‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28 : Tanya suamimu, tentang rasanya
Amran terkejut, spontan lingkaran tangannya mengendur dan langsung dimanfaatkan oleh istri pertamanya.
“Jangan mengada-ada kau! Mana mungkin putri dari wanita gila masih suci. Kau kira aku percaya? Oh tentu tidak. Perawatan ibumu itu pasti memakan biaya tak sedikit diluar pengobatan gratis asuransi kesehatan perkebunan. Jadi, darimana dirimu bisa mempunyai uang sementara kau hanya lulusan SMP, pekerja kasar – kalau tidak menjajakan diri. Dasar pembohong!” Masira berdiri angkuh, dagu terangkat pongah, dan tatapan menghina.
Dahayu tidak terprovokasi, bibirnya menyeringai licik, sementara matanya melirik pria yang senantiasa berjaga seperti seorang wasit, berdiri di samping kedua istrinya sedang berseteru.
“Kau tanya saja suamimu itu, bagaimana rasanya mencicipi sesuatu masih tersegel, belum terjamah, sehingga dirinya tak kuasa berulang kali memekik kecil dengan raut puas, mata terpejam sangat menikmati percintaan kami di sore hari.”
“Kau_ kau!” ia kehilangan kata-kata, tubuhnya terhuyung hingga betisnya menabrak sofa.
Amran memejamkan mata, daripada menghadapi dua wanita adu mulut, dia lebih memilih turun kelapangan, memantau langsung kinerja para jajaran berpangkat Mandor. Ataupun bernegosiasi dengan warga yang lahannya hendak dia beli untuk memperluas perkebunan miliknya.
Masira menarik ujung kaos suaminya, menatap menuntut meminta jawaban akan kalimat menghujam dada.
“Ya, kami sudah melakukannya.”
“Kau mengkhianatiku, Mas! Mengapa harus menikmati, apa tak bisa cuma sekedar memasuki tanpa harus berlama-lama, apalagi melibatkan emosi?!” dia memekik dengan sorot mata terluka.
Dahi Dahayu berkerut, menatap aneh pada wanita yang tengah tantrum, tak jauh berbeda dari sang ibu kala epilepsinya kambuh.
“Anda lucu sekali Nyonya Masira – bukan cuma mencarikan wanita untuk dijadikan tempat penampungan janin, tapi mengharuskan sesuatu yang jelas Anda sendiri tak kuasa mengendalikannya. Namun, terlalu congkak memilih maju, menanamkan keyakinan kalau semua masih tetap sama, padahal ada Tuhan yang maha membolak-balikkan hati manusia.”
Masira yang sudah terlanjur emosi, merasa seolah dirinya korban dari ketidaksetiaan sang suami, menerjang Dahayu. “Diam kau! Dasar murahan!”
Dahayu bukanlah gadis lemah, mudah ditindas, dia memiliki fisik kuat. Tentu sangat mudah baginya untuk menghindar dan melawan. Didorongnya badan Masira yang memiliki tinggi hampir sama, hingga terjengkang.
Bugh!
“Dahayu!” Amran menghardik, menatap tajam wanita yang memandang muak.
Dahayu seperti merasa mengulang reka adegan saat melihat Wisnu menolong kakak tirinya, sama seperti sekarang Amran membentak dengan menatap lekat, ekspresi dingin.
Sang istri kedua pun melangkah keluar, menaiki batas tangga ruang keluarga.
Amran membopong Masira, mendudukkannya di sofa, lalu berlari mengejar Dahayu.
“Mas Amran!” Kepalan tangannya meninju angin, hatinya panas bukan main.
.
.
“Kau mau kemana?” Lengan kurus sehingga saat dia genggam langsung terasa tulang itu disentak hingga Dahayu berbalik.
“Bukan urusanmu!” Ia mencoba melepaskan cekalan kuat.
“Saya suami mu, kalau kau lupa maka diri akan terus mengingatkannya!” Amran menarik pinggang istrinya, lalu mendekat erat. “Maaf, tapi saya tidak suka kau berbuat kasar seperti tadi.”
Bukannya luluh, malah Dahayu kembali emosi. Menggigit kuat dada bagian otot pektoralis (dada) Amran, sampai si empunya sedikit meringis, tapi tetap tidak melepaskan pelukannya.
“Lepas!”
“Tidak. Sebelum kau setuju untuk masuk kedalam rumah.” Dibelainya lembut rambut pendek sang istri kedua. “Tak perlu mencemaskan apapun, saya akan berbicara lagi dengan Masira.”
Sekuat tenaga Dahayu memberontak, mendorong dada Amran, menatap nyalang. “Kalimatmu tadi seakan aku berharap sekali untuk dapat tinggal di sini. Maaf, aku tak sudi dikasihani cuma demi bisa tinggal ditempat mewah, tapi sewaktu-waktu harus menelan pil pahit kata-kata caci maki. Memang diriku miskin, tak berpendidikan, tapi mentalku bukan mental pengemis!”
