Yang Suka Action Yuk Mari..
Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Bab 13
Markas Night Watcher
Begitu dua pria tua itu menyebut kata runyam, rona khawatir langsung menyelimuti wajah Sisil Bahri dan yang lainnya.
Devan tidak bisa menahan diri, lalu bertanya dengan nada penasaran yang disertai sedikit kecemasan.
> “Tapi Raysia bilang, kekuatan orang-orang di keluarga Stanley itu nggak sehebat keluarga Dimpsay. Jadi sebenarnya apa yang membuat masalah ini jadi serumit itu?”
Diego menarik napas dalam dan menggeleng perlahan.
> “Masalahnya bukan di situ,” katanya dengan nada berat. “Beberapa anggota keluarga Stanley ternyata memiliki kesepakatan lama dengan Night Watcher.”
Sisil mengerutkan alis, matanya menatap bingung.
> “Maksudmu apa, kesepakatan seperti apa?” tanyanya dengan nada ingin tahu.
Diego memandang Sisil cukup lama sebelum menjawab, seolah sedang menimbang kata-katanya.
> “Kamu tahu kan, dunia bawah tanah ini punya aturan sendiri yang dibuat dan dijaga oleh Night Watcher. Orang-orang seperti kita, yang menekuni seni bela diri dan kekuatan tersembunyi, dilarang keras ikut campur dalam konflik dunia orang biasa.”
Ia berhenti sejenak, menatap kosong seakan mengingat masa lalu.
> “Beberapa abad lalu, aturan itu belum ada. Banyak orang mulai menyalurkan kekuatannya secara sembarangan, dunia bawah tanah waktu itu benar-benar kacau. Pertarungan pecah di mana-mana, dan sulit dikendalikan. Masa itu bisa dibilang—zaman paling runyam yang pernah ada.”
Kemudian Diego melanjutkan dengan nada yang lebih tenang.
> “Baru di awal abad ini, kami sepakat untuk membuat batasan. Dunia bawah tanah tidak boleh tumpang tindih dengan dunia orang biasa. Jadi dibuatlah aturan: siapa pun yang ketahuan menggunakan kekuatannya terhadap orang biasa akan diasingkan ke Barbar City—atau bahkan dijebloskan ke penjara Night Watcher.”
Diego menatap seisi ruangan.
> “Aturan itu disusun bersama oleh beberapa keluarga besar. Salah satunya, keluarga Stanley. Mereka memilih untuk menarik diri, bersembunyi dari pusat perhatian, dan kita pun tidak ikut campur dengan keberadaan mereka.”
Ia menghela napas, lalu menambahkan dengan nada serius.
> “Kami punya perjanjian. Kalau sampai perang besar terjadi, keluarga Stanley wajib membantu Night Watcher. Jadi kalau Rangga melakukan sesuatu terhadap keluarga Stanley, aku khawatir mereka akan salah paham—mengira Night Watcher telah mengkhianati perjanjian. Itu bisa menghancurkan keseimbangan yang sudah dijaga puluhan tahun. Lebih parah lagi, keluarga besar lain mungkin berbalik arah dan memilih RedLotus sebagai sekutu mereka.”
Sisil menatap Diego dengan raut tegang.
> “Tapi... Rangga kan bukan anggota Night Watcher lagi, kan?” ucapnya dengan hati-hati.
Diego mengangguk kecil.
> “Benar. Tapi dia tetap harus bisa meyakinkan pihak Stanley bahwa ucapannya bisa dipercaya. Kalau dia sampai salah langkah sedikit saja, bukan cuma Stanley yang jadi musuh kita—tapi juga keluarga-keluarga besar lain yang punya pengaruh di dunia bawah tanah.”
Sementara percakapan itu berlangsung, Rangga sudah membuka pintu mobil dan melangkah keluar.
Di depan, dua mobil berhenti sejajar sekitar dua puluh meter dari mobilnya. Dari dalamnya keluar sekelompok pria berwajah keras dan tatapan tajam—jelas niat mereka tidak bersahabat.
> “Siapa kalian? Kalian tersesat? Cepat putar balik! Ini wilayah pribadi, bukan jalan umum,” salah satu pria itu memperingatkan dengan nada garang.
Raysia masih berdiri santai di sisi mobil, mengenakan kacamata hitam, bersandar tanpa bicara sedikit pun.
Sorot matanya tenang, tapi ada hawa dingin yang menekan di sekitarnya.
Pria jangkung di belakang si pembicara mendekat, berbisik sesuatu di telinga rekannya. Seketika wajah orang itu berubah—terkejut, lalu menatap tajam ke arah Raysia.
> “Kami…” Rangga baru saja hendak berbicara, tapi pria itu memotongnya.
