Hari yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan Eireen justru berubah menjadi neraka. Dipelaminan, di depan semua mata, ia dicampakkan oleh pria yang selama ini ia dukung seorang jaksa yang dulu ia temani berjuang dari nol. Pengkhianatan itu datang bersama perempuan yang ia anggap kakak sendiri.
Eireen tidak hanya kehilangan cinta, tapi juga harga diri. Namun, dari kehancuran itu lahirlah tekad baru: ia akan membalas semua luka, dengan cara yang paling kejam dan elegan.
Takdir membawanya pada Xavion Leonard Alistair, pewaris keluarga mafia paling disegani.
Pria itu tidak percaya pada cinta, namun di balik tatapan tajamnya, ia melihat api balas dendam yang sama seperti milik Eireen.
Eireen mendekatinya dengan satu tujuan membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bangkit, tetapi juga dimahkotai lebih tinggi dari siapa pun yang pernah merendahkannya.
Namun semakin dalam ia terjerat, semakin sulit ia membedakan antara balas dendam, ambisi dan cinta.
Mampukah Eireen melewati ini semua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penawar
Xav kemudian turun dari bagasi mobil itu, pura-pura berjalan-jalan, membuang kotak bentonya, membuangnya.
Ia sengaja sekali memancing siapapun itu untuk menjauh dari mobil, agar langsung berhadapan dengannya saja.
Ia tidak khawatir tentang Eireen, karena mobil itu punya sensor khusus. Jika mendeteksi bom atau sejenisnya, maka akan otomatis menjauh.
Xav terus berjalan menuju semak-semak, gelagatnya seolah mau kencing.
Dan benar saja, suara langkah kaki terdengar di sekitarnya. Xav menuangkan air dari botol minumnya yang tersisa, sedikit demi sedikit, seolah sungguhan sedang kencing suaranya.
Mengingat, area itu gelap, tidak akan terlalu terlihat juga dengan mata. Dan mungkin itulah, yang membuat musuh itu nekat mendekat, menyerang Xav dari belakang dengan senjata tajam.
SRET!
Xav yang sudah sedari tadi mendengar langkah kakinya pun reflek menghindar. Ia bahkan melempar botol yang ia pegang ke arah wajah musuh yang menyerangnya.
PAK!
Musuh itu menampik, Xav menerjang wajahnya dengan kaki sekuat tenaga.
BUK!
"Argh!" Tubuh musuh itu terpental, Xav mau menginjaknya, tapi musuh itu berguling menghindar, kemudian berdiri.
"Oh.. gaya bertarungmu, sepertinya tidak asing bagiku," ucap Xav sambil tangannya bergerak, seolah minta musuhnya itu maju, melawannya lagi.
"Yargh...!" Benar saja, laki-laki itu segera berlari, menyerang Xav dengan sabetan senjata tajamnya.
SRET! SRET!
Xav masih bisa mengimbangi orang itu, bahkan bisa membaca dengan baik setiap gerakannya.
Tapi, curangnya, diam-diam ada satu orang yang mengincar dengan senjata laras pendek di dekatnya.
"Mati kau!" ucap si penembak, sudah akan menekan pelatuk senjata apinya.
Namun, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Si penembak pun reflek tidak jadi menarik pelatuk senjata apinya, justru menoleh ke belakang.
BUG!
Sebuah batu besar mengenai wajahnya tepat, karena dilempar dengan begitu akurat.
"Argh!" erang si penembak, tubuhnya ambruk, memegangi hidung yang berdarah-darah.
Senjata apinya terjatuh ke tanah. Ia menatap nanar Eireen yang terlihat remang-remang dengan sinar rembulan.
"Ups, kena ya? Sorry, memang aku sengaja!" ucap Eireen sambil mengibaskan tangannya yang kotor karena memegang batu tadi, berjalan mendekat.
"Kurang ajar...!" Laki-laki itu segera bangkit, tapi saat mau mengambil senjata apinya, suara tembakan terdengar lebih dulu.
DOR!
"Argh!" Laki-laki itu mengeram kesakitan lagi, menoleh ke belakang. Kakinya tertekuk, karena pahanya tertembak berdarah-darah.
"Ck!" Eireen berdecak, melihat Xav yang ternyata sudah mendekat ke arah mereka.
Ia melirik ke arah posisi Xav berkelahi sebelumnya, ternyata, samar-samar terlihat tubuh seseorang sudah tergeletak di lantai.
