Carmila harus menghadapi kenyataan pahit: suaminya membawa selingkuhan ke rumah, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Pengkhianatan dari dua orang terdekatnya ini menghancurkan hati Carmila yang selama ini telah berjuang menjadi istri dan nyonya istana yang sempurna.
Dalam keterpurukannya, Carmila bertemu dengan Pangeran Kedua Kekaisaran, dan tanpa ragu mengajukan sebuah hubungan kontrak dengannya.
Apakah Pangeran Kedua itu akan menerima tawarannya, atau menolak secara dingin? Keputusannya akan menentukan arah permainan balas dendam Carmila, sekaligus membuka pintu pada skandal dan intrik yang tak terduga.
Revisi berjalan yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu permintaan
“Yang Mulia Duchess dan Pangeran Kedua sudah saling mengenal sejak tiga tahun lalu,” ucap pria itu hati-hati. “Itu terjadi tak lama setelah pernikahan Anda, Yang Mulia.”
Sejak saat itu, keduanya diam-diam menjalin hubungan terlarang. Bahkan, mereka sering berdua saja di vila milik keluarga kerajaan.
“Ayah saya dulu yang bertugas mengurus vila itu,” lanjutnya. “Meski sekarang beliau sudah berhenti.”
“Yang kau maksud… itu benar adanya?” suara Valerian terdengar berat.
“Benar, Yang Mulia.”
Valerian terdiam sesaat. Napasnya memburu.
“Saya juga terkejut ketika mendengar berita itu,” pria itu menunduk, suaranya gemetar. “Hubungan mereka sudah berlangsung lama, tapi sekarang mereka berpura-pura seolah baru menjalani hubungan..."
BRAK!
Valerian menggebrak meja, Tubuhnya menegang menahan emosi.
“Pantas saja, semuanya terasa aneh sejak awal,” gumamnya dingin. “Kalau mereka memang tak bersalah, untuk apa menyembunyikan pertemuan pertama mereka?”
Namun, tubuh Valerian yang sempat bergetar karena amarah perlahan mulai kehilangan tenaganya.
Meskipun sudah menduga, fakta ini tetap mengejutkan. Ia sama sekali tidak menyangka Carmilla sudah berselingkuh sejak masa bulan madu mereka.
Masa-masa itu seharusnya jadi yang paling bahagia. Ia masih ingat jelas bagaimana Carmilla tersenyum setiap hari, mengatakan betapa bahagianya hidup bersama dirinya…
Sementara di saat yang sama, ia diam-diam pergi ke vila bersama pria lain.
Valerian hanya bisa tertawa sinis.
Dan sekarang, wanita itu berani menudingnya sebagai pengkhianat, mengusirnya seolah ia yang bersalah.
"Aku punya satu permintaan." Valerian menatap pria yang duduk di hadapannya. Ia tidak menyadari bahwa pria itu sedari tadi telah mengamatinya dengan saksama.
"Maukah Anda bersaksi di pengadilan mengenai fakta yang baru saja Anda ceritakan?"
"P-p-pengadilan?"
"Ya. Sebenarnya, aku sedang mempersiapkan perceraian dengan Carmilla. Jika berlanjut ke gugatan, akan ada persidangan. Saat itu, datanglah sebagai saksi dan buktikan bahwa perselingkuhan mereka sudah terjadi sejak lama."
“Maaf, Yang Mulia… tapi itu agak sulit. Para pekerja istana terikat sumpah untuk menjaga kerahasiaan. Kalau aku sampai mengatakan hal seperti itu sembarangan…”
"Bukankah yang menjadi pelayan istana itu ayahmu?" Valerian memotong perkataannya dengan nada membujuk. “Ayahmu sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Kau hanya perlu mengatakan bahwa kau kebetulan melihatnya saat ikut berkunjung ke vila bersama beliau. Bukankah begitu lebih mudah?”
“Tapi tetap saja…” pria itu menunduk ragu, suaranya melemah.
“Jika sampai terjadi masalah, aku yang akan menanggung semuanya,” ujar Valerian tegas. “Kesaksianmu sangat penting bagiku.”
Ia lalu meraih kedua tangan pria itu, menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Tolonglah. Setelah persidangan selesai, aku akan memberikan imbalan yang pantas. Aku janji.”
Pria itu menatap Valerian dengan mata yang mulai goyah.
......................
Beberapa saat kemudian, Valerian keluar dari kedai kopi dengan senyum puas di bibirnya.
Kata-kata pria yang baru saja ia temui masih terngiang jelas di kepalanya.
"Baiklah, kalau begitu."
Setelah sempat menunjukkan keraguan, pria itu akhirnya mengangkat kepala, seolah sudah mengambil keputusan.
"Apa Yang Mulia benar-benar bisa menjamin keselamatanku?"
"Tentu. Aku akan memastikan tidak ada yang berani menyentuhmu. Lagi pula, aku tahu kau hanya berusaha mengatakan kebenaran."
Pria itu menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. "Sebenarnya, aku juga sudah lama merasa kasihan pada Anda, Yang Mulia. Bertahun-tahun hidup bersama wanita seperti itu tanpa sekalipun berpaling… itu sudah lebih dari cukup membuktikan ketulusan Anda."