> “Aku bilang, tempat ini bukan untuk umum! Pergi sekarang kalau masih ingin hidup! Jangan paksa kami pakai cara kasar!” katanya dengan nada menggertak.
Ia melirik ke arah Raysia sambil menjilat bibirnya dengan jijik. “Tapi kalau si cantik di sana mau, dia boleh tinggal malam ini bersamaku.”
Rangga menatap pria itu dengan ekspresi dingin.
Amarah jelas menguar dari matanya. Ia bisa membaca pikiran kotor orang-orang itu hanya dari cara mereka memandang Raysia.
> “Keluarga Stanley sepertinya tidak sehebat yang dibicarakan orang,” ujarnya datar, namun cukup keras untuk membuat mereka terdiam.
Orang-orang tadi yang awalnya mengira Rangga dan Raysia hanyalah pengendara tersesat, kini tampak waspada. Tatapan mereka berubah tegang begitu mendengar nama Stanley disebut.
> “Siapa kalian sebenarnya?! Apa tujuan kalian datang ke sini?!” seru salah satu dari mereka.
Rangga hanya tersenyum miring.
> “Kalau mau tahu siapa aku,” katanya sinis, “maju saja dulu. Kalau kamu masih hidup setelah menahan satu pukulanku, aku akan jawab pertanyaanmu.”
Sekelompok orang itu mulai panik, suasana berubah menegang.
Saat itu juga, Raysia perlahan melepas kacamatanya dan berjalan maju ke sisi Rangga. Gerakannya anggun namun mengandung tekanan yang membuat udara di sekitar terasa berat.
Ia menatap pria berkepala datar di depan dengan senyum dingin.
> “Luis, kamu masih ingat aku?” tanyanya pelan tapi tajam.
Luis sempat terpaku. Tatapannya kosong beberapa detik sebelum matanya melebar kaget.
> “R-Raysia?! K-kamu… bagaimana mungkin kamu ada di sini?! Bukannya kamu sudah diasingkan ke Barbar City?!”
Raysia menatapnya dengan tenang, senyum kecil muncul di ujung bibirnya.
> “Aku memang seharusnya di sana,” katanya lirih namun penuh tekanan. “Tapi lihatlah aku sekarang. Aku kembali... khusus untuk membalas dendam.”
Nada suaranya datar, namun mengandung hawa dingin yang menusuk.
Di sisi lain, Rangga memperhatikan wajah Raysia—betapa tenangnya dia berbicara, padahal dendam yang dipendamnya sudah menumpuk selama puluhan tahun. Ia tahu, bila amarah sebesar itu sampai meledak, akibatnya bisa sangat fatal.
Luis menunjukkan senyum menyeringai, meski matanya menyiratkan rasa takut.
> “Aku nggak tahu bagaimana caramu kabur dari Barbar City, tapi kau bilang mau balas dendam? Sendirian? Oh, atau kau pikir bisa menang hanya berdua dengan lelaki di sebelahmu itu?”
Raysia melangkah perlahan mendekat. Setiap langkahnya membuat tanah seolah bergetar halus, aura kekuatan mengalir deras dari tubuhnya.
Tatapan Luis mulai gentar.
> “Kenapa?” tanya Raysia pelan. “Kamu takut?”
Luis menelan ludah, tubuhnya menegang.
Matanya melebar tak percaya.
> “D-Dewa... k-kamu sudah mencapai tingkat Dewa...!”
Markas Night Watcher, Kota Lyren Haven
Suasana di markas Night Watcher terasa berat pagi itu.
Thania menatap dua rekan tuanya yang tampak gelisah, lalu berkata pelan, “Entah apa pun maksudnya, toh kita sudah bukan bagian dari Night Watcher lagi. Lagi pula, Raysia sekarang sudah menjadi bagian dari tim kita, jadi urusan selanjutnya tidak ada sangkut pautnya dengan Night Watcher. Lagipula, Rangga dan Raysia sudah berangkat ke Kota Yanzim — terlambat juga kalau mau menghentikan mereka sekarang.”
Vela tampak termenung sejenak, matanya menatap kosong seolah memutar ingatan lama. Ia kemudian menatap ke arah Dirman dan bertanya dengan hati-hati,
> “Pak Dirman, Raysia bilang musuhnya adalah keluarga Stanley, tapi dia nggak pernah menjelaskan alasan kenapa keluarga itu membunuh keluarganya. Apa Bapak tahu sesuatu soal itu?”
Dirman menarik napas panjang, kemudian mengangguk perlahan.
> “Itu kejadian empat puluh tahun yang lalu…” ucapnya lirih.
