Ini adalah kisah tentang seorang ibu yang terabaikan oleh anak - anak nya di usia senja hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidup nya.
" Jika anak - anak ku saja tidak menginginkan aku, untuk apa aku hidup ya Allah." Isak Fatma di dalam sujud nya.
Hingga kebahagiaan itu dia dapat kan dari seorang gadis yang menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Sebenarnya
Hari dimana Fatma berada di panti jompo.
*****
Fatma sambil mengendap - endap dengan langkah pelan dan pasti. Berjalan mendekati gerbang panti. Para suster sibuk dengan aktifitas nya masing - masing sampai tidak ada yang memperhatikan Fatma bergerak keluar. Dan saat sampai di gerbang, Fatma pun berlari menjauhi gerbang panti.
Mata Fatma yang tajam menangkap pemandangan beberapa anak muda yang sedang asyik bermain petasan. Tawa mereka terdengar riang, namun bagi Fatma, suara letusan petasan itu bagaikan dentuman yang mengancam ketenangan.
Tiba-tiba, sebuah petasan dilemparkan terlalu jauh dan mengarah ke mobil yang terparkir tak jauh dari tempat Fatma berdiri.
Instingnya untuk bertahan hidup segera mengambil alih. Fatma yang semula terpaku, kini berlari kencang menjauh dari sumber bahaya itu. Detik berikutnya, suara ledakan keras terdengar, disusul asap tebal yang membumbung tinggi dari mobil yang kini menjadi puing.
Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena larinya, tapi juga ketakutan yang masih menggema di benaknya. Dia terus berlari sampai akhirnya tiba di taman yang sepi.
Fatma duduk di bawah rindangnya pohon, mengatur napas, mencoba menghapus gambaran ledakan dan suara petasan yang masih terngiang di telinganya.
Hingga sore menjelang Maghrib, Fatma pun bertemu dengan Kanaya dan Kanaya dengan lapang dada membawa Fatma ikut pulang dengan nya ke kost.
*****
*
*
*
" Mas kenapa? Ada masalah di kantor ?" Tanya Ariel saat Aris masuk ke dalam ruma tanpa salam dan melempar tas nya ke sembarang arah.
Aris terduduk lesu di sofa. Dia tertunduk menutup wajah murung nya. Lalu mengangkat wajah nya dan mengusap nya dengan kasar.
" Ada apa?" Tanya Ariel lagi.
Meskipun memiliki banyak masalah, Aris tidak pernah membawa masalah itu ke rumah. Tapi hari ini Ariel benar - benar melihat Aria seperti memiliki masalah yang sangat berat.
" Ibu masih hidup, Riel." Ujar Aris singkat.
Ariel tak memberikan reaksi apa pun. Wajah nya terlihat datar dan biasa. Menanggapi ucapan Aris seperti angin lalu saja.
Ariel tak menghiraukan ucapan Aris. Dia kembali memainkan ponsel nya membuka aplikasi sosial media.
" Apa kamu dengar mas, Ariel? Ibu masih hidup." Teriak Aris
Suara Aris menggema di dalm ruangan. Ariel yang kaget sontak menjatuhkan ponsel nya ke lantai.
" Aku tahu mas pasti rindu dengan ibuk. Tapi jangan bicara sembarangan. Ibu sudah meninggal. Memang bisa orang yang sudah meninggal hidup lagi?" Protes Ariel cuek.
Aris menatap tajam pada Ariel. Wajah nya memerah karena Ariel tidak mempercayai ucapan nya.
Aria menarik nafas nya dalam. Menccoba meredam emosi nya yang siap keluar untuk meledak.
" Ibu masih hidup, Ariel. Mas sudah bertemu ibuk tadi. Ibuk tinggal bersama Kanaya sekarang." Ucap Aris datar.
" Kanaya? Calon istri kamu itu, mas?" Tanya Ariel tak percaya.
Aris mengangguk pelan mengiyakan nya.
" Bagaimana mungkin ibu masih hidup? Kita yang memakamkan ibuk, mas. Kita juga yang melihat jenazah ibuk di rumah sakit." Bantah Ariel.
" Tapi kita tidak bis melihat nya dengan jelas kan? Wajah jenazah itu tidak jelas karena luka bakar. Sampai kita percaya dengan mereka, jika itu adalah mayat ibuk. Yang nyata nya ibuk masih hidup." Jelas Aris.
" Tapi bagaimna bisa, mas? Ibuk masih hidup? Kenapa ibuk tidak pulang? Kenapa malah tinggal dengan calon istri kamu itu? Aku tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang."
" Entah lah, Riel. Mas juga bingung sekarang. Mas bahkan berpikir jika ini hanya mimpi. Dan sebentar lagi mas akan terbangun. Tapi nyata nya tidak... Ibuk begitu jelas, Riel. Berdiri di depan mas. Menatap marah dan benci pada mas." Sahut Aris frustasi.
Aris kembali tertunduk dalam dilema nya. Sedangkan Ariel tak lagi bisa protes. Otak nya di putar sekers mungkin untuk memikirkan apa yang di dengar dari Aris jika ibu mereka masih hidup.
*
*
*
Kini Kanya sudah tahu apa sebenar nya yang terjadi pada Fatma sebelum mereka bertemu. Dan dia tinggal mencari waktu yang tepat saja untuk menjelaskan nya pada Aris.
Kanaya terus melangkah menuju jalan pulang setelah puas berjalan untuk menenangkan diri nya. Dia perlu waktu untuk sendiri memikirkan kelanjutan hubungan nya dengan Aris. Hubungan yang baru saja ingin dia mulai.
" Aduh..." Desis Kanaya.
Kanaya memegangi dada nya sebelah kiri saat rasa nyeri itu kembali terasa.
