Dikhianati dan difitnah oleh selir suaminya, Ratu Corvina Lysandre terlahir kembali dengan tekad akan merubah nasib buruknya.
Kali ini, ia tak akan lagi mengejar cinta sang kaisar, ia menagih dendam dan keadilan.
Dalam istana yang berlapis senyum dan racun, Corvina akan membuat semua orang berlutut… termasuk sang kaisar yang dulu membiarkannya mati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Keesokan harinya, suasana istana Ratu kembali terasa tenang. Pagi itu Corvina sedang membaca laporan keuangan istana ketika Cesie, pelayan kepercayaannya, datang menghampirinya dengan wajah tegang.
“Yang Mulia, ada hal yang perlu Anda ketahui,” katanya ragu.
“Tentang apa? Bicaralah!” katanya yang masih sibuk membuka halaman di buku laporan itu.
Cesie menelan ludahnya sebelum bicara. “Lady Meriel … dia tidak dibawa ke penjara seperti perintah semalam. Ia telah kembali ke istana pribadinya.”
Suara kertas di tangan Corvina berhenti. Ia menatap Cesie lama, seolah memastikan ia tidak salah dengar. “Apa kau yakin?”
Cesie mengangguk cepat. “Ya, Yang Mulia. Saya mendapat kabar dari pelayan istana Lady Meriel langsung. Lady Meriel bahkan mendapat penjagaan tambahan.”
Corvina menutup bukunya dengan keras, lalu berdiri. “Baik. Bersiaplah. Aku akan menemui Kaisar sekarang.”
"Tapi ini masih terlalu pagi untuk berkunjung, Yang Mulia." ujar Cesie cemas.
"Aku tak bisa menunggu, Cesie." Corvina melangkah dengan langkah yang gontai, di ikuti oleh Cesie dan beberapa pelayan lain nya.
Tak lama kemudian, ia sudah berdiri di ruang kerja Cassian. Sang Kaisar tampak terlihat tenang, duduk di balik meja kerjanya, seolah tak terjadi apa-apa.
“Kenapa Meriel tidak dipenjara?” tanya Corvina tanpa basa-basi setelah berdiri di depan Cassian.
Cassian menatapnya, lalu menghela napas pendek. “Karena dia sedang mengandung.”
Kata itu menghantam udara seperti petir. Untuk sesaat Corvina tidak bergerak, hanya menatap Cassian dengan mata yang perlahan mengeras.
“Ulangi,” katanya pelan.
Cassian menatapnya lurus. “Meriel mengandung. Tabib sudah memeriksanya. Aku tidak akan membiarkan ibu dari anakku mendekam di penjara.”
Corvina tertawa kecil, tawa getir dan dingin. “Anakmu…” Ia menatap Cassian lama, seolah menimbang apakah pria itu benar-benar percaya pada kata-katanya sendiri.
“Selalu ada alasan untuk melindunginya, bukan?” bisik Corvina akhirnya. “Kali ini, alasan itu bahkan lebih kuat dari rasa keadilanmu?”
Cassian berdiri dari kursinya, nada suaranya tajam menahan emosinya. “Keadilan? Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini? Itu bukan penyelidikan, Corvina. Kau menjebak pelayannya. Semua itu cuma sandiwara.”
Corvina menatapnya lama, matanya berkaca tapi tidak goyah. “Sandiwara? kau anggap semua jerih payahku mengungkap pengkhianatan itu adalah sebuah sandiwara?”
Cassian mengeraskan rahangnya. “Kau selalu punya cara untuk membuat Meriel terlihat menyedihkan depan semua orang.”
Corvina melangkah mendekat, jarak mereka hanya tinggal sejengkal. “Aku tak perlu membuatnya seperti itu, Cassian. Bukanlah matamu sedikit, agar kau tahu siapa dia sebenarnya.”
Cassian diam, wajahnya kini menegang. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Corvina menatapnya tajam dan berkata dengan pelan, “Lucu, bukan? Kau melindungi wanita yang bahkan belum tentu mengandung darahmu.”
Kata-kata itu menghantam Cassian seperti tamparan. Ia maju selangkah dan mencengkeram lengan Corvina. “Jaga bicaramu.”
Corvina tak bergeming. “Atau apa? Kau akan membungkamku lagi? Silakan, Yang Mulia. Tapi kali ini bukan cuma aku yang tahu siapa Meriel sebenarnya.”
Cassian terdiam, napasnya memburu. Ia melepaskan genggamannya perlahan. “Kau semakin berubah, Corvina.”
Corvina tersenyum tipis, ada kegetiran di bibirnya. “Tidak, Cassian. Aku tidak pernah berubah, aku hanya berhenti jadi perempuan bodoh yang menunggu belas kasihan suaminya.”
Ia berbalik, melangkah menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi. “Lindungi Meriel kalau kau mau. Tapi ingat, terkadang anak yang kau kira anugerah justru awal dari kehancuranmu.”
Pintu menutup pelan, tapi gema langkah Corvina masih terasa di ruangan. Cassian masih berdiri diam, menatap kosong ke arah pintu, sementara tangannya masih bergetar entah karena marah, takut, atau karena sesuatu yang lebih dalam, yaitu penyesalan.
Cassian duduk kembali, tubuhnya berat seolah semua tenaga terkuras. Di luar, langit mulai memerah, pertanda fajar hampir tiba tapi ruangan itu tetap gelap, hanya diterangi cahaya lilin yang gemetar seperti napasnya sendiri.
“Yang Mulia?” suara pelayan mengetuk pelan. “Apakah Anda ingin sarapan disiapkan?”
Cassian menatap api lilin di depannya, diam tak menjawab. Setelah beberapa detik, ia berkata lirih, “Tidak. Pergilah.”
Begitu pintu tertutup, Cassian menunduk, menekan pelipisnya. Kata-kata Corvina masih berputar di kepalanya, setiap kata yang diucapkannya menusuk begitu dalam.
Ia tahu Corvina benar.
Ia tahu Meriel bukan malaikat seperti yang ia ingin percayai.
Tapi entah kenapa … di hadapan gadis itu, ia merasa nyaman, ia bisa berpura-pura. Ia bisa melupakan beban tahtanya seolah dirinya masih manusia biasa.
Namun kini, dengan Corvina menantangnya secara terang-terangan, segalanya terasa retak. Ia menggenggam surat laporan di mejanya, laporan tentang “pengkhianatan” Felix, hasil penyelidikan yang diatur oleh Corvina dan Theon. Di bawahnya, ada segel istana Ratu.
Cassian menatap segel itu lama. Lalu, dengan satu helaan napas berat, ia menyalakan lilin baru dan mulai menulis perintah untuk orang kepercayaannya yang ia utus untuk melaporkan setiap gerak-gerik Corvina dan Theon, dengan tangan gemetar.
“Jika ini permainanmu, Corvina,” gumamnya pelan, “aku akan ikut bermain. Tapi jangan salahkan aku bila aku yang menulis akhir ceritanya.”
Di luar kamar, langkah kaki Meriel terdengar perlahan mendekat. Ia mengetuk pelan, suaranya lembut dan manja.
“Yang Mulia? Boleh Meriel masuk?”
Cassian tidak langsung menjawab, ia hanya menatap pi tu itu. Dan untuk pertama kalinya, tatapannya tampak kosong, benar-benar kosong, seperti pria yang tak tahu lagi siapa musuh dan siapa yang ia cintai.
bertele2