Belum sempat suasana mendingin, Diego menimpali dengan nada berat,
> “Permusuhan antara dua keluarga itu sebenarnya sudah ada sejak lama. Dulu pengaruh mereka di Kota Yanzim cukup besar. Apalagi Miko Stanley — ketua keluarga Stanley — dan Julius Garcia, pemimpin keluarga Garcia, berasal dari satu angkatan yang sama. Julius Garcia itu adalah kakeknya Raysia.”
Ucapan itu membuat Devan terbelalak kaget.
> “Maksudmu… mereka belajar dari guru yang sama? Kalau begitu, kenapa bisa sampai bermusuhan begitu parah?”
Diego mengangguk pelan.
> “Itulah akar masalahnya. Dulu mereka memang satu angkatan. Julius-lah yang pertama kali membawa Miko menemui guru mereka. Waktu itu, Miko hanyalah anak yatim piatu yang hidup menggelandang di jalanan. Saat berusia tujuh atau delapan tahun, Julius menemukannya, lalu membawanya ke tempat sang guru.”
Ia melanjutkan dengan nada tenang tapi berat.
> “Miko punya bakat besar dalam seni bela diri. Setelah belajar dari guru Julius, kemajuannya luar biasa cepat. Walau ia mulai berlatih lebih belakangan, dia mampu mengejar Julius hingga keduanya sama-sama mencapai tingkat ‘super’. Namun, ada sesuatu yang selalu kurang dari diri Miko — moralitasnya.”
Thania menatap tajam,
> “Kurang moral? Maksudmu?”
Diego menjelaskan,
> “Setelah menjadi kuat, dia sering menyalahgunakan kekuatannya untuk menindas orang lain. Gurunya tahu itu, jadi dia mulai lebih memihak Julius. Lalu, ketika keduanya hampir mencapai tingkat dewa, muncul masalah besar. Tulang roh yang dibutuhkan untuk naik tingkat — hanya satu jenis, dan cuma tersedia satu.”
Ia berhenti sejenak, wajahnya tampak kelam.
> “Akhirnya, sang guru memutuskan memberikan tulang itu pada Julius. Miko diam saja waktu itu… tapi jelas dia menyimpan dendam.”
> “Sekitar empat puluh tahun lalu, Kota Binjai sedang kacau besar. Kekuatan utama Night Watcher waktu itu terpusat di sana. Miko kemudian mengundang Julius makan malam di rumahnya. Tapi di balik itu semua, ia menaruh racun dalam makanan… dan malam itu, seluruh keluarga Julius tewas.”
Suasana hening.
Diego menarik napas berat, lalu berkata dengan getir,
> “Seperti cerita fabel — petani dan ular. Raysia adalah satu-satunya yang selamat karena saat itu dia sedang tidak berada di Kota Yanzim. Tapi akhirnya, anggota keluarga Stanley menemukannya juga dan membuangnya ke Barbar City.”
Krish hanya bisa menggeleng tak percaya.
> “Setelah semua kekacauan di Kota Binjai itu beres, kalian nggak mengambil tindakan terhadap keluarga Stanley? Untuk apa membiarkan orang macam itu hidup?”
Diego menjawab dengan nada getir.
> “Setiap orang bertingkat dewa adalah kunci ketika perang besar terjadi. Waktu kami ingin bertindak, sebagian keluarga kuat lain sudah menjalin kerja sama rahasia dengan Stanley. Kalau kami menyerang, dampaknya akan menghancurkan keseimbangan dunia bawah tanah. Jadi, setelah dipertimbangkan matang, kami biarkan mereka bersembunyi.”
Ia menunduk, lalu berucap lirih,
> “Tapi aku tak menyangka Raysia akhirnya benar-benar kembali…”
Di Jembatan Layang Kota Yanzim
Suara jeritan menggema di udara malam. Di sepanjang jembatan layang, tubuh-tubuh tak sadarkan diri tergeletak di aspal. Angin membawa aroma logam dan ketegangan.
Rangga berdiri di tepi jalan, matanya memandangi semua itu tanpa bergerak sedikit pun.
Sementara itu, Luis — wajahnya pucat, keringat dingin menetes dari pelipis — berusaha menahan gemetar.
Raysia menatapnya datar, suaranya dingin seperti angin musim dingin.
> “Bawa aku menemui Miko Stanley, dan kamu akan tetap hidup.”
Luis menelan ludah, lalu menatapnya dengan sinis.
> “Raysia, keluarga kami sudah mengampunimu dan membiarkanmu tetap hidup. Tapi kau malah kembali untuk mencari masalah? Apa kau pikir kau bisa menandingi kakekku?”
Raysia mendengus kecil, matanya menyipit penuh kebencian.
> “Omong kosong. Kau akan mati hari ini.”
Nada suaranya tenang tapi mematikan. Aura seorang Holy Master dari Barbar City memancar dari tubuhnya — kuat, menakutkan, dan tak tertandingi. Suaranya saja cukup untuk membuat Luis bergidik ngeri.