'Cepat sekali, tanpa suara juga dia melumpuhkan orang itu tadi. Gila, mengerikan juga,' batin Eireen.
Ia tidak tahu saja, jika Xav tadi hanya menunggu waktu agar bisa langsung menyasar titik vital yang sekali sabet dengan senjata tajam, selesai urusan.
Ia mendekat, ke arah Xav yang sedang menginterogasi si penembak yang sudah roboh di tanah itu.
"Bagaimana kau bisa sampai sini, hah? Aku tidak merasakan ada yang mengikutiku sebelumnya," ucap Xav sambil kakinya menempel di dada laki-laki itu, dengan tangan mengarahkan senjata api ke dahinya.
"K-kami hanya diperintah menuju koordinat yang diberikan saja, Tuan. Kalau tahu, Anda yang menjadi sasaran, pasti kami akan menolak. Kami hanya pembunuh bayaran penguasa area sini saja. Sungguh."
"Koordinat? Siapa yang memberikanmu koordinat itu?" tanya Xav lagi.
"Klien, kami hanya menerima pesan text koordinat itu dan dimana uang bisa kami ambil."
Laki-laki itu mengeluarkan telepon genggamnya.
Xav mengambil dengan satu tangan, memeriksa. Tapi, laki-laki itu nekad mau menyerangnya, karena berpikir Xav lengah.
Alhasil, saat ia bergerak sedikit, peluru seketika menyasar dahinya. DOR!
Eireen memalingkan wajah ke arah lain. Namun, ia justru melihat sinar merah penembak jitu yang mengarah ke dada Xav.
Tanpa pikir panjang, gadis itu melompat.
"Awas!"
DOR!
SRET!
"Argh!" Suara erangan Eireen terdengar, saat ia dan Xav berguling-guling di tanah setelah melompat tadi.
Beruntungnya, mereka berguling ke dekat pohon besar. Setelah gerakan roll mereka terhenti, Xav sadar, jika gadis yang dipeluknya sedang menahan sakit, memegangi lengannya.
Ia angkat tubuh Eireen, menempelkan punggungnya ke pohon besar, hingga terlihatlah darah di lengan gadis itu. "CK!"
"Tidak apa-apa, cuma tergores saja," kata Eireen.
"Diamlah!" ketus Xav dengan lirikan tajam. Wajahnya tampak benar-benar marah saat itu.
Laki-laki itu sudah berdiri, melempar pandangan sibuk sendiri melihat sekitar, mencoba merasakan keberadaan dari si penembak jitu, yang tidak menunjukkan lagi tanda-tanda keberadaannya.
Eireen ikut berdiri, sambil memegangi lengannya yang masih terasa perih.
Lantas, tiba-tiba saja Xav menghadap ke arahnya, mendekatkan kepala, ke wajahnya, hingga ia merasa gugup tiba-tiba.
'Mau apa dia?' batin Eireen mengalihkan pandangan.
Sudah gugup begitu, Xav justru berbisik ke telinganya. "Tetap diam di sini!"
"Dan bawa ini!" imbuhnya, sambil meletakkan senjata laras pendek di tangan Eireen.
Gadis itu pun memasang wajah kecewa, karena gugup tidak berdasar pula. Ia merasa bodoh, karena masih juga curiga, Xav akan melakukan hal romantis atau bagaimana tadi. Lebih-lebih, setelah memberikan senjata laras pendeknya, laki-laki itu bergerak keluar dari pohon, memancing tembakan terdengar dari si Penembak Jitu yang masih mengawasi.
DOR! DOR!
Xav tampak masih lincah bergerak tanpa terkena, Eireen yang khawatir melihatnya. 'Dasar nekat sekali sih?!'
Selagi Xav merangsek, mendekat ke arah penembak jitu itu, Eireen bersiaga. Ia memfokuskan telinganya, agar mendengar lebih jelas pergerakan sekitar.
Ia tidak bisa diam. Karena pattern orang-orang yang menyerang mereka itu licik sekali, ada yang menyerang langsung ada yang sembunyi.
Eireen mengabaikan perkataan Xav. Ia juga diam-diam bergerak. Niatnya mau membantu, biar bisa menyelamatkan laki-laki itu, saat dibutuhkan.
Ia bisa bergerak, karena penembak jitu itu tampaknya sedang fokus menargetkan Xav.
Suara desing peluru sesekali masih terdengar, diiringi kasak kusuk suara langkah kaki yang menginjak ranting dan pergesekan tubuh dengan semak-semak saat ada pergerakan.
