Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muffin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cakrawala vs Nusantara
Pertandingan sudah akan dimulai. Suasana di sekitar lapangan mulai ramai dengan sorakan penonton yang memenuhi tribun. Tessa kini sudah duduk bersama Diana, Raisa, dan Putri di deretan kursi yang disediakan untuk pendukung tim kampus mereka.
"Tess, lo hutang banyak penjelasan ke gue!!" ujar Raisa sambil melipat tangan di dada dan memasang wajah pura-pura kesal. "Gimana ceritanya lo bisa se mobil sama Rajata?"
"Lah, bego!! Dia kan saudaranya," sahut Putri cepat, menatap Raisa dengan pandangan geli.
"Iyaa juga, gue lupa! Hahaha," balas Raisa sambil tertawa kecil.
Tessa hanya menggelengkan kepala, tersenyum simpul. Tapi sebelum sempat menjawab apapun, Diana—ikut menyela, "Oh ya, terus kata Putri lo ke Bandung juga? Ngapain?"
Pertanyaan itu membuat senyum di wajah Tessa perlahan memudar. Ia belum sempat menjawab, matanya justru teralih pada sosok yang kini muncul di pinggir lapangan. Arjuna.
Cowok itu berdiri di dekat pintu masuk. Saat matanya bertemu dengan Tessa, ia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar—senyum khasnya yang hangat dan tulus.
Tanpa sadar, Tessa ikut melambaikan tangan kecil ke arahnya, senyum mengembang di wajahnya.
Hay... sorry nih, agak macet," ujar Arjuna sambil menepuk-nepuk celananya, duduk di kursi kosong sebelah kanan Tessa.
"Lahh, lo ikut nonton juga, Jun?" tanya Raisa yang duduk di sisi kiri Putri, sedikit mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat Juna.
"Iyaaa lah. Dukung kampus sendiri," jawab Arjuna santai, senyum tipis mengembang di wajahnya.
"Dukung kampus sendiri... atau karena modus aja lo mau deket sama Tessa?" celetuk Diana tajam dan cepat seperti biasa, tidak membuang waktu untuk menggodanya.
Semua langsung meledak tertawa. Tawa mereka menyatu dengan riuhnya tribun, tapi tetap saja kalah dari suara masing-masing kelompok penonton yang meneriakkan yel-yel dukungan untuk tim kampus mereka.
Di tengah gemuruh itu, Rajata yang sudah memasuki lapangan bersama rekan-rekannya tanpa sengaja melirik ke arah tribun. Pandangannya menyapu deretan penonton—dan berhenti saat menemukan Tessa.
Tatapan mereka bertemu.
Sekilas. Tapi cukup lama untuk membuat waktu terasa melambat bagi keduanya.
Tessa yang sedang menahan senyum karena lelucon Arjuna, mendadak diam. Sorot mata Rajata bukan sekadar menatap—nggak marah, lebih terlihat seperti peringatan.
Sorot mata itu mengingatkannya pada ucapan Rajata saat mereka berpisah tadi.
"Lo boleh ke temen-temen lo, tapi jangan duduk di sebelah Juna."
Dan sial nya, Juna justru duduk tepat di sebelahnya.
Tessa termenung. Tatapannya ke lapangan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Beberapa kali Arjuna memanggil, tapi ia hanya membalas dengan anggukan atau senyum tipis—sekadar basa-basi.
Sementara itu, di tengah lapangan, Rajata berdiri bersama rekan-rekannya mengenakan jersey biru dongker membuat lingkaran kecil. Coach Aldo berada di tengah, memandang setiap pemain dengan serius.
“Ingat, fokus,” ucap Coach Aldo dengan nada tegas. “Lawan kita cukup kuat. Mereka punya Jeremy di posisi shooting guard—tembakannya akurat dan cepat. Jangan kasih dia ruang.”
Semua pemain mengangguk, menyimak dengan serius.
“Jaga komunikasi. Jangan egois. Kita menang bukan karena satu orang, tapi karena tim. Main yang cerdas.”
Suasana hening sejenak. Lalu tangan-tangan mereka bertumpuk di tengah.
Satu napas.
“CAKRAWALA”
“BISAAAA!!!"
Teriakan mereka membelah riuhnya stadion. Peluit pun dibunyikan. Pertandingan dimulai.
PRIIIIITTTTT!!!!!
Kuarter 1
Peluit awal dibunyikan.
TIP-OFF dimenangkan oleh Jevan, dan bola langsung diamankan Rajata.
