NovelToon NovelToon
BAYANG MASA LALU KELUARGA

BAYANG MASA LALU KELUARGA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: biancacaca

Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PART 15

Gudang tidak lagi sunyi.

Keheningan pecah berubah jadi ketegangan mendesis, seperti kabel tegangan tinggi yang hampir putus.

Arlen berdiri sendiri.

Darah menetes dari pelipis, bukan deras—tapi konsisten.

Jaketnya robek di beberapa titik, napasnya tidak lagi stabil. Tapi posturnya… masih tegak.

Orion menepuk sarung tangannya pelan, seperti membersihkan debu yang tidak ada.

> "Kau berubah, Arlen."

"Dulu kau menghancurkan karena perintah. Sekarang kau menghancurkan karena perasaan."

Arlen menaikkan sedikit ujung bibirnya, setengah senyum yang bukan untuk ramah—tapi tantangan.

> "Kesalahan kalian: kalian pikir manusia cuma punya satu alasan buat bertarung."

Widya tidak bicara.

Ia tipe yang tidak membuang suara untuk drama.

Sepatu boots-nya bergeser setengah senti.

Itu tanda: serangan dimulai.

---

Serangan Pertama — Widya

Ia datang rendah, menyayat ruang seperti angin baja.

Targetnya bukan wajah. Bukan dada. Tapi sendi kiri Arlen—titik lumpuh.

Tapi Arlen sudah membaca itu.

Ia menjatuhkan tubuh ke kanan, telapak tangan menekan lantai, lalu menyapu kaki belakang Widya dengan putaran pinggang.

Widya melompat, lolos—namun Arlen sudah bangkit dengan siku siap menghantam.

BUAKK—

Siku mendarat, mengenai tulang rusuk samping. Tidak patah, tapi mengganggu pernapasan.

Widya mundur setengah langkah.

Itu prestasi.

Karena selama dua tahun… tidak ada yang pernah memaksa Widya mundur.

---

Orion Masuk

Kalau Widya adalah pisau, Orion adalah tembok longsor.

Ia tidak menyerang titik kecil.

Ia menyerang ruang itu sendiri.

Tinju depannya meluncur, bukan cepat—tapi pasti.

Tinju yang jika kena, tidak butuh pukulan kedua.

Arlen menyilangkan lengan, menahan.

DUUMM—

Bukan sekedar benturan. Itu ledakan tekanan.

Tubuh Arlen terdorong, sepatu bergeser, meninggalkan jejak hitam di lantai.

Tapi ia tidak jatuh.

Orion mengangkat alis.

> "Masih berdiri, ya."

> "Karena belum giliran gue jatuh." jawab Arlen, ludah darah di ujung bibir.

---

Serangan Kombinasi

Widya kembali, kali ini tidak sendiri.

Mereka menyerang bersamaan:

Widya mengunci pergerakan bawah.

Orion memutus ruang atas.

Itu bukan serangan.

Itu eksekusi koreografi perang.

Arlen tahu kalau ia menangkis, ia tumbang.

Kalau ia menghindar, ia terjepit.

Kalau ia maju… ia tertusuk di dua titik.

Maka ia memilih opsi yang orang waras tidak pilih:

Ia menyerang lebih dulu.

Tubuhnya menabrak ke arah Widya, bahu menghantam seperti palu, cukup membuat ritme serangan mereka pecah sepersekian detik.

Fraksi detik itu ia pakai untuk:

menangkap pergelangan Widya

memaksa memutar tubuhnya jadi tameng terhadap Orion

Orion melihat, tapi sudah terlambat untuk menarik tinjunya.

BUGGHH—

Pukulan Orion menghantam lengan Widya.

Tidak fatal. Tapi mengubah formasi mereka.

Widya mendengus tersedak, Orion terpental satu langkah karena rebound momentum, Arlen menggunakan itu untuk menyikut Orion tepat di rahang.

Tidak menjatuhkan.

Tapi mengubah nada tekanan udara di ruangan.

Mereka tidak lagi menganggapnya penghalang.

Sekarang mereka melihatnya ancaman.

---

Tapi… tubuh punya batas

Arlen mulai pendengaran berdenging.

Vision pinggirnya menggelap tipis.

Tanda awal under-oxygen shock.

Ia menghapus darah dari matanya dengan punggung tangan.

> "Udah?" suaranya melemah, tapi tetap tajam.

Orion memiringkan kepala.

> "Kau tidak bisa menang."

Arlen tertawa kecil. Serak.

> "Gue gak perlu menang. Gue cuma perlu cukup lama."

Widya menyadari maksudnya duluan.

Matanya menyipit.

> "Dia bukan nahan kita… dia beli waktu."

Orion menoleh ke pintu gudang.

> "Berapa lama kau pikir temanmu butuh?"

Arlen menatap jam di dinding yang rusak.

Jarum detik berdetak.

Ia hanya tersenyum.

Detik ke 4…

Detik ke 5…

Detik ke 6…

Lalu.

BUM!!!!

Pintu gudang meledak ke dalam, bukan karena bahan peledak—tapi karena ditendang dari luar dengan momentum brutal.

Asap belum turun ketika dua bayangan masuk menyerbu:

Kaelan, memutar pipa besi dari samping seperti bandul perang.

Najla, bukan di belakang… tapi DI DEPAN Kaelan, melesat duluan, wajahnya ganas seperti seseorang yang sudah memilih tidak punya jalan pulang.

Mata Arlen sedikit melebar.