Suasana di sana cukup mencekam. Eireen kehilangan jejak Xav. 'Dimana dia?'
Suara desing peluru tidak terdengar, hanya kasak kusuk langkah kaki dan pergesekan semak saja yang tersisa.
Eireen melihat ke kanan, kiri, depan belakang, karena suara kasak kusuk terdengar di sekitarnya.
'Apakah itu si Tuan Panda?'
Eireen tidak yakin, jadi masih bersiaga melihat sekitar, hingga suara mobil terdengar menjauh dari area itu. 'Ada yang pergi, siapa? Mungkinkah...'
KRETEK!
Suara ranting terdengar terinjak di sebelah kirinya. Eireen menoleh, matanya membulat, karena sudah ada seorang laki-laki berdiri dua langkah di depannya, mengacungkan senjata laras pendek.
Szuch...!
Bukan suara desing peluru yang terdengar saat laki-laki itu menarik pelatuknya. Justru suara gas yang keluar dari senjata laras pendek di depan Eireen.
"Uhuk! Uhuk!" Eireen terbatuk, karena gas yang langsung mengarah ke wajahnya itu.
DOR!
Tidak berselang lama, tembakan terdengar karena Xav melesatkannya dari belakang, hingga mengenai dada laki-laki yang berhadapan dengan Eireen.
BRUK!
Tubuh laki-laki itu ambruk, senjata laras pendek yang mengeluarkan gas terjatuh.
Xav berlari, mendekat ke arah Eireen yang masih terbatuk. "Kau tidak apa-apa?"
Belum sempat Eireen menjawab, Xav menatap ke arah laki-laki yang tersungkur di bawah, mulutnya berbusa.
"K-kenapa dengannya?" tanya Eireen heran. Padahal, Xav menembak dadanya, kenapa mulutnya keluar busa seperti sudah mengonsumsi racun begitu.
Xav tidak memperdulikan itu. Ia tangkup wajah Eireen, melihat matanya, memuka mulutnya, untuk memastikan lidahnya tidak berubah warna.
"Hei, apa sih?" ucap Eireen dengan ekspresi terganggu. "Aku tidak apa-apa!"
"CK." Xav langsung menarik tangannya. Sayang, salah, yang ditarik tangan yang sakit, sampai Eireen mengeluh. "Au, sakit, tahu!"
Laki-laki itu pun meraih tangan yang satu lagi, menariknya, membawa gadis itu masuk ke dalam mobil dengan buru-buru.
"Hei, biasa saja, jangan buru-buru begini!"
Xav masih tidak menjawab. Ia menutup pintu, kemudian masuk dari sisi pintu mobil yang lain.
Tanpa kata, laki-laki itu membuka kompartemen tengah, yang ada di antara kursi mereka. Ia keluarkan sebuah tempat obat dan mengeluarkan dua biji pilnya.
"Cepat minum!" kata Xav sambil mengulurkan pil itu kepada Eireen.
"Apa ini?"
"Penawar untuk menghambat persebaran racun, cepat, jangan banyak tanya!"
Eireen buru-buru memakan pilnya, kemudian Xav membukakan botol air untuk dia minum.
"Argh. Kau yakin gas tadi itu racun?" tanya Eireen setelahnya.
"Entahlah, gejala mata dan lidah belum terlihat. Tapi, kadang ada racun yang seperti itu, gejalanya baru muncul saat sudah mulai parah. Itu obat menghambat pergerakannya, sampai rumah sakit, mungkin sempat!" jawab Xav sambil mulai mengemudikan mobilnya.
Eireen terharu mendengarnya. Ternyata, laki-laki ini buru-buru karena khawatir pada kondisinya?
"Harusnya kalau mau bergerak itu masuk ke mobil. Kenapa juga kau justru mengikutiku, hah?!" Xav mengomel, tapi Eireen justru menatapnya dari samping, mendengarnya dengan hikmat.
Merasa aneh, gadis yang tidak bisa diam tiba-tiba tidak ada suaranya, Xav menoleh ke samping.
Ia justru terkejut, karena wajah Eireen seperti terharu dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa? Sudah mulai terasa efek racunnya?"
Gadis itu menggelengkan kepala.
"Lantas?"
"Aku jadi semakin jatuh cinta, bagaimana?"
Xav jadi kesal mendengarnya. Jelas-jelas ia sedang khawatir, Eireen masih sempat-sempatnya merayu begitu.
