Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Tujuh hari tersisa.
Di luar jendela kaca ruang komando Satgasus, langit Jakarta telah berubah warna. Matahari sore telah dicekik oleh gumpalan awan kumulonimbus yang memar, mengubah kota menjadi abu-abu gelap yang mengancam. Kilat menyambar di kejauhan tanpa suara, menjanjikan badai tropis yang akan menenggelamkan jalanan.
Di dalam, badai itu sudah terjadi di benak AKP Daniel Tirtayasa.
Di atas mejanya, kartu undangan hitam itu masih tergeletak terbuka, menyerap seluruh cahaya di ruangan seperti sebuah lubang hitam kecil. Tinta peraknya berkilau mengejek.
Lokasi: 106.8225° BT, 6.2088° LS
Waktu: Malam Minggu Ini. Pukul 23:00 Tepat.
Daniel duduk sendirian. Timnya Hasan, Adit, Reza sedang istirahat makan siang di kantin. Dia sengaja tidak ikut. Dia butuh kesunyian ini, meskipun kesunyian itu kini dipenuhi oleh suara detak jam dinding yang terasa seperti palu godam yang menghantam sisa-sisa kewarasannya.
Tangannya bergerak, mengambil foto yang menyertai undangan itu.
Foto Erica Wijaya.
Daniel tidak tahu namanya atau mungkin dia pernah melihat wajahnya sekilas di baliho jalan tol atau iklan skincare di TV kantin, tapi dia tidak peduli. Yang dia lihat bukanlah seorang wanita yang ketakutan akan "jiwa busuk"-nya. Yang dia lihat adalah sebuah arketipe.
Wanita di foto itu cantik. Terlalu cantik. Kulitnya flawless, hasil perawatan mahal. Rambutnya ditata sempurna dalam gelombang yang memikat. Bibirnya dipulas merah menyala, sedikit terbuka dalam senyum yang dirancang untuk menggoda kamera. Matanya, meskipun tampak memohon, dibingkai oleh bulu mata palsu yang lentik dan makeup smokey eye yang dramatis.
Bagi Daniel, yang kini memandang dunia melalui lensa "7 Dosa Mematikan" yang terdistorsi, gambar ini berteriak satu hal.
NAFSU (LUST).
"Dia memilih penggoda," gumam Daniel, suaranya penuh jijik dan kepahitan. "Tentu saja. Dia memilih simbol hasrat duniawi untuk memancingku."
Daniel yakin dia benar. Dia berpikir Samuel sedang menghukum wanita ini karena dosanya menggoda orang lain, karena menjual kecantikan, karena menjadi objek nafsu. Dia tidak tahu bahwa Samuel sebenarnya sedang menghukum wanita ini karena rasa iri hati yang busuk di dalam dirinya.
Kesalahan persepsi ini membuat darah Daniel mendidih. Dia merasa Samuel sedang mempermainkan moralitasnya. Lihat, Gembala, suara Samuel seolah berbisik di telinganya. Apakah kau akan menyelamatkan pelacur Babel ini?
Daniel meletakkan foto itu. Dia memijat pelipisnya yang berdenyut hebat. Dia harus fokus. Emosi adalah musuh.
Reza, sebelum pergi makan dengan wajah masam, sempat mengecek koordinat itu sekilas. "Itu daerah Marunda, Ndan. Kompleks pergudangan tua di dekat pelabuhan. Zona industri mati. Tidak ada CCTV. Tidak ada patroli."
Tempat yang sempurna untuk sebuah eksekusi.
Daniel memejamkan mata. Dia adalah seorang perwira polisi. Prosedur standar operasional (SOP) untuk situasi ancaman pembunuhan sudah tertanam di sumsum tulangnya:
• Amankan bukti (undangan).
• Lapor ke atasan (Jenderal Hartono).
• Mobilisasi unit taktis (Gegana/Brimob).
• Serbu lokasi, amankan target, tangkap pelaku.
Itu adalah jalan yang lurus. Jalan yang aman. Jalan yang benar secara hukum.
