Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Ke Sekolah
Khalil menepati janjinya. Tentu membicarakan ini dengan Ayahnya dan kepala sekolah untuk segera mengusut kasus dengan tuntas. Tidak ada yang berubah setelah semua yang terjadi. Hanya saja saat semua orang yang merundung dirumahkan, ingatan tentang permainan itu hanya dirinya yang dapat.
“Huft”
Kenapa hanya dia yang mendapatkannya? Kenapa hany dia yang tersiksa disini? kenapa hanya dia yang berani untuk diberi ingatan gila ini?
“Semuanya sudah selesai, Aletha”
Khalil dapat merasakan kedatangan sahabatnya dengan hawa yang berbeda, tampak hangat bahkan setelah hembusan angin melewatkan suaranya, “Terima kasih atas semuanya dan maaf kalau selama ini selalu membuat kesalahan, gue bakal selalu nginget lo, Khal”
Khalil tersenyum, “semoga tenang di surga, Aletha”
“Heh brengsek! Kenapa malah kayak orang nggak punya temen gitu sih?”
Khalil berbalik. Menatap teman-temannya yang mulai mendekat ke arahnya, tentu dengan Hagian yang sudah lebih akrab dengan merangkul pundaknya.
“Cuman pengen cari udara seger”
“Jadi selama ini lo nggak dapat asupan udara segar?” sindiran Wira membuat semua orang tertawa. Kenapa tidak dari dulu, kenapa baru setelah Aletha pergi keadaan jadi lebih baik? Apa harus ada korban dulu sebelum semuanya jadi baik-baik saja?
“Khal, lo janji mau ceritain mimpi lo yang waktu itu, jadi siapa yang mati duluan?”
Khalil menatap Agil yang mulai penasaran tentang apa yang sempat dia ceritakan tempo hari. Tentang ingatan permainan yang hanya dirinya saya yang dapat, sementara yang lain, sepertinya Khalil tidak perlu menceritakan bahwa mimpi itu adalah perjalanan mereka yang nyata.
“Kalian mau denger?”
“Iyalah”
“Gue penasaran siapa yang bakal mati duluan”
“Siapa yang selamat?”
“Oke gue bakal ceritain”
Pada rooftop di sore hari. Bersama keramaian yang mereka ciptakan, Khalil menambah sensasi menengangkan yang seru. Dengan tambahan-tambahan yang menjadikan perkumpulan mereka semakin asik.
“Terima kasih, Aletha dan maaf karena harus membiarkanmu pergi lebih dulu”
-
Hari yang membosankan dengan manusia-manusia serius didalamnya. Mungkin akan tampak aneh karena ini benar-benar sesak, Khalil merasakan hari ini tampak begitu berat, dan tentu saja panjang. Mulai dari Jihan yang tidak sengaja menjatuhkan bukunya, mengakibatkan kericuhan yang menjadikannya dihukum.
Wira yang tidak bisa menjawab pertanyaan spontan dari guru ilmu alam dan berakhir satu kelas yang kena batunya, harus mengerjakan ulangan dadakan dari materi yang belum pernah dipelajari. Sampai ketua kelas yang katanya salah menjawab pertanyaan dikelas bahasa, padahal sejauh ini jawabannya aman aja.
Melelahkan, Khalil harap setelah ini semua akan lebih santai dan tidak menengangkan. Pria itu duduk dikursinya, sendirian. Entahkan disaat yang lain sibuk beristirahat, pria itu justru menyendiri dengan isi kepalanya sendiri.
“Kenapa betah banget?’
“Gue bosen banget, sumpek aja bawaannya. Gimana kalau habis ini kita dapet guru ngeselin lagi?”
“Dion bilang, habis ini jam kosong karena ada rapat”
Khalil berdecak kesal. Mengamati setiap orang yang masih sibuk dengan kegiatan mereka. tampak cerita seperti kemarin mereka tidak benar-benar mati.
“Lo kayak bukan cuman sumpek, kenapa sih? Masih kepikiran sama mimpi itu?”
