Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Abang
Sagala tidak tahu obat apa yang biasanya dikonsumsi Annisa saat sakit perut seperti itu. Akhirnya ia beli beberapa merk obat yang disarankan oleh apoteker.
Saat ia kembali, tidak ada Annisa di sofa ruang santai. Tidak ada juga di dapur. Sagala mengetuk pintu kamar gadis itu dengan lembut.
"Nisa," panggilannya dari luar.
"Iya, Bang. Masuk aja." Jawab Annisa dari dalam, terdengar lemah.
Pelan, Sagala membuka pintu dan menemukan Annisa meringkuk di atas ranjang memegangi perutnya. Kaki ditarik ke dada, kedua tangan memegangi perutnya. Wajahnya pucat, dan rambutnya sedikit berantakan.
Sagala meletakkan segelas air putih dan obat di atas nakas dekat tempat tidur, lalu menyeret kursi ke tepi ranjang dan duduk di sana.
"Sakit banget?" Tanya Sagala. Suaranya lembut penuh kekhawatiran.
Annisa meringis, bibirnya merapat menahan nyeri. "Hampir mau pingsan aku tuh, Bang." Suaranya terdengar seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Sagala mengusap lengannya pelan, gerakan sederhana tapi penuh rasa peduli. "Oke, sini buruan minum obat," katanya, sambil mengambil satu kantong obat yang tadi ia beli. Lalu membukanya. "Nih, mana yang biasanya kamu minum?"
Annisa bangkit dari tidurnya dengan lemah. Perutnya seperti diremas-remas dari dalam. Wajahnya pucat.
"Oug, sakit banget, Abang." keluhnya lirih, tangannya refleks memegangi bagian perut yang nyeri.
Sagala terpaku sesaat, lalu dengan cepat pindah duduk di sisi ranjang. Wajahnya tampak cemas, bahkan sedikit panik. Tangan terulur, mengusap punggung Annisa perlahan, seolah berusaha menenangkan gelombang sakit yang menyerang gadis itu.
Andai Annisa tidak sedang kesakitan, ia pasti sudah meleleh merasakan sentuhan lembut yang begitu jarang Sagala tunjukkan.
"Buruan minum obatnya, terus istirahat," ucap Sagala pelan, seperti membujuk.
Annisa mengangguk lemah, nafasnya tak beraturan. Tangan gemetar mengambil salah satu obat yang dibelikan Sagala. Wajahnya menahan rasa nyeri, tapi matanya tetap fokus, berusaha kuat.
Begitu Annisa berhasil mengambil obat itu, Sagala sigap meraih gelas air di meja kecil. Ia menyodorkannya tanpa bicara, tapi matanya jelas menunjukkan rasa khawatir.
Annisa menerimanya dengan hati-hati, menelan obat sambil memejamkan mata sesaat.
Gelas ia kembalikan pada Sagala. “Makasih, Abang…” ujarnya lemah, suara nyaris tenggelam dalam helaan nafas sakit yang tertahan.
Sagala mengangguk pelan. “Dah, buruan istirahat,” ucapnya, kali ini lebih seperti perintah lembut.
Annisa mengangguk patuh. Ia merebahkan tubuhnya lagi dan langsung memejamkan matanya menahan sakit.
Sagala segera menyelimutinya penuh kelembutan. Saat tangannya sedikit menyentuh pundak Annisa, ia terdiam, menatap tangannya sendiri yang masih ada di sana. Tetap di sana.
Perlahan ... tatapannya berlabuh di wajah Annisa yang terpejam. Wajah itu terkadang meringis menahan sakit.
Pelan, tangan Sagala beralih ke pipi gadis itu. Mengusapnya lembut, usapan yang terasa seperti membelai waktu. Entah kapan terakhir kali ia mengusap pipi ini, seperti ini. Sekarang, bayi kecil yang dulu sering ia gendong, sudah tumbuh menjadi gadis secantik ini.
Tak disangka, tangan Annisa bergerak, menyentuh tangan Sagala yang ada di pipinya. Mengenggamnya lembut tapi perlahan berubah menjadi sangat erat.
"Masih sakit, Abang," suaranya lirih, tercekik oleh rasa nyeri yang memenuhi tubuhnya.
Sagala menghela napas dalam-dalam, "Biar nggak sakit lagi, harus apa? Kompres ya, mau?" Tanyanya lembut.
Annisa mengangguk lemah. Matanya tetap terpejam. Biasanya, ibunya juga melakukan hal yang sama.
"Tunggu abang sebentar. Abang ambilin kompres."
Dengan hati-hati Sagala menarik pelan tangannya dari genggaman Annisa. Lalu ia beranjak dan keluar kamar untuk mengambil air hangat dan kompres.
Sagala kembali ke kamar dengan mangkuk kecil berisi air hangat dan kompres yang sudah direndam. Ia duduk di kursi dekat ranjang, wajahnya penuh perhatian.
“Abang udah bawa kompresnya,” ujarnya pelan, seolah khawatir suara yang terlalu keras akan menambah sakit gadis itu.
Annisa mengangguk dalam pejam matanya.
"Terima kasih, Abang," ucapnya. Ia membuka mata. Menatap Sagala yang ada di sampingnya. Ia mengulurkan tangan untuk menerima kompres dari tangan Sagala.
"Mau abang bantu?"
Annisa menggeleng kecil, disertai senyum tipis yang membuat wajah pucatnya tampak tetap hangat. "Aku bisa sendiri, Bang."