“Bukan itu maksud saya, Yu,” ia mencoba bersabar, hendak meraih pergelangan tangan sang istri tapi langsung dihindari.
Tanpa memutuskan pandangan, Dahayu mundur. Ekspresinya kian dingin, kata-katanya semakin tajam. “Aku ingin pulang ke tempat dimana diri ini tinggal. Kalian tak perlu khawatir tentang perjanjian itu – saat tiba waktunya menstruasi, aku akan memberitahumu ada atau tidaknya janin di perutku.”
“Saya tak mengizinkan mu meninggalkan villa ini! Ingat pengobatan Ibuk, Yu. Jangan egois!” nadanya menggeram, tatapan mata terlihat kesal.
“Bukan aku yang egois, tapi dirimu Tuan Amran! Bila ibuku tinggal dirumah bak neraka ini, yang ada bukan sembuh tapi penyakitnya bertambah parah. Dia tak bisa mendengar suara lengkingan tinggi, sementara istri tercinta mu itu selalu menyulut emosi dan memaki. Jadi, jangan bawa-bawa nama Ibuku!”
“Baiklah, saya akan mengatur tempat tinggal di villa berjarak lima hunian dari sini, setelah semuanya beres, dan layak ditempati – saya akan menjemput kalian!” akhirnya dia memutuskan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dalam angan kala pertama kali menyetujuinya keinginan gila sang istri pertama.
Amran menghubungi Randu, meminta sang asisten mengantarkan Dahayu ke afdeling lima.
Meskipun suasana sedang panas membara, dan dibalik jendela ada Masira yang mengepalkan tangan dan menangis seraya terus merutuk – Amran tetap bersikap lembut, mengusap pucuk kepala Dahayu sebelum wanita itu masuk ke dalam mobil.
***
"Kau berubah, Mas. Belum pernah dirimu membujukku selembut itu. Selalu menyodorkan kartu kredit ataupun uang tunai saat aku protes akan perhatian yang kurang, dan perlakuanmu yang semakin dingin. Mengapa, Mas?" Dia menghadang langkah suaminya.
"Karena kau bukan Dahayu. Dan dia jauh berbeda darimu, Masira. Uangku tak laku baginya, ia tak silau oleh harta. Kesehariannya berjibaku diperkebunan – membabat rumput, menyemprot tumbuhan liar, berteman dengan alat tani." Amran menelisik istri pertamanya, ia terngiang-ngiang akan kalimat menohok saat di dalam mobil.
"Sementara kau, hari-harimu dihabiskan dalam ruangan ber AC, menikmati pijatan lembut tangan profesional klinik kecantikan. Setiap minggu pergi berkumpul dengan teman sosialitamu, nongkrong di cafe ala-ala wanita kota. Tentu kalian berbeda bukan?" tanyanya sedikit menyindir.
"Ya jelas beda, Mas. Aku lulusan sarjana, dia – cuma sekolah menengah pertama. Diriku bersuamikan pria mapan, hartawan, yang tak pernah melarang diri ini berbelanja, merawat diri _"
Amran memotong perkataan Masira. "Sekarang kau paham kan, mengapa perlakuanku jauh berbeda dengannya bila dibandingkan denganmu?"
"Maksudnya?" ia masih belum menangkap makna perkataan suaminya.
"Bila itu dirimu, cukup sodorkan kartu kredit, uang tunai, barang-barang branded. Maka kau langsung terdiam, lalu menghilang dan asik dengan duniamu sendiri. Kemudian kembali datang ke perkebunan ini saat menginginkan sesuatu, atau saldo rekening khusus uang bulanan dariku menipis, betul bukan?"
Deg.
Masira kehilangan kemampuan berbicara, kata-kata tersusun rapi langsung tercerai berai.
"Tenang saja, tak perlu kau merasa cemas. Selagi dirimu bahagia, aku tetap memenuhi kebutuhanmu tanpa syarat. Bukankah hal itu sudah berlangsung selama lima tahun, dan sedari awal diri inipun menyetujuinya." Dibelainya lembut pipi kanan bekas ditampar Dahayu.
"Sekarang boleh aku meminta sedikit imbalan, atas kemurahan hati, dan semua yang telah aku beri, lakukan kepadamu dan keluargamu, Masira ...?"
.
.
Bersambung.
Akan kah terjadi perpisahan
bagaimana cara merayu hati yang telah tersakiti.
menjaga harga diri, demi kasih ..
menjaga martabat bunda dari terjangan memori yang terpendam...
hingga akhirnya meletup dan aib pun terpampang nyata ,tanpa kuasa mencegahnya.
Oh dahayu...ketabahan,keikhlasan seolah tidak bisa menutupi semua luka...
tengah malam nangis aku thor..
itu baru tamparan hadiah yg lain nyusul..
Ibu Irn hanya termakan jasutan Masira saja.