" Ya Allah, aku mohon jangan sekarang. Jangan sekarang ya Allah. Aku tidak ingin orang - orang melihat aku dalam keadaan lemah. Kuat kan aku ya Allah." Gumam Kanaya lirih.
Kanaya terus berjalan ditepi jalan. Menguatkan tubuh nya mencoba meredam rasa sakit itu.
" Astaghfirullahaladzim." Gumam Kanaya lagi.
Rasa nya terasa semakin sakit sampai membuat Kanaya terpaksa duduk di kursi pinggir jalan.
" Astaghfirullahaladzim... Astaghfirullahaladzim..." Ucap Kanaya beristighfar berkali - kali, berharap rasa sakit itu hilang dengan segera.
" Huh... Sendirian terus kamu." Desah Zeyden ikut duduk di sebelah Kanaya.
Kanaya menoleh dengan kaget karena kedatangan Zeyden.
" Pertama kali bertemu, kamu jalan sendiri. Terus menunggu sendiri di rumah sakit. Sekarang... Malah duduk sendiri. Nggak punya pasangan ya kamu?" Celetuk Zeyden mencoba mencair kan suasana.
" Saya lagi pengen sendiri, mas. Mending mas pergi deh." Usir Kanaya.
" Memang kursi ini punya kamu? Tidak kan?"
" Kalau begitu biar saya saja yang pergi."
Kanaya mencoba bangkit, namun kakinya gemetar dan lemas tak kuasa menopang berat tubuhnya.
Dengan tiba-tiba, ia terjatuh ke dalam pelukan Zeyden yang kuat. Kejadian itu membuat mereka berdua sama-sama merasakan detak jantung yang cepat karena gugup.
" Maaf, mas." Ujar Kanaya.
Kanaya tak mampu lagi untuk berdiri dan terpaksa kembali duduk, menahan gejolak perasaan yang membingungkan.
" Sudah duduk saja. Badan kamu saja nggak mau menjauh dari saya. Ngapain mengelak." Goda Zeyden.
" Rasa nya malas sekali harus duduk dekat mas sok akrab ini. Tapi aku nggak punya pilihan. Mana kaki aku lemes banget lagi. Belum lagi dada, yang makin sakit." Bathin Kanaya.
" Kamu ngapain di sini?" Tanya Zeyden.
" Cuma cari angin sebentar." Jawab Kanaya cuek.
" Enak ya jadi kamu. Bisa santai - santai. Cari angin. Punya quality time di sore hari gini. Beda banget sama saya. Saya itu sampai nggak punya waktu untuk diri saya sendiri. Saya terlalu sibuk kerja. Sampai saya kadang mengabaikan kesehatan saya sendiri."
Zeyden mulai mengarang cerita versi nya untuk membuat Kanaya nyaman duduk dekat nya.
" Saya suka iri sama orang - orang kayak kamu. Kadang mikir apa mereka punya uang yang cukup sampai mereka bisa punya waktu untuk santai. Membuang - buang waktu rasa nya tanpa bekerja." Tambah Zeyden.
" Nggak usah lebay mas ngomong nya. Nggak usah sok merasa paling susah. Sampai harus kerja mati - Marian buat cari uang. Kalau mau ngobrol, ngobrol aja. Nggak usah pakai bohong." Sahut Kanaya protes. Karena dia bisa melihat jika Zeyden bukan lah orang seperti Kanaya yang harus kerja dulu baru punya uang.
" Kamu nggak percaya sama saya? Kamu mau nuduh saya berbohong?"
" Memang iya kan?" Tuduh Kanaya.
" Semua orang yang dengar juga nggak bakal percaya dengan cerita bohong nya mas. Gimana bisa mas bilang kalau mas iri dengan orang punya waktu santai. Membuang waktu nya tanpa bekerja jika jam yang mas pakai saja bisa bayar gaji saya selama satu tahun." Celetuk Kanaya.
Zeyden terpaku malu. Dia menarik tangan nya dan melipatkan nya ke dada. Niat ingin agar bisa lebih lama dengan Kanaya malah membuat Kanaya jadi kesal sama dia.
" Memang nya saya bilang kalau saya ini orang susah? Nggak kan?" Elak Zeyden.
" Ya Allah... Kenapa semakin sakit sih? Aku udah nggak kuat." Bathin Kanaya merintih.
" Saya kan cuma bilang kalau saya iti sama orang yang punya banyak waktu santai." Jawab Zeyden.
" Itu sama saja bapak mau bilang kalau bapak itu harus kerja terus biar punya uang banyak." Sahut Kanaya tersenyum miring, menatap Zeyden yang terlihat menatap nya dengan serius.
Zeyden meneguk Saliva nya berat. Dia tak kuasa menatap kedua mata Kanaya yang mengeluarkan sorot mata yang begitu dingin.
" Kamu terlalu berburuk sangka dengan saya, Naya. Padahal kamu tidak tahu apa yang sebenar nya ingin saya katakan pada kamu kan? Jangan menilai orang dari cover nya saja. Bisa saja kan Jawa mahak yang saya pakai ini pemberian orang lain. Hadiah misal nya." Elak Zeyden lagi.
Kanaya terus mendengar kan Zeyden seiring dengan kepala nya yang tiba - tiba terasa berdenyut nyeri. Wanita itu meremas dada nya saat pandangan nya mulai kabur.
" Naya." Pekik Zeyden, yang sontak menahan tubuh Kanaya saat ambruk ke arah Zeyden.
" Naya, kamu kenapa?"
Zeyden menopang tubuh Kanaya dengan sebelah tangan nya. Mencoba menepuk lembut pipi Kanaya saat Zeyden melihat ada darah yang keluar dari hidung Kanaya.