Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Saat membuka pintu Dara dikejutkan dengan sosok Arkan yang tengah duduk manis di kursi rumahnya. Sebelum masuk tadi juga Dara susah heran dengan mobil yang terparkir di depan kontrakannya.
Di ruang kecil itu, Arkan tampak duduk santai di kursi plastik biru, dengan kaki bersilang dan tangan menggenggam gelas air mineral seolah rumah itu miliknya sendiri.
“Arkan?” suara Dara nyaris tercekat. Ia masih berdiri di ambang pintu, matanya menatap tak percaya. “Kamu ngapain di sini?”
Arkan menoleh pelan, senyum tipis muncul di wajahnya. “Oh, kamu udah pulang.”
Dara masih melongo. Ia menatap sekilas ke luar, memastikan ia tidak salah rumah. Tapi tidak ini memang kontrakannya. “Tunggu dulu… gimana kamu bisa masuk? Aku yakin banget udah ngunci pintu sebelum berangkat kerja.”
Arkan mengangkat alis santai. “Lewat jendela dapur.”
“Ha?!” Dara hampir menjerit. “Kamu… kamu masuk lewat jendela?!”
Arkan mengangguk kalem. “Hmm. Kuncinya longgar, jadi gampang dibuka dari luar. Tenang aja, aku nggak rusak apa-apa.”
Dara menatapnya tak percaya. “ tahu nggak itu namanya menerobos rumah orang?”
Alih-alih merasa bersalah, Arkan malah menatapnya tenang. “Kalau aku niat buruk, aku nggak bakal duduk di sini, lagi pula ngga ada hal yang bisa di ambil dari sini."
"Tadi aku nunggu di luar tapi kamu ngga muncul-muncul, karena aku capek ya terpaksa masuk lewat belakang"
"ohh ya, kamu belum makan malam kan. Kebetulan tadi aku masak banyak, sekalian aku bawain sama kamu"
Dara mendengus pelan. “Aku bisa urus diri sendiri. Aku nggak butuh kamu repot-repot datang dan bawa makanan segala.”
“Tenang aja masakanku dijamin enak kok dan ngga beracun?” potong Arkan tenang.
Dara diam dan memilih masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian dan mandi. Seharian bekerja membuat badannya sedikit lengket apalagi tadi pelanggan lumayan banyak yang datang.
Setelah mandi dan berganti pakaian Dara keluar dari kamarnya memastikan apa Arkan sudah pulang atau belum. Tapi yang dia lihat malahan Arkan sedang menata makanan yang dia bawa di atas piring.
Arkan yang melihat dara keluar langsung memanggil nya " Makan dulu, aku udah siapin nih sekalian susunya."
" Kamu ngga lupa minum susunya kan sama vitaminnya "
Dara tidak menjawab tapi memilih untuk duduk " ini untuk aku" Tanya nya sambil menatap Arkan sejenak. Jujur saja makanan yang dibawa Arkan sangat menggugah selera atau karena hormon kehamilannya.
" Hmm, iya. Kamu habiskan saja aku baru makan tadi"
“Rafa sakit dari semalam. Demam tinggi, jadi aku nggak bisa ninggalin dia.” ucap Arkan seolah menjelaskan ketidak hadirannya semalam.
Dara sempat diam, sedikit tersentak mendengarnya " trus gimanaa keadaannya sekarang"
“Sudah mendingan. Tadi siang dia udah mau makan bubur lagi,” jawab Arkan lembut. “Aku cuma nggak mau kamu salah paham. Aku nggak datang bukan karena aku kabur atau nggak mau tanggung jawab.”
Dara menatapnya lama, lalu berkata dengan nada dingin, “Aku nggak pernah minta kamu tanggung jawab. Kamu nggak perlu repot-repot datang ke sini, "
Arkan terdiam sesaat. Matanya menatap ke arah Dara yang kini duduk di depannya dengan wajah datar, tanpa ekspresi. Suasana ruang kecil itu mendadak terasa begitu hening.
Arkan menatapnya lekat, tatapan matanya dalam dan serius. “Aku udah mikirin ini sejak malam itu… Aku tahu situasi kita rumit, dan aku sadar aku yang harus bertanggung jawab atas semuanya.”
