah lihat dia. Dia bilang… dia kenal kamu juga.”

Selena diam beberapa detik, lalu wajahnya menunjukkan tanda ia mulai mengingat sesuatu.

“Oh. Raya.” nada suaranya datar. “Iya, aku ingat. Dulu dia memang deket sama Mas Kavi. Tapi sama aku… kayaknya nggak terlalu deket deh.”

“Dia ikut interview juga?” Selena menatap Daren penuh rasa penasaran.

“Iya.” Daren mengangguk. “Tapi aku agak heran. Setahuku, keluarga dia punya perusahaan. Harusnya dia nggak perlu kerja sebagai sekretaris.”

Selena mengangkat alisnya. “Mungkin dia bosan jadi sosialita?”

“Tingkahnya bukan sekadar bosan, Sel…” Daren menatap Selena serius. “Waktu mau pergi, dia bilang: ‘titip salam buat istrinya Kavi.’”

Seketika Selena membeku.

Kalimat itu menusuk. Karena Selena dulu memang istri Kavi.

Selena menarik napas pelan, mencoba tetap tenang. “Dia bilang begitu?”

“Iya.”

Selena menarik napas pelan. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya sejak nama itu disebut.

Daren mengulurkan tangan, menggenggam jemari Selena seolah memberi sinyal bahwa ia siap mendengarkan apa pun yang keluar dari mulut istrinya.

“Mas… aku boleh jujur nggak?” tanya Selena lirih.

Daren menatapnya penuh perhatian. “Boleh dong. Kamu mau jujur apa?”

Selena menggigit bibir bawahnya, mencoba merangkai kata tanpa terdengar seperti istri cemburuan tanpa alasan.

“Sebenarnya dari dulu aku nggak pernah sreg sama Raya.”

Daren mengernyit pelan. “Kenapa?”

Selena menatap selimut di pangkuannya, jari-jarinya meremas kain itu.

“Soalnya dia itu selalu nempel sama Mas Kavi. Bahkan… sebelum kecelakaan itu, hari terakhir Mas Kavi… dia sempat bertemu sama Raya.”

Daren terdiam. Selena melanjutkan dengan hati-hati.

“Tapi setelah Mas Kavi meninggal… dia nggak pernah muncul. Bahkan melayat pun nggak. Nggak ada kabar, nggak ada pesan. Kayak tiba-tiba… hilang.”

Nada suara Selena berubah menjadi rendah, nyaris seperti luka lama yang kembali terbuka.

“Aku nggak mau suudzon sama orang, tapi perasaanku selalu bilang… Raya itu suka sama Mas Kavi.”

Daren mengangkat wajah Selena dengan kedua tangannya, memaksanya menatap tepat di matanya.

“Kavi tahu?” tanya Daren pelan.

“Mas Kavi selalu menganggap Raya sebagai sahabat. Dan dia selalu bilang aku satu-satunya yang dia cintai.” Selena tersenyum kecil, getir. “Tapi… sejujurnya, aku nggak pernah nyaman kalau Raya ada di sekitar.”

Selena kembali menunduk.

“Aku bukan takut dengan masa lalu, Mas. Tapi aku hanya… nggak mau ada seseorang yang dulu pernah mengincar suamiku, sekarang muncul lagi di hidupku—dan di hidup kamu.”

Daren mengusap punggung Selena lembut, kemudian menangkup wajahnya.

“Nay, lihat aku.”

Selena menatap. Mata Daren teduh dan penuh kepastian.

“Dulu kamu istri Kavi. Sekarang kamu istri aku.”

Kalimat itu tegas, mantap, tanpa keraguan sedikit pun.

“Raya bisa muncul, bisa mencoba apa saja. Tapi yang punya pintu ke hidup aku cuma kamu,” lanjutnya. “Aku bukan Kavi. Aku nggak akan kasih ruang untuk perempuan lain.”

Selena menggenggam tangan Daren, suaranya pelan namun jujur.

“Aku percaya sama Mas. Aku cuma… takut dia punya niat lain.”

Daren menarik Selena ke dalam pelukan, menepuk punggungnya pelan — penuh meyakinkan.

“Kalau dia punya niat macam-macam…” Daren berbisik di telinganya, suaranya turun rendah, “…aku tutup pintu itu sebelum terbuka.”

Selena memejamkan mata. Bahunya merosot rileks, seolah beban yang bertahun-tahun disimpannya akhirnya terangkat.

“Aku nggak mau kehilangan kamu,” gumam Selena.

Daren mengusap rambutnya pelan.

“Kamu nggak akan. Aku di sini, Nay. Aku milik kamu. Dan kita punya keluarga kecil untuk dijaga.”

Selena mengangguk pelan, memeluk Daren semakin erat.

Di luar sana, mungkin Raya kembali muncul dalam hidup mereka dengan niat yang belum terungkap.

Tapi di malam itu, yang ada hanya dua orang yang saling memilih satu sama lain — berjuang melindungi keluarga yang sedang tumbuh.

 ---

Di suatu tempat, Raya duduk sendirian di dalam mobil. Lampu kota memantul di kaca jendela, membuat bayangan wajahnya terlihat separuh gelap.

Ia membuka galeri ponselnya.

Sebuah foto lama muncul—dirinya, Kavi, dan Selena. Di foto itu, Selena tersenyum paling lebar, sementara Raya berdiri sedikit di belakang, menatap Kavi. Tatapannya… bukan tatapan sahabat.

Sudut bibir Raya perlahan terangkat.

“Selena sudah mendapatkan Kavi lebih dulu,” bisiknya pelan.

Ia menatap bayangan dirinya di layar ponsel, mata penuh determinasi dingin.

“Sekarang giliranku mendapatkan Daren.”

Kedipan cahaya dari layar ponselnya memantul di matanya — seperti kilatan rencana yang baru saja lahir.

---

Gimana bab hari ini? Seru?

1
Favmatcha_girl
Seru💪
Favmatcha_girl
Excited banget kamu
Favmatcha_girl
Lucu banget si kamu Aru
Favmatcha_girl
Daren😍
Favmatcha_girl
bagus thor 😍
Favmatcha_girl
apapun akan daren lakukan untuk kamu Sel🤭
Favmatcha_girl
ngidam mu gak susah ya😊
Favmatcha_girl
hahaha ketahuan kamu Daren
Favmatcha_girl
so sweet amat
Favmatcha_girl
lanjutkan thor 💪
Favmatcha_girl
sksd banget ya🤭
Favmatcha_girl
Ganggu banget nih orang
kalea rizuky
istri g punya basic bisnis yg g bs bantu apapun bisanya diem. aja di rmh dih
Itz_zara: punya dong, kan dia punya butik🫠
total 1 replies
kalea rizuky
klo selingkuh buang aja nay
Itz_zara: 🤭daren ijo neon kak
total 1 replies
kalea rizuky
abis ne keguguran karena g jujur halahh
Favmatcha_girl
jendela nya gue gembok Ray🤭
Favmatcha_girl
yah kasihan nggak diterima 🤭
Favmatcha_girl
ternyata ada udang di balik batu🤭
Favmatcha_girl
ada bau-bau aneh nihh
Favmatcha_girl
waduh🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!