Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbukanya Pintu Besi Tersembunyi
Bian terbangun sepenuhnya. Kilatan wajah pucat di pecahan cermin terakhir yang dilihat Tiara telah hilang, digantikan oleh pantulan langit-langit kamar yang gelap.
Jaga berdiri di ambang pintu, kaku dan diam, memegang sapu lidi panjang. Cahaya lampu kamar yang redup menyinari posturnya yang besar.
"Jaga? Ada apa?" tanya Bian, suaranya dipenuhi keterkejutan.
Jaga tidak menoleh, matanya terpaku pada lantai. Dengan gerakan pelan yang menyiratkan kepastian, ia menyapu pecahan cermin yang berserakan, lalu berhenti tepat di depan sehelai rambut hitam panjang yang tergeletak di antara serpihan kaca. Jaga menunduk, mengambil rambut itu dengan ujung sapu lidi, lalu memasukkannya ke dalam saku kemejanya.
Tiara, yang masih gemetar di pelukan Bian, melihat tindakan itu sebagai konfirmasi terburuk, Jaga adalah kaki tangan Mbah Pawiro. Ia membersihkan barang bukti.
"Kau melihat arwah itu, kan?" desak Tiara, menatap Jaga. "Kau tahu siapa dia, dan kau membiarkannya masuk!"
Jaga akhirnya menoleh. Ekspresinya tetap tanpa emosi, tetapi ada kilatan yang sangat cepat, mungkin rasa sakit, mungkin peringatan di matanya, sebelum ia kembali fokus pada pekerjaannya. Ia menyelesaikan menyapu pecahan, mengumpulkan semuanya ke dalam bungkusan kain, dan kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berjalan keluar.
"Lihat! Dia tidak mau bicara," kata Tiara, suaranya bergetar. "Dia tahu. Dia pasti disuruh Mbah Pawiro untuk mengawasi kita."
Bian mencoba menenangkan istrinya. "Tenang, Tiara. Dia bisu. Dia hanya melakukan tugasnya. Mungkin dia dengar suara pecahan dan datang untuk membersihkan. Rambut itu bisa jadi rambut siapa saja yang pernah tinggal di sini."
Tetapi di dalam hatinya, Bian tahu itu tidak benar. Tindakan Jaga terlalu cepat dan fokus. Mengapa seorang penjaga rumah biasa mengantongi rambut alih-alih membuangnya bersama sampah kaca?
...******...
Pagi tiba dengan kabut tebal yang menyelimuti Desa Raga Pati. Rumah itu terasa lebih dingin dan sunyi. Pasangan itu makan pagi dalam diam. Bian mencoba menghubungi Kepala Desa Rahmat untuk menanyakan tentang Jaga, tetapi telepon selulernya mendadak kehilangan sinyal.
Setelah sarapan, Bian dan Tiara memutuskan untuk memeriksa apa yang dilihat Jaga di malam hari, jendela yang terbuka. Jendela itu memiliki kait kuningan yang berkarat, sulit dibuka, apalagi didorong angin.
"Jelas ada yang membukanya," ujar Bian, memeriksa kait yang bengkok. "Bukan angin. Seseorang masuk dari sini."
"Atau... sesuatu," koreksi Tiara, suaranya lirih. Ia berjalan menuju tempat cermin itu pecah. Di lantai, meskipun sudah dibersihkan oleh Jaga, Tiara melihat jejak samar, tiga tetes cairan cokelat kehitaman yang mengering.
"Ini... darah?" tanya Tiara, berjongkok.
Bian menghampirinya, mengerutkan hidung. "Sepertinya noda. Cokelat tua. Mungkin cat yang mengering?"
Saat Bian hendak menyentuhnya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari ruang depan.
Mereka bergegas keluar. Di ambang pintu, Jaga berdiri, menghalangi pandangan mereka. Di tangan Jaga, ada sebuah sapu lidi yang panjang dan sebuah wadah kecil berisi air garam pekat.