"Terserah!" ketusnya mengalihkan pandangan ke depan.
Wajah ditekuk, benar-benar kesal sekarang ini. Eireen menahan tawa. "Tapi aku tidak merasakan ada apa-apa. Cuma perih di tangan ini saja. Yakin gas itu beracun?"
"Kalau tidak buat apa ditembakkan ke wajahmu begitu, hah?"
"Iya sih. Bukan gas tidur juga sepertinya, jelas-jelas aku tidak mengantuk sama sekali. Hmm. Gas apa ya?"
"Dia saja sampai mengonsumsi racun, yang segera setelah berhasil melakukan misinya bisa membuatnya tewas. Kau pikir, misi menyemprotkan gas itu main-main, hah? Pikir!"
"Iya sih. Harusnya aku panik ya sekarang?"
Xav melirik benar-benar tidak habis pikir. Dia saja sudah sepanik ini, Eireen justru tampak santai sekali.
"Kau tahu? Sejak ingatan aneh muncul di kapal itu, aku jadi takut, kalau misal, sungguhan aku ini seorang pembunuh berdarah dingin. Bahkan, Bos Kalan juga berkata begitu, kan? Tidak akan membiarkanku menjadi yang mereka mau. Pasti itu karena aku bisa jadi sangat berbahaya." Tiba-tiba Eireen bercerita, sambil menundukkan kepala.
Tangannya masih memegangi lengannya yang terasa perih, tergores, peluru.
Xav sesekali menoleh ke arahnya, karena nada suara gadis itu terdengar berbeda.
"Kalau memang aku berbahaya, maka mati adalah pilihan terbaik bagiku. Pikirku begitu. Jadi, mungkin karena itu, aku jadi tidak terlalu panik sekarang ini."
"Bodoh!" Akhirnya Xav menyahut. "Ingin membunuh atau tidak, semua bisa kau kendalikan."
"Iya ya? Tapi, entah kenapa aku takut sekali, seolah ada sesuatu di kepalaku ini. Bahkan rasa penyesalan yang terbawa dari ingatan itu pun begitu menyesakkan. Aku rasanya tidak mau mengalami itu lagi. Melihat orang mati di depanku tadi saja rasanya menakutkan."
"Tidak ada orang yang biasa saja setelah melihat kematian, lebih-lebih dia yang bertanggung jawab atas kematian itu."
Eireen tertegun sejenak. Tidak biasanya, Xav begini nada suaranya.
"Bahkan sejak tanganku berlumuran darah pertama kali dulu, tidak sedetik pun, aku merasa tenang. Nyawa, itu berharga, makanya jika direnggut paksa akan menyiksa, jiwa orang yang merenggutnya."
Eireen sadar, jika sedari kecil pasti Xav akrab dengan hal-hal seperti ini. Bukan maunya jadi seperti sekarang, tapi lingkungan hidupnya yang keras, yang menjadikannya seperti pembunuh berdarah dingin begini.
Tangan Eireen bergerak, memegang tangan Xav yang memegang kemudi.
Laki-laki itu menoleh ke arahnya, Eireen berkata, "Pasti berat, kan? Terpaksa melakukannya, agar bisa melindungi diri dan orang-orang di sekitarmu selama ini?"
Sejenak mata mereka saling bertatapan. Xav merasakan kehangatan dari tatapan gadis itu kepadanya.
"Kau sudah melakukan yang terbaik yang kau bisa. Kau baik bagi..."
Xav menampik tangan Eireen. "Aku bukan orang baik!"
'Aku pembunuh berdarah dingin! Entah apapun alasanku membunuh, aku tetap pembunuh,' imbuhnya dalam hati.
"Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu atau..."
"Cukup! Jangan dibahas lagi!"
"Hmm. Iya. Tapi, bagiku kau orang baik. Itu saja."
Xav tidak menjawab. Eireen pun merasa bersalah. Ia baru sadar, jika ketakutannya, bahkan sudah dan masih Xav jalani sepanjang hidupnya selama ini.
Lantas, tiba-tiba saja mata Eireen terasa buram.
"Kenapa ini?"
Xav menoleh, gadis itu menatapnya sambil menggerak-gerakkan tangan di depan wajahnya. "Pandangan mataku, kenapa buram begini?"
Tidak berselang lama dari itu, kepala Eireen terhuyung, kemudian tangannya terjatuh, tubuhnya lunglai di kursi, tidak sadarkan diri.