Sagala menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. “Ya udah. Abang keluar dulu, ya. Hubungi abang kalau butuh sesuatu."
Annisa menjawab dengan anggukan pelan.
Sagala membalik badan dan keluar dari kamar. Menutup kamar itu rapat, menghormati privasi Annisa.
Tengah malam, ia masuk ke sana. Melangkah pelan dan hati-hati. Sekedar ingin memastikan keadaan gadis itu baik-baik saja.
Ia berdiri di samping ranjang. Kedua tangannya masuk ke dalam saku. Menatap wajah Annisa yang terpejam. Begitu lama, hanya diam menatapnya.
Dalam hati ia berkata, "Nggak nyangka, kita bakal satu rumah seperti ini ya, Dek. Lebih nggak nyangka lagi sekarang antara kita adalah pasangan suami istri."
Sagala membungkuk, merapikan selimut Annisa hati-hati. Mengusap rambutnya penuh perhatian. "Sehat-sehat ya, adek."
🌱🌱🌱
Pukul lima pagi, Annisa mengerjap. Perutnya sudah lebih baik daripada semalam, tak lupa ia mengucap syukur.
Semalam?
"Ya Allah, aku ngerepotin abang lagi," gumamnya merasa tak enak. Namun tak lama, kedua tangannya terangkat memegang kedua pipinya. "Abang manis banget semalam. Pengen diusap-usap lagi. Omegattt. Jantungku."
Annisa mengambil bantal satunya lalu menutup wajahnya. Pipinya merona tiba-tiba karena mengingat bagaimana tangan abang mengusap pipinya dengan penuh kelembutan.
Annisa gemas sendiri mengingat kelembutan Sagala semalam. "Ada berkahnya juga sakit," celetuknya.
Pintu terdengar terbuka. Annisa segera membuka bantal dari wajahnya. Lalu menoleh ke arah pintu.
Sagala ada di sana, mulai melangkah ke arahnya. Setiap langkah kaki yang tenang itu, mengandung racun yang menghujam jantung Annisa tertubi-tubi.
"Habis sakit perut, kayaknya aku sakit jantung deh," gumamnya pelan.
Sagala kini sampai di samping ranjang, menatapnya dengan teduh.
"Udah enakan?" Tanya Sagala.
Annisa ingin menjawab tapi tiba-tiba terasa gagu. Matanya berkedip-kedip. Jantungnya nggak bisa diajak kompromi bentar aja. Akhirnya ia hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Masih mau minum jahe hangat?" Tanya Sagala, menatapnya perhatian. Tatapan lembut yang semakin membuat jantung nggak aman.
Bagaimana bisa seseorang terlihat begitu sederhana, tapi punya efek sekelas badai begitu menghantam perasaannya?
Lagi-lagi Annisa tidak mampu menjawab. Dia menggeleng sebagai jawaban.
"Beneran udah enakan?" Sagala bertanya sekali lagi untuk memastikan.
Annisa mengangguk.
Sagala tersenyum kecil, "Alhamdulillah kalau udah enakan. Abang keluar bentar beliin kamu bubur ayam."
Annisa mengangguk lagi lagi. Masih tanpa kata.
"Mau apa lagi? Mau donat? Atau mau puding. Atau mau jajan apa?"
'Mau hati abang aja boleh nggak sih, Bang.' Hati Annisa berseru lebih dulu daripada bibirnya. Sementara bibirnya tidak berani mengakui selantang hatinya.
Tiba-tiba, Sagala melangkah lebih dekat, Tanpa peringatan apa pun, ia mengulurkan tangan dan menempelkan punggung telapak tangannya di kening Annisa. Kontak yang singkat itu membuat mata Annisa melebar, sekadar terkejut, tapi jantungnya langsung riuh tanpa aba-aba.
Tanpa kata, Sagala menarik tangannya lagi. Pria itu berbalik dan keluar dari kamar, menutup pintu perlahan.
"Apakah efek sakit menstruasi jadi males ngomong?" Gumam Sagala setelah ia sampai di luar.
Sementara yang terjadi di dalam kamar...
Annisa langsung meraih boneka Bee-nya.
“Akhsdjfgj .... kenapa aku jadi error begini?!” gumamnya gusar sambil meninju-ninju bonekanya. Kakinya ikut menghentak tak jelas, gemas pada dirinya sendiri yang tadi mendadak kaku, mendadak bisu, mendadak jadi... nggak jelas.
Cil, ayookk coba rayu abang dehh, minta maaf duluan gak papa pas pulang kerja.. Abang yoook ajak ngomong bocilnya..
Hakekatnya wanita mah gak bisa di diemin, aku aja gitu kok, paling gak suka di diamkan sama suami, mending dimarahin aja aku sih 😩
pasti Annisa bakal ngerti
namanya juga bocil harus di kasih penjelasan detail gga bisa cuma gitu aja gga.
kdang kita yg dewasa aja klau bikin slah mrsa benar🤭🤭
soalnya gga enak klau marah nya abang diem. 😌.
emang laki² butuh waktu tp wanita butuh penjelasan🙃
next next... marahannya sebentr aj ya kak nas.. 🥲
itu bisa jadi masalah gede
lain kali kalo keluar sama Nada
kasih tau abang Nis
biar gak jadi salah paham
Walau Nisa menganggap teman dong lain halnya dengan zefan belum tentu