Jaga tidak menatap mereka. Ia hanya melirik ke lantai tempat noda itu berada, lalu kembali fokus pada sapu lidi di tangannya. Perlahan, ia mulai mencelupkan ujung sapu ke air garam, lalu menggunakannya untuk menyapu dan membersihkan lantai marmer di seluruh ruang depan.
"Jaga, apa yang kau lakukan?" tanya Bian, frustrasi. "Kenapa kau selalu membersihkan tanpa izin?"
Jaga mengabaikan Bian, gerakannya telaten dan tenang. Ia menyapu setiap sudut, menyentuh kaki kursi, dan menyeka bingkai pintu. Tindakannya tampak seperti upaya gila-gilaan untuk menyucikan rumah, tetapi bagi Tiara, itu terlihat seperti ritual penguasaan yang dilakukan oleh kaki tangan Mbah Pawiro.
"Dia sedang menyegel sisa-sisa energi itu," bisik Tiara pada Bian. "Dia berusaha menutup jejaknya agar kita tidak bisa melacaknya!"
Namun, tindakan Jaga selanjutnya membingungkan. Ketika ia mencapai ambang pintu kamar tidur utama, tempat Tiara melihat bayangan arwah wanita di pecahan cermin, Jaga berhenti. Ia menoleh ke arah Bian.
Dengan tangan kirinya, Jaga membuat gerakan cepat ke arah bingkai pintu, seolah-olah menggaruk sesuatu yang tak terlihat. Kemudian, ia mengeluarkan benda yang Bian lihat di malam hari dari sakunya, sehelai rambut hitam panjang yang tadi dikumpulkannya.
Dengan mata penuh ketegasan yang tak terucapkan, Jaga menempelkan rambut itu ke bingkai pintu, melipatnya, dan menutupinya dengan secuil kecil lilin lebah berwarna kuning. Setelah itu, ia melangkah mundur, menatap Bian dengan tatapan yang sangat intens, sebuah tatapan yang menyiratkan, sudah kulakukan tugas kakekmu. Jangan dibuka.
Jaga berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan sapu lidi dan air garam di dapur.
"Apa-apaan itu?" Bian maju, menyentuh lilin lebah itu.
"Jangan disentuh!" Tiara meraih tangan Bian. "Itu pasti jimat pengunci! Dia mengunci energi arwah itu agar tidak bisa masuk lagi, tapi dia juga mengunci kita di sini!"
Bian melihat Jaga meninggalkan petunjuk aneh, tetapi Tiara melihat ritual jahat.
Mereka memutuskan untuk memeriksa seluruh rumah, mencari tahu apa lagi yang mungkin disembunyikan Jaga atau kakek Bian. Mereka naik ke loteng yang lembab dan berdebu.
Di sana, mereka menemukan kembali kotak kayu berukir yang berisi cermin pecah itu. Kali ini, Tiara memeriksa ukirannya dengan lebih teliti. Ukiran itu adalah rangkaian simbol yang menyerupai bahasa kuno. Di dasar kotak, ada sebuah ukiran yang lebih jelas: simbol mata tunggal yang dikelilingi oleh pola melingkar, simbol yang sama yang dilihat Tiara tercetak samar di telapak tangan Jaga saat ia memegang sapu lidi.
"Simbol ini," kata Tiara, menunjuk. "Itu seperti tanda kepemilikan. Mbah Pawiro pasti memberikan tanda ini pada semua bawahannya, termasuk Jaga."
Bian, sebaliknya, teringat akan peringatan Mbah Pawiro: Jaga mengerti apa yang tidak bisa kita mengerti.
"Tunggu, Tiara," ujar Bian, menarik napas dalam-dalam. "Jaga tidak menempelkan rambut itu di tempat lain, hanya di ambang pintu kamar kita. Dan dia mengunci jendela. Mungkin... dia mencoba melindungi kita. Rambut dan lilin itu mungkin penangkal yang dibuat kakek dan diberikan pada Jaga untuk menghentikan arwah itu masuk kamar kita."