Najla berteriak dengan suara yang memotong medan:

> "LAMA BANGET LU BERTAHAN SENDIRI, GOBLOK!"

Widya reflek hadang Kaelan, Orion fokus ke Najla.

Tapi Najla tidak menyerang Orion.

Ia menyerbu ke Arlen dulu, meraih lengannya, menahan tubuhnya agar tidak tumbang.

> "Gue bilang jangan sok pahlawan sendirian!!" bentaknya, suara gemetar tapi marah.

Arlen cuma terkekeh, setengah roboh, tapi masih sempat nyengir miring.

> "Wajar. Gue cas tank-nya duluan."

Najla hampir mau memukulnya saking emosinya.

Tapi tidak sempat.

Karena Orion sudah berdiri di depan mereka berdua, bayangannya menutup cahaya.

> "Reuni selesai?"

Najla mengangkat kepala.

Tanpa ragu.

> "Belum. Baru dimulai."

Ia menurunkan Arlen ke lantai duduk, lalu berdiri di depannya, bukan di samping.

Dan untuk pertama kalinya malam itu:

Bukan Arlen yang melindungi Najla.

Tapi Najla yang berdiri di garis depan.

Langit menjelang subuh berwarna abu-abu.

Bukan gelap, tapi juga belum terang—warna yang cocok untuk orang-orang yang hidup di antara benar dan salah.

Arlen duduk di beranda, jaket dilepas, lengan masih diperban seadanya. Wajahnya tenang, tetapi matanya berbicara banyak—malam itu masih bergema di kepalanya.

Pintu terbuka pelan.

Najla keluar membawa dua gelas susu hangat dan duduk tanpa bertanya apakah boleh.

Arlen hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap jalan.

Najla meletakkan satu gelas di sebelahnya.

Mereka diam cukup lama, sampai uap susu mulai memudar.

Akhirnya Najla bicara duluan.

“Abang kalah?”

Bukan panik. Bukan menyindir.

Nada suaranya datar, jujur, seperti bertanya cuaca.

Arlen menghembuskan napas pendek, setengah tersenyum kecil tanpa emosi.

“Yang kalah gak pulang.”

Najla mengangguk, seakan itu jawaban paling normal di dunia.

“Tapi Abang hampir kalah.”

Kalimat itu bukan pertanyaan. Itu fakta.

Arlen menunduk sekilas. Hampir.

Ya. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama…

Seseorang hampir mengirimnya ke tanah untuk selamanya.

Najla menyesap susunya.

“Yang namanya siapa?”

“Kairo.”

Najla mengangguk lagi, mengingat.

“Aku suka dia.”

Arlen berbalik cepat.

“Kenapa?”

Najla menyeringai tipis. “Karena Abang masih hidup. Artinya dia gak datang buat bunuh… dia datang buat bicara.”

Arlen terdiam.

Beta kecilnya—yang jarang menunjukkan takut—membaca medan lebih cepat dari dia.

Najla mencondongkan badan.

“Dengerin aku, Bang.”

Tatapan Arlen jatuh ke adiknya.

Najla jarang memberi saran.

Tapi kalau dia sudah bicara, biasanya itu bukan sekadar opini.

“Musuh yang mau bunuh itu datang dari belakang. Yang datang lewat pintu… dia mau ngetes, bukan ngehabisi.”

Arlen menghela napas.

“Masalahnya… yang kayak gitu justru lebih berbahaya.”

Najla tersenyum miring.

“Nah… berarti Abang udah ngerti.”

---

Sementara itu—

Di atap gedung 20 lantai, beberapa kilometer dari rumah Arlen.

Angin subuh membawa bau hujan terakhir tadi malam.

Kairo berdiri bersandar pada antena tower, mantel hitamnya berkibar pelan. Tangan kanannya masih diperban—bekas hantaman Arlen.

Lalu terdengar langkah kaki di belakangnya.

Tanpa menoleh, dia sudah tahu siapa.

“Dia kuat?” suara itu tanya.

Suara wanita. Datar. Dingin. Lebih tajam dari malam.

Kairo tersenyum.

“Lebih dari yang tertulis di laporan.”

Wanita itu berhenti di sampingnya.

Rambut panjangnya seputih salju, tatapan matanya seperti es beku yang sudah melihat banyak kematian.

Namanya:

Seraph.

Pemburu tingkat atas dari organisasi yang sama yang dulu menghancurkan keluarga Arlen dan Najla.

“Jadi rumor itu benar,” Seraph bergumam.

“Apa?”

“Trah api itu belum padam.”

Kairo menatap lampu kota yang mulai meredup, digantikan pagi.

“Dan sekarang dia punya alasan baru buat menyala.”

Seraph menatapnya.

“Kamu mau berpihak?”

Kairo tersenyum kecil, langkahnya berjalan melewati Seraph.

“Saya cuma mau lihat akhir ceritanya.”

Seraph berdiri sendirian di atap itu, memandangi kota yang mulai bangun.

Lalu dia mengucap, hampir seperti janji:

“Kalau begitu… semoga dia siap. Karena organisasi tidak akan kirim negosiator lagi.”

Hening.

Angin berembus.

“Selanjutnya…” katanya pelan,

“Yang datang adalah algojo.”

---

Kalimat itu dibawa angin.

Menjelma terlalu jauh dari telinga Arlen.

Tapi takdir selalu punya cara untuk sampai.

1
아미 😼💜
semangat update nya thor
Freyaaaa
🤩🤩🤩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!