Khalil hanya diam. Lagian percumah juga bicara dengan Agil. Dia tidak akan benar-benar paham dengan apa yang Khalil rasakan. Pria itu sangatlah merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukan teman-temannya. Seperti sebagaimana Arsya dan Intan yang duduk dikursi mereka, merenung tanpa sebab sejak jam pertama dimulai.
Apa mereka memiliki ingatan yang sama?
-
Khalil yang memukul meja sontak membuat Sadam tersentak, “Kenapa nggak bilang dari tadi?!”
“Kita kan jam kosong, jadi lebih baik habiskan energi kita sekarang” seru Sadan dengan senyum polosnya.
Bagaimana bisa dia menyuruh Khalil untuk mencari buku setelah kelas dimulai lagi? dengan kesal pria itu beranjak, disusul Sadam yang mengekor sampai berdiri tepat disebelahnya.
“Kenapa muka lo sekarang kayak burung bangau, bersikaplah biasa aja!”
Khalil mendengus, “Gue mau tidur, malah lo ganggu”
“Gue lihat juga dari tadi istirahat lo molor mulu!”
Tanpa banyak bicara dan membalas celotehan Sadam. Khalil beranjak lebih dulu menuju gudang perpustakaan, tempat dimana buku-buku kelas di simpan. Seperti bagaimana suruhan Dion untuknya sesekali, jadi Khalil tidak begitu kesulitan setiap dimintai bantuan, tapi agak kesal saja kalau mendadak seperti ini.
“Kita cari buku yang apa?”
Tidak ada suara, tepat dengan lampu yang tiba-tiba padam. Tidaak ada yang bisa dia lihat dan dengar kecuali kesunyian, “Dam! Jangan bercanda?!”
“Tunggu” Sadam menyalakan senter di ponselnya. Sempat membuat Khalil terkejut dengan memukul kepalanya, “Sakit!”
“Ya ngagetin aja sih!”
Sadam hanya terkekeh, “Tadi Dion nyuruh ambil buku fisika sama peminatan kimia”
Tepat saat mereka berdua sibuk mencari buku yang dibutuhkan. Khalil kembali tersentak dengan suara terompet dan lampu yang menyala, ‘Aish sialan!”
“Selamat hari kasih sayang sedunia!”
Hari kasih sayang? Sejak kapan dunia merayakan kasih sayang? Saat semua teman-temannya berseru gembira, bersama terompet yang mereka pegang dan beberapa cake mereka nikmati. Apa ini yang namanya hari kasih sayang? Saat Khalil merasa dirinya kosong di tengah keramaian orang-orang?
“Selamat hari kasih sayang, Khal”
Khalil tersenyum, mendapati Arsya menghadapnya dengan sebuah cake segenggam, “semoga tetap bahagia dan merasa dikasihi”
“Lo juga gitu?”
Dion yang berdiri tak jauh dari mereka hanya mengamati, bagaimaan perubahan sikap Arsya terhadap Khalil. Jauh berbeda saat bicara dengannya, Arsya tampak lebih bahagia sekarang. Ditengah kericuhan yang mereka ciptakan, ditengah kebahagiaan semua orang.
“Semoga”
“Tetap bahagia dan merasa dikasihi, Sya. Gitu caranya supaya kesannya lo nggak maksa kehendak dengan bilang semoga”
Arsya tersenyum, “Khal, makasih”
“Buat apa?”
Arsya menatap sekeliling, “semua yang bahagia dan Aletha, setelah ini kita akan tetap baik-baik aja, dan Aletha akan tenang di surga. Nggak ada game sialan itu lagi”
“Lo?”
Arsya mengangguk, sorot matanya dapat Khalil rasakan. Seperti Aletha, gadis ini benar-benar mirip Aletha. Senyum tipisnya, bagaimana dia bicara, wajahnya, cara dia memandang, “Gue kangen sama lo, Tha”
“Khal?”
Khalil tersenyum, “Lo juga, bahagia terus ya?”
Arsya menyodorkan cake ditangannya kedepan mulut Khalil. Disaksikan Dion ketika pria itu menerimanya dengan sukarela, “Pegel lama-lama”
Khalil tertawa sambil melahapnya, “enak”