Tiara menggeleng, air matanya mulai menggenang. "Kau hanya mencoba mencari logika, Bian! Tapi aku merasakannya! Ketika aku melihat pecahan cermin itu, aku merasa arwahnya tidak hanya di luar, tetapi di dalam diriku! Dan Jaga datang bukan untuk membersihkan, melainkan untuk menguasai rumah ini atas nama Mbah Pawiro!"
Pertengkaran itu terhenti ketika mereka mendengar bunyi aneh dari ruang bawah. Bunyi gesekan logam yang panjang.
Mereka bergegas turun. Ruangan depan tampak normal, tetapi bunyi itu berasal dari ruang tamu, tempat lemari ukir besar itu berada.
Mereka mendekati lemari ukir itu dengan hati-hati. Kunci lemari itu sudah lama hilang, dan pintu lemari terkunci rapat.
Namun, kini, kunci berkarat yang dipegang Bian untuk membuka pintu utama, tiba-tiba tersangkut di lubang kunci lemari itu.
Bian terkejut, mengambil kunci itu, lalu mencoba memasukkannya lagi. Kunci itu cocok! Kakek mereka sengaja membuat kunci rumah utama sama dengan kunci lemari ini.
Saat Bian memutar kunci, bunyi gerendel yang berkarat terbuka dengan klik keras.
Pintu lemari ukir itu terbuka perlahan, menampilkan ruangan yang sangat dalam dan gelap. Bukan tumpukan baju, melainkan sebuah pintu lain yang terbuat dari logam tebal, menyerupai pintu brankas tua, dan di permukaannya, terukir simbol yang sama dengan yang ada di kotak kayu dan telapak tangan Jaga.
Dari balik pintu logam itu, mereka bisa mendengar suara yang sangat jelas dan menakutkan.
Suara tangisan wanita yang diselingi dengan bunyi gerutuan menyerupai rantai yang diseret.
Tiara tersentak. "Itu dia! Arwah itu dikurung di sana!"
Bian memegang Tiara erat-erat. "Kakek menyembunyikan sesuatu yang mengerikan di sini. Ini sumber kutukan itu."
Saat mereka menatap pintu logam itu, sebuah bayangan cepat melintas di koridor. Bian menoleh, dan ia melihat Jaga berdiri di ujung koridor, menatap mereka dengan mata yang lebar, mata yang kini dipenuhi kengerian yang nyata, bukan lagi kebisuan yang tenang.
Jaga, yang selama ini dicurigai sebagai kaki tangan Mbah Pawiro, kini terlihat panik. Ia menggeleng keras-keras, sambil menggerakkan tangannya dalam isyarat yang jelas,
JANGAN. BUKA.
Jaga melangkah maju dengan tergesa-gesa, tetapi sebelum ia sempat mencapai mereka, sesosok bayangan hitam yang sangat cepat, jauh lebih cepat dan kuat daripada Jaga, melintas dari dapur.
Bayangan itu adalah Mbah Pawiro.
Mbah Pawiro muncul di belakang Jaga, dan dengan kecepatan yang tidak mungkin dimiliki orang setua itu, ia mengangkat sebuah tongkat kayu berukir dan memukulkannya tepat ke tengkuk Jaga.
Jaga roboh tanpa suara.
Mbah Pawiro kemudian berbalik ke arah Bian dan Tiara. Senyum licik dan dingin menghiasi wajah tuanya.
"Selamat datang, cucu Pranoto," bisiknya, suaranya terdengar gembira. "Ritual telah dimulai. Kakekmu mengunci iblis itu. Tapi kalian yang membukakan jalannya untuk kembali. Dan sekarang, giliran kalian yang akan menyempurnakannya."
Ia mengangkat tongkatnya, dan kini, Bian dan Tiara tahu, mereka terjebak. Terperangkap di antara sihir jahat, arwah yang menuntut balas, dan sebuah pintu logam yang baru saja mereka buka.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"