"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Canggung
Helaan napas kasar beberapa kali terdengar keluar dari bibir Indira kala kakinya menginjak aspal. Ia baru saja turun dari mobil Rada di tempat biasa. Hatinya kesal karena sudah beberapa hari ini sang suami selalu bersikap dingin padanya.
"Ck! Dasar, Rada rese! Rese rese rese!"
Kaki wanita itu menendang-nendang udara dengan asal. Kedua pipinya mengembung. Sesekali ia menoleh ke belakang di mana mobil sang suami masih belum melaju. Ya, biasanya mobil itu akan bergerak ketika Indria sudah memasuki halaman gedung Nuswantara.
"Dira!"
Panggilan itu sukses mengalihkan atensi Indira. Ia menoleh ke sumber suara dan mendapati Rumi tengah berjalan tergesa ke arahnya.
"Ck! Pagi-pagi udah cemberut aja! Kenapa, sih?" tanya Rumi setelah tiba di dekat sahabatnya. Ia gandeng lengan wanita itu untuk berjalan bersama.
Indira tidak menjawab. Ia tetap menekuk wajah hingga memasuki ruangan, membuat Rumi keheranan.
Sebelum menyalakan komputernya, Rumi lebih dulu menggeser kursi agar lebih dekat dengan Indira. Ia tatap wajah sang sahabat lamat-lamat.
"Dir ...," panggilnya sembari menggenggam tangan wanita itu. "Kamu lagi ada masalah, ya? Mau cerita?"
Akan tetapi, Indira tetap diam. Wanita itu malah menghela napas sambil memijat pelipisnya. Hingga setelah beberapa lama, ia bersuara, "Aku lagi pusing, Rum."
Hem, kelihatannya ini lebih menarik daripada segudang pekerjaan yang menanti Rumi. Karena itu ia makin menggeser duduknya ke dekat Indira.
"Cerita, Dir. Ada apa? Apa ini tentang Rada? Ayolah ... kamu gak usah ragu buat curhat sama aku."
Indira masih diam. Ia hanya menoleh pada sang sahabat. Kepalanya tengah berpikir apakah akan baik jika ia bercerita pada Rumi. Namun, jujur saja, Indira sudah pusing rasanya karena Rada selalu menghindar alih-alih menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.
Barangkali setelah bercerita pada Rumi, ia bisa mendapat solusi.
Baiklah, sepertinya ia perlu berbagi dengan seseorang.
"Rum, setelah makan siang itu Pak Revan buntutin mobil Rada sampai rumah. Gak tahu, deh, apa tujuannya. Yang jelas, habis itu sikap Rada jadi beda. Apalagi setelah tahu kalau sebelumnya aku ada nemuin Pak Revan."
"Astaga ...."
Mulut Rumi seketika menganga. Rasa bersalah muncul di hatinya kala teringat ialah yang keceplosan membocorkan pertemuan Indira dan Revan.
"Yaa ampun ... maaf, Dir. Semua gara-gara aku. Duh, pake keceplosan segala lagi, nih, bibir!" Rumi merutuki dirinya sendiri.
"No! Gak usah merasa bersalah gitu. Lagian aku ketemu Pak Revan bukan buat macam-macam, kan? Harusnya sih Rada gak marah."
Aneh memang. Indira pun heran sendiri pada sang suami. Apa yang perlu dipermasalahkan coba?
"Tapi, Dir ... dia tahu gak maksud kamu ketemu Pak Revan itu buat apa?"
Kali ini Indira menggelengkan kepala yang sontak membuat Rumi berdecak. Telunjuk wanita itu menoyor keningnya dengan kesal.
"Ya, jelaslah dia marah, orang kamu gak cerita!"
Di sisi lain, Rada yang baru mendudukkan tubuhnya di kursi kerja pun tampak tak semangat. Perasaannya masih kacau, pikirannya tak karuan.
Memang, mungkin ia terkesan egois karena tiba-tiba bersikap tak acuh pada Indira. Namun, semua itu ia lakukan hanya semata karena menginginkan waktu sendiri agar otaknya bisa berpikir jernih.
Jujur saja, ia selalu takut kala emosinya naik dan berada di dekat sang istri. Takut ucapan atau tindakannya tiba-tiba melukai wanita itu.
"Kenapa, Rad? Kusut banget muka kamu," tanya Rendi. Namun, Rada hanya menjawab dengan gelengan pelan.
Biarlah masalah ini ia genggam sendiri saja.
***
Jarum jam terus bergerak tanpa henti, menggantikan pagi menjadi siang hari.