Dara menelan ludah, tangannya refleks meremas ujung bajunya. “Aku udah bilang aku nggak butuh kamu tanggung jawab, Arkan.”
“Tapi aku butuh,” potong Arkan cepat. “Aku butuh memperbaiki semua ini. Aku nggak mau anak kita nanti lahir tanpa kejelasan siapa ayahnya.”
Dara langsung menunduk. Kata “anak kita” yang keluar dari mulut Arkan membuat dadanya terasa sesak. Ia tak tahu harus marah, sedih, atau terharu.
Arkan melanjutkan, suaranya semakin tegas.
“Aku akan menikahi kamu, Dara. Dalam waktu dekat.”
Dara menatapnya dengan mata membulat tak percaya. “Kamu… apa?”
“Aku serius,” ucap Arkan tanpa ragu sedikit pun. “Aku udah pikirin semuanya. Aku mau kita menikah, dan sebelum itu, aku mau kamu ikut aku ke rumah orang tuaku. Aku mau mereka tahu tentang kamu"
“Aku tahu ini tiba-tiba. Tapi aku nggak mau anak ini tumbuh tanpa sosok ayah, Dara. Aku juga nggak mau kamu jalanin ini sendirian.”
“Jadi karena kamu kasihan sama aku?” suara Dara mulai bergetar, matanya memerah menahan air mata. “Kamu nikahin aku karena merasa bersalah? Karena kecelakaan itu?”
Arkan menggeleng cepat, langkahnya maju satu. “Bukan karena kasihan. Aku mau menikah karena aku tahu ini yang benar. Aku mau kamu dan anak ini jadi bagian dari hidupku.”
“Arkan…” Dara berusaha menahan emosi, tapi suaranya terdengar pecah. “Kita nggak hidup di dongeng yang semuanya bisa beres karena kata ‘menikah’. Aku nggak butuh pernikahan tanpa cinta. Aku nggak butuh belas kasihan.”
Arkan mendekat lagi, suaranya melembut. “Siapa bilang aku cuma kasihan? Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu, Dara. Sejak malam itu, aku terus kepikiran. Aku tahu aku salah, tapi aku juga tahu…" Arkan menggantungkan ucapnya.
“Arkan, tolong… jangan ngomong hal-hal yang bikin aku berharap.”
Arkan mengulurkan tangannya, mencoba menggenggam jemarinya yang gemetar. “Aku nggak mau kamu berharap, aku mau kamu percaya. Aku serius. Besok, aku mau kamu ikut aku ke rumah orang tuaku. Aku juga sudah menjelaskan semuanya di sana kemarin.”
“Kalau aku nolak?” tanya Dara lirih.
Arkan tersenyum samar, tapi matanya tetap serius. “Aku bakal tetep datang ke sini sampai kamu siap nerima."
"kamu nggak usah mikirin apa pun dulu, oke?” katanya sambil duduk kembali di kursi. “Aku yang bakal ngurus semuanya.”
Arkan tersenyum tipis, “Pernikahan kita, semua persiapannya. Aku akan urus surat-suratnya, tempatnya, bahkan juga soal keluargaku. aku cuma mau kamu jaga diri dan fokus buat kesehatan kamu sama bayi.”
Arkan berdiri, mengambil piring bekas makannya lalu membawanya ke wastafel. “Udah malam. Kamu istirahat aja ya, nanti aku pulang.”
Sebelum pergi, Arkan menatap Dara sekali lagi dan berkata lembut,
“Jangan khawatir, aku yang akan urus semuanya. Kamu tinggal percaya sama aku.”
" Sebelum tidur tutup semua pintu, jendela dan jangan terlalu lama tidurnya. Aku pulang dulu besok aku usahakan kesini lagi."
Setelah kepergian Arkan, Dara hanya bisa duduk diam di atas kasur tipisnya. entah apa yang dia harus lakukan. Jika dia menikah dengan arkan maka dia harus masuk ke kehidupan pria itu. Jika tidak kehamilannya akan semakin membesar dan niat untuk menggugurkannya rasanya tidak rela.