Pria itu menunjukkan ekspresi simpati, seolah memahami kesulitan Valerian."Baiklah, saya akan membantu Anda. Tapi pastikan imbalannya harus sesuai."
"Tentu saja. Aku akan menepatinya."
Karena tak bisa menahan rasa lega, Valerian berdiri dan spontan memeluk pria itu dengan antusias.
Mengingat momen itu, Valerian kini berhenti sejenak di jalanan yang di terangi cahaya senja. Sebuah tawa lolos dari bibirnya.
"Hahaha!"
Akhirnya, dia menemukan bukti. Carmilla pasti tidak menyangka Valerian akan berhasil menemukannya.
Segala sesuatu yang tak ia duga, kini terwujud di tangan Valerian sendiri.
'Mungkin benar, Tuhan tidak pernah benar-benar membiarkan seseorang hancur begitu saja,' pikirnya sambil tersenyum tipis.
Semua kecemasan dan kesulitan yang ia rasakan selama ini seolah hilang begitu saja.
'Lihat saja, aku akan memberimu pelajaran yang setimpal.'
Kini, Valerian akhirnya siap untuk melancarkan serangan balasan kepada Carmilla.
......................
"Cih, benar-benar."
Sebuah surat baru saja tiba. Itu adalah surat gugatan cerai yang dikirimkan oleh Valerian.
Ini terjadi bahkan sebelum tenggat waktu dua minggu—yang diberikan Carmilla secara lisan untuk perceraian damai—berakhir.
Ia menatap tumpukan dokumen itu dengan senyum miring. “Siapa yang memberinya keberanian untuk menuntutku lebih dulu?”
Mungkin pria itu merasa sudah punya cukup bukti untuk menjatuhkannya.
Namun semakin ia membaca, semakin konyol isi dari surat tersebut.
Valerian menuduh bahwa kehancuran rumah tangga mereka adalah kesalahan Carmilla. Tuduhan itu saja sudah cukup membuatnya ingin tertawa. Tapi bagian yang paling membuat darahnya mendidih adalah tuntutan ganti rugi yang ditulis di dalamnya.
Valerian meminta delapan puluh persen saham dari bisnis kosmetik milik Carmilla—perusahaan yang sepenuhnya berdiri atas namanya sendiri. Alasannya, karena ia mengaku menderita tekanan mental akibat “perselingkuhan” Carmilla.
Yang lebih konyol lagi, di dalam berkas itu disebutkan bahwa selama mereka bekerja sama, Carmilla kerap memakinya dan membuatnya tertekan secara emosional.
Sungguh tuduhan yang terdengar seperti sandiwara murahan.
Lucunya, dalam dokumen yang sama, Valerian tetap mencantumkan bahwa uang mahar yang dibawanya saat menikah akan tetap menjadi hak pribadinya sesuai hukum yang berlaku.
Tentu saja—ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk tetap memastikan dirinya diuntungkan.
“Luar biasa sekali kau, Valerian."
Namun, semua ini berjalan seperti yang diinginkan Carmilla.
Ia memang mengharapkan Valerian salah paham. Mengira bahwa Carmilla dan Alistair berselingkuh lebih dulu, dan meyakini kebohongan itu tanpa ragu.
Biarlah begitu. Biarkan ia menggali kuburnya sendiri dengan tangan penuh keyakinan itu.
Membayangkan Valerian nanti duduk di ruang sidang dengan wajah kebingungan saja sudah cukup membuat Carmilla tersenyum puas.
Ia bahkan tak sabar ingin melihat hari itu tiba. Semakin cepat pengadilan di gelar, semakin baik.
“Elara, siapkan ruang kerjaku,” ujarnya tenang. “Dan kirim surat pada Liam agar segera datang. Aku ingin membahas jawaban atas gugatan ini malam ini juga.”
“Baik, Nyonya.”
Begitu Elara keluar, Carmilla menyesap tehnya perlahan sambil menatap kosong ke arah jendela.
Sudut bibirnya terangkat samar.
Sidang perceraian itu… akhirnya akan segera mulai.
......................
Waktu berlalu dengan cepat.
Tanpa terasa, hari sidang perceraian itu pun tiba.
Beberapa hari terakhir ia sibuk menyiapkan segala sesuatu bersama Liam—mengumpulkan bukti, menata berkas, dan memastikan setiap detail di pihaknya tak menyisakan celah sedikit pun. Mereka juga telah menemui para saksi dan menyiapkan pernyataan tertulis yang dibutuhkan untuk memperkuat posisi mereka.
Ia juga memeriksa dengan teliti apakah semua bukti tersebut cukup untuk membantah klaim yang akan diajukan oleh pihak Valerian.
Setelah melewati hari-hari yang padat dan melelahkan, akhirnya pagi yang dinanti itu datang.
“Cuacanya bagus hari ini,” ujar Liam sambil melangkah keluar dari gerbang bersama Carmilla.
Sinar matahari pagi menyambut mereka dengan hangat, menembus dedaunan yang bergoyang lembut di halaman depan.
“Pertanda baik, mungkin hasil sidang juga akan berpihak pada kita,” ucapannya santai.
“Semoga saja,” balas Carmilla pelan.
Liam menoleh, menatapnya heran. “Kenapa? Masih gugup?”
“Entahlah,” ujarnya sambil menarik napas pelan. “Aku hanya ingin semuanya cepat selesai.”