Dimahkotai Mafia Dengan Cinta Dan Kekuatan

Dimahkotai Mafia Dengan Cinta Dan Kekuatan

Calon Suami?

"Mana calon suamimu, kok belum datang juga, Eir?" tanya Savero dengan wajah gelisah.

Bagaimana tidak gelisah? Hari ini, bahkan dua puluh menit lagi, pernikahan Eireen dan Aslan akan digelar.

Tapi, sampai sejauh ini, jangankan keluarganya, laki-laki yang sudah Eireen temani perjuangannya hingga menjadi jaksa itu tidak kunjung terlihat batang hidungnya.

Eireen memaksakan diri agar tetap terlihat tenang. "Sebentar, Paman. Coba aku hubungi Aslan dulu, mungkin ada kendala di jalan."

"Baiklah."

Savero menyisir ruang rias itu dengan pandangan mata, selagi Eireen mencoba menghubungi Aslan lewat telepon genggamnya.

'Dimana juga Anabia dan Zeya? Kenapa tidak terlihat dimana-mana mereka itu? tahu acara sebentar lagi dimulai apa?' batinnya kesal, mencari adik dan keponakannya.

Di sisi lain, wajah cemas mulai menggelayuti Eireen.

Gadis dengan iris mata berwarna abu-abu kebiruan itu tidak kunjung bisa menghubungi

Aslan. 'Aneh, padahal nomornya aktif. Kenapa tidak diangkat juga?'

Dalam benaknya, ia takut, jika Aslan dan keluarganya mengalami musibah, saat berangkat ke gedung acara pernikahan mereka.

Mengingat, biasanya, Aslan fast respon, kecuali saat sedang sibuk dengan pekerjaannya saja.

Eireen coba menghubungi calon ibu mertuanya, tapi sama saja, tidak kunjung ada jawaban, padahal nomornya aktif.

'Ada apa ini? Tumben sekali mereka begini?' batinnya semakin cemas.

Melihat Eireen seperti itu, Savero mendekatinya. "Kenapa, Nak? Tidak bisa dihubungi?"

"Iya, Paman. Aneh sekali, aku jadi khawatir."

"Hmm. Coba hubungi sekali lagi, ibunya juga. Kalau tetap tidak bisa Paman akan melihat ke rumahnya, siapa tahu ada apa-apa."

Eireen menganggukkan kepala, sambil terus mencoba menghubungi. Sayangnya, apapun yang ia lakukan tetap tidak membuahkan hasil.

"Tidak bisa, Paman. Ibunya juga sama, tidak tersambung. Aku semakin khawatir."

"Tenang, Eir." Savero memegang lengan kanan Eireen, menatap mencoba menenangkan. "Kau tenang di sini, biar Paman yang pergi mencari tahu. Ok?"

Eireen menganggukkan kepala, tersenyum tipis.

"Terima kasih, Paman."

Laki-laki yang tidak punya hubungan darah dengannya itu selalu saja bisa ia andalkan.

Bahkan, saat usia 13 tahun, ia ditemukan hampir sekarat di laut, Savero menolongnya, membesarkannya, hingga kini berusia 27 tahun.

Karena itulah, Eireen sudah menganggapnya seperti ayahnya sendiri, tanpa tertarik untuk mencari keluarganya yang asli.

Savero pamit pergi, Eireen ikut mengantar sampai keluar ruangan. Para penata rias hanya melihat mereka pergi, karena pekerjaan mereka selesai untuk sementara.

Di depan ruangan rias itu, tiba-tiba suara laki-laki terdengar. "Pak Savero? Pak Savero? Itu calon mempelai laki-lakinya sudah datang."

Mendengarnya, Eireen tersenyum lega, menatap Savero yang juga menatapnya. "Nah, itu sudah datang, Nak. Mungkin tadi karena sudah dekat, jadi tidak diangkat teleponnya."

"Iya sepertinya, Paman. Entah kenapa aku jadi overthinking sekali tadi."

"Biasa, gugup mau menikah. Ya walau, Paman pikir, kau tidak akan merasa gugup sama sekali. Sejak kecil kau selalu percaya diri dan berani."

Eireen terkekeh, ia tahu, Savero agak-agak menyindirnya, karena dulu, sering dipanggil ke sekolah saat ia buat masalah.

"Sudah datang, Kak?" Suara perempuan terdengar, membuat Savero dan Eireen menoleh.

"Ehm, sudah. Dari mana saja kau itu? Kenapa baru terlihat?" tanya Savero kepada adiknya Anabia.

"Biasalah, perempuan butuh dandan, Paman." Suara Zeya yang berjalan dari belakang Anabia terdengar menyahut.

Eireen dan Savero tampak heran, karena anak Anabia itu sudah memakai gaun, sudah seperti yang dipakai oleh Eireen sebagai calon mempelai wanitanya.

"Dandananmu kenapa begitu, Zeya?" tanya Savero kepada keponakannya.

"Kenapa? Memangnya aku tidak boleh tampil cantik, Paman?" Zeya bertanya balik.

Eireen sendiri hanya menyeringai tipis. Dari dulu, Zeya memang suka sekali meniru dirinya, atau ingin memiliki yang ia punya.

Karena ia anak dari adik Savero, Eireen memperlakukan Zeya seperti kakaknya sendiri. Ya walau, Zeya dan ibunya, lebih sering menjadi beban untuknya.

Demi balas budi pada Savero, ia tetap menganggap Zeya dan Anabia seperti keluarganya sendiri.

"Ya boleh-boleh saja. Tapi ---"

Perkataan Savero disela oleh Anabia. "Sudahlah, ayo ke depan, saatnya menemui calon pengantin prianya!"