Rangga menatapnya sejenak, lalu berkata datar,
> “Cepat pimpin jalan.”
Luis menggertakkan gigi, sadar bahwa ia tak punya pilihan. Ia tahu kekuatan Raysia tak bisa ditandingi — tapi dalam hatinya, ia masih yakin bahwa kakeknya, Miko, bisa mengatasinya.
> “Baik. Aku akan tunjukkan jalannya,” katanya dengan nada dingin.
Mereka menyeberangi jembatan menuju bangunan di atas sungai. Di sana berdiri deretan gedung tua yang sepi namun terawat. Tak lama, mereka tiba di depan salah satu bangunan besar dengan pintu besi berat.
Seorang lelaki tua keluar dari dalam, menatap Luis curiga.
> “Luis, orang yang tadi bersamamu itu siapa—”
Kalimatnya terhenti saat matanya menangkap sosok Raysia di belakang Luis. Wajahnya langsung berubah tegang.
> “R-Raysia?!” serunya kaget, lalu berbalik dan berlari masuk ke dalam gedung.
Raysia hanya tersenyum dingin dan melangkah masuk tanpa ragu, diikuti Luis dan Rangga. Begitu mereka melewati ambang pintu, puluhan orang bersenjata muncul dari berbagai arah, mengepung mereka.
Rangga memicingkan mata, memperhatikan aura mereka satu per satu.
> “Mereka semua tingkat puncak,” gumamnya datar. “Tak kalah dengan keluarga Baskoro.”
Jelas sekali, orang-orang itu bukan anggota murni keluarga Stanley. Mereka adalah para petarung dari dunia bawah tanah yang dibayar mahal untuk bekerja di sana.
Langkah kaki berat terdengar dari arah tangga. Seorang pria tua berusia sekitar tujuh puluh tahun menuruni anak tangga dengan tenang. Tubuhnya masih tegap, auranya menekan kuat — tanda bahwa ia adalah seorang tingkat dewa sejati.
Rangga bisa merasakannya, dadanya bergetar oleh tekanan aura itu.
> “Pria tua itu… tingkat dewa,” ucapnya perlahan.
Pria itu menatap dari atas tangga, matanya menyapu Rangga sebentar lalu berhenti pada Raysia. Senyum tipis muncul di wajahnya.
> “Dulu aku sudah tahu kamu akan tumbuh menjadi wanita cantik,” katanya dengan nada santai. “Tak kusangka, di usia lima puluh atau enam puluh tahun, kamu masih secantik ini. Gen keluarga Garcia memang luar biasa.”
Raysia menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.
> “Miko Stanley, hari ini aku datang untuk mengakhiri dendam keluargaku. Kakekku dulu berbaik hati membawamu belajar, tapi kau membalasnya dengan racun dan pengkhianatan. Karena itu, kau pantas mati — dan akulah yang akan mengirimmu ke neraka!”
Rangga, yang berdiri di sisinya, terdiam. Ia baru tahu sekarang bahwa dendam Raysia ternyata berasal dari tragedi kelam di masa lalu. Ia mengerti kenapa wanita itu menyembunyikan semuanya darinya — luka seperti itu tak mudah diungkapkan.
Miko tersenyum dingin.
> “Kau pikir karena kau sudah mencapai tingkat dewa, kau bisa menebus dendam itu? Jangan bodoh. Kau seharusnya menyalahkan gurumu yang pilih kasih — dan kakekmu yang terlalu naif mempercayai omonganku.”
Wajah Raysia berubah merah karena amarah.
> “Hari ini juga, aku akan memenggal kepalamu, Miko!”
Miko tertawa keras.
> “Kau pikir siapa dirimu? Hanya dengan kekuatanmu? Atau bocah laki-laki di sebelahmu itu?”
Nada suaranya berubah sinis.
> “Seharusnya aku tak perlu repot. Aku sudah mengampunimu dulu, tapi rupanya kau tak tahu diri. Setelah lari ke Barbar City seperti tikus, kau malah muncul untuk menantangku. Kalau begitu, jangan salahkan aku bila kau mati hari ini!”
Ia mengibaskan tangannya, memberi isyarat. Seketika, belasan pengawal mengelilingi Raysia dan Rangga dari segala arah.
Rangga tersenyum tipis, langkahnya bergeser satu tapak ke depan. Suaranya tenang, tapi cukup untuk menusuk jantung mereka semua.
> “Kalian boleh menyerang kalau berani,” katanya pelan. “Tapi ingat… siapa pun yang bergerak setelah ini — akan mati.”
Seruuuu.... Komentar nya mana nih.. uda like belum?
Bersambung.
thumb up buat thor