Kisah ini berasal dari tanah Bugis-Sulawesi yang mengisahkan tentang ilmu hitam Parakang.
Dimana para wanita hamil dan juga anak-anak banyak meninggal dengan cara yang mengenaskan. Setiap korbannya akan kehilangan organ tubuh, dan warga mulai resah dengan adanya teror tersebut.
Siapakah pelakunya?
Ikuti Kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andi Anni
Andi Enre sudah melaju membelah jalanan. Mereka sudah sangat jauh meninggalkan rumah duka, dan kini Daeng Cening sudah terlihat tenang dan tidak lagi gelisah.
"Bagaimana, Sayang. Apakah kamu sudah tenang?" tanya pria itu dengan nada khawatir. Ia menoleh ke arah sang istri yang saat ini juga menatapnya.
"Sudah, Sayang. Makasih udah ngertiin aku, ya. Makin cinta sama kamu," ucap Daeng Cening, sembari mengusap lembut lengan sang suami.
Didepan sana ada hotel, sebaiknya kita menginap saja, sebab Daeng sedikit lelah," ucapnya pada sang suami, dan hal itu membuat Andi Enre kembali tunduk. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Daeng Cening adalah perintah yang harus dipatuhinya.
Terlihat plang nama sebuah hotel didepannya, dan Andi Enre melambatkan laju mobilnya, lalu memarkirkan mobilnya disana.
Keduanya berjalan memasuki kamar yang sudah dipesan, dan membuat Andi Enre merasakan getaran gejolak hasrat yang tak dapat dikendalikan.
Disaat orang-orang berdoa untuk sang ammak, ia sibuk menyalurkan hasratnya dengan brutal kepada sang istri.
****
"Sanro Tungke, apa yang sudah terjadi?" Andi Anni kembali bertanya setelah membalurkan seluruh ramuan keseluruh tubuhnya.
"Pulanglah ke rumah, nanti kamu akan mengetahui apa yang terjadi. Lihat siapa yang tidak menyukai acara mattampung, maka ia adalah pelakunya," ucap pria itu, tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Andi Anni semakin merasa khawatir. "Mattampung? Siapa yang meninggal?" tanyanya lagi dengan nada gemetar.
"Pulanglah. Bawa ini, dan jangan lupa pertebal iman dan per-kencang ibadah agar sesuatu yang sedang mengincarmu tidak lagi berani mengusik." Sanro Tungke memberikan ajimat berupa gelang tangan yang diikatkan dipergelangan tangan pada keduanya.
Dengan rasa tak tenang, Andi Anni dan juga Bombang berpamitan pada Sanro Tungke setelah memberikan uang imbalan (Due' menre') pada jada yang sudah diberikan oleh pria tersebut.
"Sanro Tungke, kami pulang dahulu, dan terimakasih sudah memberikan pengobatan pada kami," ia berpamitan, dan sang sanro hanya menganggukkan kepalanya.
Keduanya melakukan perjalanan pulang. Andi Anni mencoba menghubungi Ambo Uleng, dan ingin mempertanyakan kondisi sang ammak, tetapi ponsel tersebut tidak dapat dihubungi.
Setelah jauh berjalan, mereka melewati sebuah hotel, dan tanpa sengaja, Andi Anni melihat mobil kakak lelakinya terparkir dihalaman hotel.
"Bang, tolong berhenti sebentar," pintanya pada sang suami.
Bombang melambatkan laju motornya, lalu menepi sejenak dari arah seberang. "Ada apa, Anni?" tanyanya pada sang istri.
"Itu sepertinya mobil bang Enre. Apakah ia menginap disana?" gumam Andi Anni dengan lirih.
"Mungkin dia tidak mau menginap dirumah sakit, atau dirumah ammak," sahut Bombang. "Kita kenapa gak ke rumah sakit?" pria itu balik bertanya.
Belum sempat Andi Anni menjawab, seorang pria yang merupakan kepala adat bertanya pada keduanya. "Kalian kemana saja? Mengapa tidak ikut memakamkan ammak kalian?" tanya pria itu dengan nada penuh selidik.
Deeeegh
Jantung Andi Anni seolah berhenti berdetak. Bibirnya gemetar dan wajahnya memucat saat mendengar ucapan dari sang kepala adat.
"Innalillahi wa inna illahi raji'un," ucap Bombang spontan.
Sedangkan Andi Anni masih terlihat bingung bercampur panik sehingga membuatnya sedikit lambat untuk merespon.
"Kapan meninggalnya, Ambo?" tanya Bombang dengan rasa penasaran.
"Sore tadi, dan baru selesai dimakamkan. Cepatlah pulang, mengapa kalian berhenti disini?" tanya pria itu dengan rasa penasaran.
"K-kalau ammak meninggal, mengapa bang Enre menginap disana?" tanya Andi Anni dengan bibir gemetar.
Sang Kepala adat ikut menoleh ke arah parkiran yang berada diseberang jalan.