Rajata, kapten sekaligus point guard, memimpin dengan tenang. Ia mengatur tempo, melempar isyarat cepat ke Aksa di sisi kiri. Aksa langsung lepaskan tembakan tiga angka—masuk bersih! Sorakan dari tribun Cakrawala meledak.
Namun, Kampus Nusantara tak tinggal diam. Jeremy, shooting guard mereka yang dikenal mematikan, langsung membalas dua poin cepat lewat drive menusuk. Gerakannya cepat dan tak tertebak.
Di bangku pelatih, Coach Aldo berdiri tegak. “Jangan kasih Jeremy celah! Press dia dari awal!”
Kala menjaga sisi pertahanan dengan baik, memotong umpan. Tibra memanfaatkan momen itu untuk melakukan fast break, namun tembakannya membentur ring. Bola direbut Jevan—rebound kuat!
Permainan berlangsung cepat. Kedua tim sama-sama belum mau mengalah.
Peluit berbunyi.
Skor Kuarter 1: Cakrawala 14 – Nusantara 13
Kuarter 2
Peluit babak kedua dibunyikan.
Kampus Nusantara langsung tancap gas. Mereka mengganti strategi jadi lebih agresif, menekan sejak awal kuarter. Jeremy yang semula bermain cepat kini lebih tajam, menusuk ke pertahanan dan memancing foul dari Tibra.
Dua free throw—masuk semua.
Skor berbalik. Penonton Nusantara makin riuh.
Rajata terlihat mulai kehilangan fokus. Matanya sesekali melirik ke tribun, dan ia terlambat memberikan umpan ke Aksa. Bola nyaris direbut. Coach Aldo mulai cemas di pinggir lapangan.
“Ja! Fokus ke depan, bukan ke belakang!” teriaknya.
Sementara di tribun, Tessa terlihat tegang. Tanpa sadar, ia menggaruk punggung ibu jarinya—kebiasaan lamanya saat gugup. Cakrawala tertinggal poin, dan Rajata di lapangan jelas tampak frustrasi.
Nusantara terus menekan. Kali ini Jeremy bekerja sama dengan power forward mereka, membuat pertahanan Cakrawala kacau. Dua serangan berturut-turut menambah poin untuk mereka.
Aksa mencoba membalas lewat tembakan tiga angka, tapi meleset. Jevan mencoba rebound, tapi bola jatuh ke tangan lawan.
Timeout diminta oleh Coach Aldo.
Pemain dikumpulkan. Suasana tegang.
“Lo kapten, Ja. Kalau lo nggak fokus, yang lain juga ikut nggak fokus," ujar Coach Aldo sambil menatap Rajata tajam.
"Ingat, posisi lo point guard, pengatur strategi tim. Main lebih baik kali ini. Fokus ke tim."
Rajata hanya mengangguk. Ia tahu, sebagai kapten dan point guard, satu kesalahan darinya bisa menghancurkan ritme tim.
Setelah timeout, permainan mulai membaik sedikit. Kala berhasil mencuri bola, memberikan momentum pada Cakrawala. Tibra menambah dua poin lewat lay-up cepat.
Namun hingga akhir kuarter, Nusantara tetap unggul tipis.
Peluit tanda akhir kuarter kedua dibunyikan. Skor babak pertama: Cakrawala 28 – Nusantara 30
Ruang ganti Cakrawala dipenuhi suara napas berat dan tetesan keringat. Tertinggal dua poin bukan hal besar—tapi cukup mengguncang mental mereka yang biasanya memimpin sejak awal.
Coach Aldo berdiri di depan mereka, suaranya rendah tapi tajam.
“Lawan kita makin agresif, kalau kalian nggak fokus kita bisa tenggelam. Terutama kamu Rajata!”
Rajata menatap pelatihnya—tidak membalas, hanya diam.
“Kita ini bukan tim pengecut, kalian semua bekerja keras sampai sejauh ini bukan untuk kalah!”
“Kita bisa balik keadaan, Coach.” Sahut Rajata tegas.
Coach Aldo akhirnya tersenyum tipis, puas melihat semangat itu kembali.
“Bagus. Main cepat, jangan kasih Jeremy napas. Reset pikiran lo. Kalau lo nggak bisa mikir jernih—kasih aba-aba. Kita main sebagai tim, bukan sendiri-sendiri.”
Semua mengangguk. Ketegangan mulai berubah jadi fokus.
Tangan mereka bertumpuk di tengah.
“CAKRAWALA!”
“BISAAA!!!”
Kuarter 3
Peluit kuarter tiga dibunyikan. Cakrawala kembali ke lapangan dengan semangat baru.