Siang ini, Indira tidak bisa makan bersama Rumi karena wanita itu harus pergi keluar untuk urusan pekerjaan. Sebenarnya, ia pun diajak, tapi malas dan tak ingin ke mana-mana.
Akhirnya kini Indira duduk di kursi kantin sendirian, menatap seporsi mie ayam dan teh manis yang belum disentuh sama sekali.
Hening menyelimuti Indira meski sekitarnya bising oleh suara sendok dan percakapan orang-orang. Hingga sebuah suara berhasil memecah keheningannya.
"Kamu cuma sendiri, Dira?"
Ah, itu Revan. Kenapa malah pria itu yang datang?
"Iya, Pak," jawabnya dengan sedikit senyum yang dipaksakan.
"Boleh saya gabung di sini?"
Pertanyaan itu terlontar dari bibir Revan. Namun, Indira belum memberi jawaban. Wanita itu malah mengedarkan pandangan ke sekeliling seolah sedang mencari seseorang. Hingga matanya menangkap dua sosok yang dikenal, baru saja memasuki kantin.
Segera saja ia berteriak, "Rada! Rendi!" Tangannya melambai, meminta orang yang dipanggil itu mendekat.
Rada dan Rendi sontak menghentikan langkah. Mereka menatap Indira dari kejauhan dengan kening mengkerut.
"Duh, ada Pak Revan, lagi. Kita cari tempat lain aja, Rad. Saya malas satu meja sama Pak Revan," ucap Rendi. Kakinya hendak berputar, tapi Rada segera menahan.
"Kita samperin mereka aja. Ayo!" ajaknya.
"Hah?"
Rendi ingin menolak, tapi Rada sudah lebih dulu melangkah ke arah meja Indira.
"Selamat siang, Pak," sapanya pada Revan.
"Selamat siang."
Sontak senyum di wajah Indira terbit melihat sang suami mau mendekat, meski bersama Rendi.
"Oh, ya ampun ... kalian ini aku tungguin dari tadi, lho," seru wanita itu.
Revan menatap Indira, Rada dan Rendi bergantian. "Kalian janjian?"
"Eng—"
"Iya!"
Sepasang suami-istri itu kompak memotong ucapan Rendi.
"Oh ...." Revan manggut-manggut mengerti. Memang sedikit heran, tapi ia tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Saya pesan makan dulu, deh. Kamu mau pesan apa, Rad?" tanya Rendi. Ia malas berlama-lama di dekat Revan hingga tak membahas apa arti kekompakkan Indira dan Rada dalam membohongi pria itu.
"Seperti biasa aja," jawab Rada santai. Ia kemudian menatap pada Revan. "Pak Revan mau gabung?"
"Ah, gak usah. Saya cari tempat lain aja," jawab pria itu yang membuat Indira seketika merasa lega.
Begitu Revan pergi, wanita itu langsung kembali duduk di kursinya. Disusul Rada yang menjatuhkan bokong di kursi depan. Keduanya saling diam, hingga beberapa saat diselimuti keheningan.
'Aduh, kok malah canggung gini, sih?' batin Indira. Ia seolah kehilangan kata, tak tahu harus mulai bicara dari mana.
Sementara itu di jalan, Rumi yang tengah menyetir sejenak memicingkan mata kala melihat Adnan dan Dita masuk ke sebuah wedding galery. Keningnya mengkerut tak suka.
Tidak salah lagi. Pasti dua manusia pengkhianat itu akan menikah.
"Ini gak bisa dibiarin!" geramnya.
Wanita itu membawa mobilnya menepi di depan sebuah butik. Tanpa menunggu lama, ia turun dari mobil dan masuk ke tempat yang berisi gaun dan jas pernikahan itu. Pelan-pelan ia mengikuti langkah Adnan dan Dita yang tampak memilih gaun pengantin.
"Yang ini bagus gak? Atau yang ini? Bagusan yang mana?" Dita tampak antusias, membuat Rumi seketika mual.
'Cih, belagu!' batin wanita itu.
Ia masih berdiri santai beberapa meter di belakang Dita dan Adnan. Namun, matanya seketika membola saat mendengar pria itu mengucapkan sesuatu.
"Tiga-tiganya bagus. Udah, deh, kamu gak usah jingkrak-jingkrak begitu. Aku takut kamu pendarahan lagi."
Deg.
What? Pendarahan? Apa Rumi tidak salah dengar?
mumet ini pasti rada udah kerjaan belum dapet, kek nya mau nambah anggota baru ke
selamat ya dir mau jd ibu