"Tadi istrinya katanya merasa pusing, dan mengajak untuk pulang. Bahkan saya mencegahnya untuk tidak pergi sebelum menyalatkan ammak kalian, tetapi ia menolaknya," terang pria itu dengan jelas.
Sontak saja hal itu membuat Andi Anni terkejut. "A-apa? Istrinya? Jadi Daeng Cening juga ikut bersamanya?" tanya Andi Anni dengan wajah cemas dan juga penuh kebencian.
"Ya, wanita itu ikut bersamanya,"
"Ambo, tolong sadarkan bang Enre. Dia itu sedang dalam pengaruh Daeng Cening. Wanita itu yang sudah membunuh ammak, aku yakin sekali, jika istri bang Enre adalah parakang," ucap Andi Anni dengan wajah yang pucat.
Fikirannya saat ini sedang berkecamuk antara memikirkan sang ibunda yang sudah meninggal dan juga abangnya yang sudah terkena sihir oleh Daeng Cening.
Sang Kepala Adat terlihat diam. Ia sedang memikirkan sesuatu. "Saya juga merasa jika abang kalian terkena sihir oleh wanita itu. Tatapannya kosong, dan ia sangat terikat. Jika kita gegabah menanganinya, maka bukan hanya Enre yang tewas, tetapi semua yang berusaha ikut campur didalamnya,"
"Tolonglah, Ambo. Bagaimana caranya agar abang saya bisa sadar untuk meninggalkan wanita itu," mohon Andi Anni dengan penuh harap.
"Kalian pulanglah terlebih dahulu. Ambo Uleng terlihat sangat syok atas kepergian ammak, nanti kita cari cara bagaimana dapat menyadarkan Andi Enre dari pengaruh sihirnya. Namun sepertinya sangat sulit, sebab sudah mendarah daging. Tetapi akan kita cari solusinya," Kepala Adat mencoba menjelaskan pada keduanya.
Andi Anni dan Bombang mengangguk patuh, lalu mereka berpamitan pulang.
Sedangkan Sang Kepala Adat melihat ke arah mobil milik Andi Enre, yang mana benda beroda empat itu terlihat diselimuti oleh asap hitam yang membuat aura kegelapan begitu sangat kentara.
Sesaat pria itu merasa bergidik. "Enre, kamu mendapatkan harta ini dari jalan yang salah, dan begitu banyak korban yang sudah menjadi tumbal dari mobil yang kamu tumpangi saat ini," gumam pria itu dengan lirih.
Sementara itu, didalam kamar hotel, Andi Enre dan Daeng Cening sedang memadu kasih dengan hasrat yang menggebu dan juga lenguhan gejolak yang tersalurkan.
"Sayang, aku tidak bisa hidup tanpamu, dan kamu adalah harapanku, jangan pernah tinggalkan aku," ucap Andi Enre dengan memohon pada Daeng Cening.
Keduanya masih berdekapan dengan erat, dan tanpa sehelai benangpun.
"Tentu, Sayang. Tidak akan ada yang dapat memisahkan kita, dan kamu adalah harapanku untuk terus hidup," balas Dareg Cening dengan sangat meyakinkan. Ia memagut bibir sang suami, dan keduanya kembali mengayuh bahtera cinta mereka.
Ditempat yang berbeda, Seorang Komandan Kepolisian sedang mengunjungi Benny yang saat ini sedang dirawat dirumah sakit jiwa. Sebab akhir-akhir ini mengalami sikap yang agresif.
Pria itu sering berteriak keras tanpa sebab, dan melakukan tindakan diluar nalar, semisal memanjat tembok, dan juga berusaha menembak dirinya sendiri.
Untung saja keluarga cepat menyadarinya, jika tidak, Benny sudah mati bersimbah darah.
"Bagaimana untuk dimintai keterangan? Sedangkan ia sendiri tidak ingat siapa dirinya," salah satu penyidik mencoba mengingatkan sang Komandan yang saat ini sedang menatap Benny dengan sangat intens.
"Dia pernah menyebutkan parakang saat pertama kali ditemukan dirumah itu," ujarnya dengan tatapan yang sangat dalam saat mengamati setiap pergerakan Benny yang mana saat ini sedang bercakap-cakap sendiri.
sukurin..
mudah-mudahan diampuni ya Cening .. karena kamu selama ini sudah menyekutukan Allah ..
benar-benar iblis tuh si Welang 😤😤
ooaalaah .... ternyata polisi Andre itu adalah kk nya si Ella toch istrinya si Takko 😱😱
jahat bgt tuh si welang 🤬🤬
kini Enre pun sdh terkena Ditinggal itu 😱
siapa pula yg mau mencuri Kitab Kuno dan Abu Parakang itu ,, psti orang jahat lg ajah 😡😡
Tp baru juga Daeng lepas dri ilmu hitam itu, ada lagi parakang baru hadehhh. 😇