Tapi Daniel tahu, dengan kepastian yang membekukan darah, bahwa jalan itu adalah jalan menuju kekalahan total.
Samuel tahu prosedur itu, batin Daniel. Dia menulis buku panduannya.
Daniel memutar simulasi itu di kepalanya. Dia melapor ke Hartono. Jenderal itu yang sedang panik karena tekanan media dan "RUU Migas" akan melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menyelamatkan mukanya. Dia akan mengirim segalanya. Sirine akan meraung. Lampu biru akan membanjiri Marunda. Helikopter akan berputar di atas.
Dan Samuel? Sang Hakim? Dia akan melihat sirkus itu dari jarak bermil-mil. Dia akan tertawa. Dia akan membatalkan "acara"-nya. Dia akan menghilang ke dalam bayangan seperti hantu.
Dan wanita di foto itu si "Nafsu" akan ditemukan seminggu kemudian di selokan, mungkin dengan wajah cantiknya dirusak, sebagai pesan: "Kau gagal, Gembala. Kau membawa anjing pemburu, bukan kejujuranmu."
Daniel tidak bisa mengambil risiko itu. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu mati hanya untuk memuaskan birokrasi Polri.
Opsi kedua: Bawa tim sendiri.
Daniel menatap kursi kosong Reza dan tumpukan berkas di meja Adit. Bisakah dia memercayai mereka? Tentu saja. Mereka orang baik. Mereka setia.
Tapi... Samuel ada di dalam sistem.
Teori Dr. Maya terus menghantuinya. "Dia tidak meretas sistemmu. Dia sudah ada di dalam sistemmu."
Dan bukti digital Reza... radius 1 kilometer dari RS Bhayangkara... itu membuktikan Samuel memiliki akses fisik. Bagaimana jika Samuel menyadap ruang komando ini? Bagaimana jika ada mikrofon di bawah meja rapat? Bagaimana jika dia meretas radio komunikasi enkripsi mereka?
Jika Daniel membawa Hasan dan Adit, Samuel akan tahu saat mereka bergerak. Dia akan tahu Daniel datang dengan "bantuan". Dan hasilnya akan sama: wanita itu mati.
Daniel merasa mual. Isolasi ini mencekik. Dia dikelilingi oleh sekutu, tapi dia tidak bisa menggunakan satu pun dari mereka karena dia telah dilumpuhkan oleh paranoia-nya sendiri.
Hanya ada satu opsi tersisa. Opsi yang gila. Opsi yang akan mengakhiri karirnya jika dia salah, dan mungkin mengakhiri hidupnya jika dia benar.
Datang sendiri.
Menuruti aturan main iblis itu.
Daniel berdiri, mondar-mandir di ruang sempit itu, langkahnya bergema di lantai vinil.
Ini jebakan, Daniel. Kau tahu ini jebakan.
Dia ingin kau di sana. Dia ingin kau tak berdaya. Dia ingin kau menonton.
Tapi kemudian, dia teringat kata-kata Samuel di restoran, saat menusuk sandwich ayamnya.
"Bukankah 'menyerahkannya pada Tuhan'—atau pada prosedur—adalah sebuah bentuk... kemalasan spiritual?"
Itu dia.
Itu tantangannya.
Samuel sedang menguji apakah Daniel adalah "Gembala" sejati yang berani menghadapi serigala demi satu ekor domba (bahkan domba yang penuh dosa "nafsu"), atau hanya seorang "birokrat" yang bersembunyi di balik lencana dan pistol.
Jika Daniel tidak datang, Samuel menang secara moral.
Jika Daniel datang membawa pasukan, Samuel menang secara strategis.
Satu-satunya cara untuk membalikkan papan catur adalah dengan melakukan langkah yang tidak terduga. Langkah yang didasari oleh iman, bukan logika militer.
Pintu ruang komando terbuka tiba-tiba.
Daniel tersentak, tangannya refleks bergerak ke arah pinggangnya, sebelum dia sadar itu hanya Dr. Maya Sari.