Mengherankannya lagi, Anabia memeluk Zeya dari samping, sudah seperti sedang mengiring calon pengantinnya saja.

"Lho ---" Savero pun sampai heran, mau protes. Tapi, Eireen segera berkata, "Sudah tidak apa-apa, Paman."

"Hmm."

Akhirnya, Eireen menggandeng tangan Savero, berjalan ke arah ruangan utama, dimana pernikahannya digelar.

Namun, saat melihat calon suaminya pertama kali, Eireen yang tadinya tersenyum tiba-tiba saja terhenyak.

Ia dan Savero bahkan menghentikan langkah, tatkala Azusa ibu Aslan memeluk Zeya sambil berkata, "Aduh.... calon menantu ibu cantik sekali begini....!"

'Menantu?' batin Eireen dan Savero bersamaan, karena saking herannya.

Lebih-lebih Aslan pun tampak bangga dan terpesona melihat Zeya. Padahal mereka tidak terlihat dekat dulu. Kenapa tiba-tiba begini?

"Apa maksudnya?" celetuk Eireen curiga sambil melanjutkan langkah, mendekati calon suaminya.

Savero mengikutinya, menatap penuh tanya juga.

Dengan begitu percaya dirinya, Zeya menggandeng lengan Aslan.

Setelah mereka berdua saling tatap sekilas, seperti sepasang kekasih, Aslan berkata kepada Eireen. "Ah... apa aku lupa mengatakan kepadamu?"

"Mengatakan apa?" Eireen melihat sekilas tangan Aslan yang mengusap-usap tangan Zeya yang melingkari lengannya.

Semuanya tampak aneh dan mencurigakan. Lebih-lebih, orang-orang dari kedua keluarga tidak terlihat heran, seperti dirinya dan Savero. Seolah yang tidak tahu apa-apa, hanya dia dan Savero saja.

"Aduh, kau pasti lupa memberitahu, kan, Sayang?" Zeya menepuk gemas dada Aslan, sudah seperti pasangan kekasih yang saling mencintai.

"Lihat, dia sampai susah-susah make up, sudah seperti yang akan menikah saja!" imbuhnya sambil melirik sinis, dengan seringaian mengejek ke arah Eireen.

Aslan terkekeh. "Iya-iya, maaf. Aduh, maaf ya, Eir? Aku terlalu sibuk, sampai lupa, kalau jadinya, aku akan menikahi Zeya, bukan dirimu. Maaf sekali lagi."

Bagai tersambar petir, Eireen dan Savero terhenyak sekali lagi. Tatapan mata Zeya dan Anabia pun terlihat jelas mengejek bercampur merendahkan harga diri.

Eireen menahan geram. Ia tatap Aslan dan bertanya, "Apa maksudnya? Bahkan kemarin malam, kau masih memintaku untuk menggantikanmu dulu melunasi semua biaya pernikahan kita ini. Kau bilang, kau baru bisa membayar bagianmu nanti, saat awal bulan depan."

Eireen dan Aslan kebetulan menggunakan jasa WO lengkap yang diselenggarakan satu pihak, dengan pelunasan akhir di h-1.

Awalnya, itu bagian Aslan yang harusnya melunasi. Tapi, laki-laki itu kemarin berdalih, memohon pada Eireen untuk membantunya melunasi dulu.

Eireen pikir, calon suaminya itu sungguhan sedang dalam masalah keuangan, karena memang ia tahu benar, jika ibunya suka berulah dengan gaya hidup sok mewahnya. Ternyata, ada udang di balik batu yang memanfaatkan sikap baiknya.

Mendengar perkataan Eireen, Aslan terkekeh.

"Tadi kan aku sudah minta maaf, Eir. Aku lupa. Lagipula, ini pernikahanku dengan Zeya yang sudah kau anggap kakak sendiri bukan? Harusnya sudah benar, kau yang membiayainya."

Lihatlah, Eireen sekarang sadar benar, jika ia bukan hanya dikhianati, tapi juga dimanfaatkan habis-habisan oleh mereka!

Belum sempat Eireen bicara, Anabia dengan sombongnya menaikkan dagu berkata, "Ya, itu benar sekali. Kau itu sudah ditampung keluargaku bertahun-tahun, anggaplah itu sebagai balas budi!"

Zeya menganggukkan kepala mantap.

"Harusnya sih kau juga tahu diri. Mana mungkin, Aslan yang seorang jaksa mau menikahimu yang cuma seorang sopir? Jelas-jelas aku lebih pantas, karena lulusan sarjana!"

"Ya kan, Sayang?" imbuhnya sambil menatap Aslan manja.

"Tentu saja, hanya kau yang pantas jadi istriku, Zeya Sayang." Aslan pun unjuk memamerkan kemesraan dengan menyentuh sekilas dagu Zeya.

"Cukup, kalian keterlaluan!" sergah Savero yang sudah tidak bisa menahan amarahnya.

"Eir..." Savero menoleh ke arah Eireen, mau membesarkan hatinya, membelanya.

Tapi, ia tertegun, tatkala melihat Eireen menyeringai penuh arti. Tatapan mata dengan iris abu kebiruan yang misterius itu seolah dipenuhi kobaran api.

Savero yang melihatnya menenggak ludahnya sendiri. Ia sangat hafal tabiat Eireen yang selalu berani melawan, lebih-lebih jika ada penindasan.

'Astaga,' batinnya kemudian menatap satu per satu adik dan keponakannya. Ia khawatir, entah apa yang akan Eireen lakukan kepada mereka setelah ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!