Wanita itu masuk membawa dua cangkir kopi panas. Uap mengepul dari cangkir kertas itu. Dia berhenti di ambang pintu, melihat postur tegang Daniel, melihat undangan hitam di meja, dan melihat wajah pucat komandannya.
"Kau tampak seperti orang yang sedang merencanakan perampokan bank, Komandan," kata Maya pelan, meletakkan kopi di meja dengan hati-hati.
Daniel berhenti mondar-mandir. Dia menatap Maya. Satu-satunya orang yang tahu tentang "pembunuhan proksi". Satu-satunya orang yang memahami profil psikologis monster ini.
"Tutup pintunya, Dok," kata Daniel, suaranya serak.
Maya menutupnya, menguncinya, lalu berbalik. Wajahnya serius. Tidak ada lagi basa-basi. "Ada apa? Apa itu?"
Daniel menyodorkan kartu undangan hitam itu padanya.
Maya membacanya. Matanya menyipit saat membaca koordinat dan waktu. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan histeris, melainkan semacam... pengakuan profesional yang suram.
"Absolusi Keempat," gumam Maya. Dia menatap Daniel. "Ini malam ini."
"Ya."
"Kau akan melapor ke Jenderal Hartono?"
"Tidak," jawab Daniel cepat, tajam. "Jika aku melapor, wanita itu mati. Samuel akan tahu."
Maya menatapnya lama, matanya yang tajam membedah Daniel seperti spesimen di bawah mikroskop. "Dan kau tidak akan membawa timmu. Karena kau paranoid Samuel menyadap kita."
"Bukan paranoid, Maya. Waspada. Samuel selangkah di depan kita."
"Jadi," kata Maya, menyimpulkan dengan suara tenang yang menakutkan. "Kau akan pergi ke sana. Sendirian. Ke sebuah lokasi terpencil di tengah malam. Tanpa backup. Tanpa tim taktis. Untuk menemui seorang pembunuh berantai jenius yang memiliki 'God Complex' dan dendam pribadi terhadapmu."
Maya meletakkan undangan itu. "Itu bunuh diri, Daniel."
"Itu satu-satunya cara," kata Daniel defensif.
"Itu yang dia inginkan!" bantah Maya, suaranya naik satu oktaf. "Dia ingin kau masuk ke dalam narasinya. Dia ingin kau menjadi penonton di barisan depan. Dia ingin menghancurkanmu, bukan membunuhmu. Jika kau pergi sendiri, kau memberinya kepuasan itu."
"Aku tahu!" Daniel membentak pelan, frustrasi. "Tapi apa pilihanku? Membiarkan wanita di foto itu mati? Menjadi penonton dari jauh sementara dia digorok? Dia menantang kejujuran-ku, Maya. Jika aku tidak datang, aku membuktikan bahwa aku adalah munafik yang dia tuduhkan."
Maya terdiam. Sebagai psikolog, dia bisa melihat jebakan logika itu. Dalam logika gila folie à deux (kegilaan bersama) antara Daniel dan Samuel, ini adalah satu-satunya langkah yang valid. Daniel sudah terjerat terlalu dalam.
"Baik," kata Maya akhirnya, menghela napas panjang, menyerah pada kegilaan itu. "Tapi kau tidak boleh benar-benar sendirian."
"Aku tidak bisa membawa polisi. Reza, Hasan... aku tidak bisa."
"Bawa aku," kata Maya.
Daniel terbelalak. "Apa? Tidak! Gila! Kau sipil!"
"Bukan ke dalam, bodoh," koreksi Maya cepat. "Aku akan menunggu di perimeter luar. Jauh. Di dalam mobil pribadiku tanpa tanda polisi. Aku tidak akan membawa senjata. Aku tidak akan menggunakan radio polisi yang bisa diretas. Aku hanya akan menjadi... saksi cadangan."
Maya menatapnya tajam, mendekat. "Kau butuh jangkar, Daniel. Kau emosional. Kau melihat ini sebagai misi suci. Kau butuh seseorang yang melihat ini sebagai data. Jika dalam satu jam kau tidak keluar... atau jika aku melihat sesuatu yang salah... aku yang akan menelepon Jenderal Hartono dari ponsel pribadiku. Aku polis asuransimu."
Dia berhenti sejenak. "Dan Samuel... dia mungkin arogan dan maha tahu, tapi dia tidak akan memperhitungkan seorang psikolog sipil yang bersembunyi di semak-semak. Aku adalah variabel yang tidak dia masukkan dalam rumusnya."
Daniel menimbang tawaran itu. Itu berisiko. Sangat berisiko. Tapi Maya benar. Dia butuh satu orang di luar sana. Satu orang yang waras di tengah kegilaan ini.
"Oke," kata Daniel akhirnya. "Tapi kau tetap di mobil. Apapun yang terjadi. Kau tidak keluar kecuali aku mati atau aku memanggilmu."
"Sepakat."
Saat itu, pintu ruangan terbuka. Iptu Hasan dan Ipda Adit masuk kembali dari makan siang, tertawa-tawa tentang menu kantin yang buruk. Tawa mereka terdengar asing di telinga Daniel.
Daniel langsung memasang topengnya kembali. Wajah "Komandan" yang tegas.
"Hasan, Adit," kata Daniel, suaranya datar dan berwibawa. "Berhenti tertawa. Aku punya tugas baru untuk kalian malam ini."
"Siap, Ndan," Hasan langsung tegak. "Apa itu? Pengintaian lagi? Kita bergerak?"
"Tidak," kata Daniel. Dia membenci kebohongan yang akan keluar dari mulutnya. Lidahnya terasa pahit. "Aku dapat info dari informan lama di Reserse Narkoba. Ada kemungkinan Antonius Malik punya safe house di Bekasi. Rumah kontrakan tua."
"Bekasi?" Hasan mengerutkan kening, bingung. "Itu jauh, Ndan. Dan kita sudah yakin Malik itu umpan. Kenapa kita kembali ke dia?"
"Karena kita buntu, Hasan!" bentak Daniel, menggunakan amarah palsu untuk menutupi rasa bersalahnya. "Aku mau kalian ke sana. Cek lokasinya. Lakukan pengamatan semalaman. Jangan bergerak sampai aku beri perintah."
"Semalaman?" tanya Adit kecewa. "Tapi badai mau turun, Ndan."
"Lakukan saja," perintah Daniel, suaranya melembut sedikit. Dia menatap kedua anak buahnya itu. Dia mengirim mereka ke Bekasi bukan untuk mencari Malik. Dia mengirim mereka agar mereka jauh dari Marunda. Agar mereka tetap hidup. "Kita tidak boleh melewatkan apa pun. Pergi sekarang. Lapor besok pagi."
Hasan menatapnya lama. Ada kecurigaan di mata detektif senior itu. Dia tahu ada yang salah. Tapi hierarki polisi menahannya.
"Siap, Ndan," kata Hasan akhirnya, pelan. "Ayo, Dit."
Mereka berbalik dan pergi. Daniel melihat punggung mereka menghilang di balik pintu. Rasa bersalah menusuk dadanya. Dia baru saja membohongi orang-orang yang mempercayakan nyawa padanya.
Dia kini benar-benar sendirian. Terisolasi.
Di luar, guntur menggelegar, menggetarkan kaca jendela. Hujan mulai turun, deras dan keras, memukul Jakarta tanpa ampun.
Daniel membuka laci mejanya. Dia mengambil pistol dinas Glock-17 miliknya. Dia memeriksa magasinnya. Penuh. Peluru tajam.
Dia memasukkannya ke dalam sarung bahu di balik jaket kulitnya. Berat senjata itu terasa menenangkan sekaligus mengerikan.
Kemudian, dia mengambil kartu undangan hitam itu. Dia menatap foto Erica Wijaya si "Pendosa Nafsu" sekali lagi, lalu memasukkan keduanya ke saku dalam, tepat di atas jantungnya.
Malam Minggu telah tiba.
Sang Gembala akan memenuhi undangan Sang Hakim.
Dan dia berdoa, semoga ini bukan perjalanan satu arah menuju rumah jagal.