Rajata memimpin pergerakan dengan lebih tenang. Ritme permainan Cakrawala meningkat. Aksa mencetak tiga poin cepat, disusul fast break dari Tibra yang kali ini masuk mulus. Jevan merebut dua rebound penting, memperkuat pertahanan.
Cakrawala unggul lima poin. Sorak-sorai tribun mereka menggema lagi. Semangat tim kembali menyala.
Tapi keunggulan itu justru membuat tim Nusantara makin agresif. Mereka mulai menekan ketat. Dan Malik, forward andalan mereka, mulai bermain kasar.
Sebuah perebutan bola di dekat garis tiga poin membuat Rajata harus menggiring cepat ke kiri. Tapi sebelum bisa lepas umpan, Malik tiba-tiba menyenggol bahunya dengan keras—terlihat seperti tabrakan biasa, tapi terlalu kasar untuk disebut wajar.
BRUKKK!!
Rajata kehilangan keseimbangan dan jatuh menghantam lantai tepat dilutut sebelah kiri.
“Foul! Wasit!” teriak Aksa sambil menunjuk Malik.
Wasit meniup peluit, tapi hanya memberi peringatan, bukan pelanggaran berat.
Coach Aldo berdiri dari bangku cadangan, wajahnya tegang.
Rajata bangkit perlahan, menahan sakit di sisi tubuhnya. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa ia masih bisa lanjut.
Namun dari raut wajahnya—rasa sakit dan emosi mulai bertabrakan. Dan itu mulai memengaruhi fokusnya.
Kuarter terus berjalan dengan intensitas tinggi. Tapi kejadian itu menjadi titik awal goyahnya sang kapten.
Peluit akhir kuarter tiga dibunyikan.
Skor: Cakrawala 49 – Nusantara 45
Kuarter 4
Peluit kuarter empat dibunyikan.
Permainan langsung berjalan keras sejak detik pertama. Kampus Nusantara mulai main full-press, menutup setiap ruang gerak Cakrawala. Bola bergerak cepat dari tangan ke tangan—Rajata ke Aksa, lalu ke Tibra. Namun tekanan lawan juga tak main-main.
Empat menit berjalan. Skor imbang.
Rajata mencoba memotong arah serangan, tapi Malik kembali datang dari sisi yang sama—kali ini tak hanya menyenggol, tapi seperti menabrak.
BRUUKK!!
Rajata jatuh keras, punggungnya membentur lantai. Dentuman tubuhnya membuat semua penonton terdiam seketika.
Ia tidak langsung bangun. Wajahnya menegang, matanya terpejam kuat menahan nyeri. Otot Rahangnya menegang, dan tangannya menggenggam lutut kiri yang tampak mulai membengkak. Napasnya memburu, pendek dan tak beraturan.
Sorakan yang awalnya membahana tiba-tiba menghilang berubah jadi hening.
“Woyyy! Curang looo!!”
Diana langsung berdiri dan berteriak keras dari tribun, wajahnya memerah karena emosi.
Tessa terpaku. Matanya membesar, napasnya tercekat melihat Rajata yang tak kunjung bangun dan memegangi lututnya.
Aksa langsung lari mendekat. Tibra berteriak ke arah wasit.
“Itu pelanggaran, wasit! Dia sengaja!”
Wasit meniup peluit keras. Pelanggaran dinyatakan. Tapi perhatian semua orang tertuju pada Rajata yang masih terbaring, menggertakkan gigi menahan sakit.
Coach Aldo masuk ke lapangan.
“Rajata,” bisiknya sambil berlutut di samping pemain andalannya, “kalau kamu maksa, kamu bisa makin parah.”
Sedangkan di tribun lawan, ekspresi Nadia ikut menegang. Senyumnya yang semula percaya diri lenyap seketika saat melihat Rajata terjatuh. Matanya membesar, tubuhnya refleks condong ke depan, menahan napas—ada kepanikan yang tak bisa ia sembunyikan.
Aksa dan Jevan memapah Rajata keluar lapangan, langkah mereka pelan namun pasti.
Sorak berubah jadi tepuk tangan simpati dari tribun Cakrawala. Bima, pemain cadangan, segera masuk menggantikan posisinya.
Tanpa pikir panjang, Tessa langsung bangkit dan berlari turun dari tribun. Tidak peduli panggilan dari Raisa dan Putri yang berusaha menahannya.
“Tessa! Lo mau ke mana?!”
Ia berlari cepat menuju bangku cadangan, hatinya penuh rasa cemas. Namun langkahnya mendadak terhenti.
Di sana, Liora sudah berdiri di samping Rajata, ikut membantu tim menstabilkan posisinya. Wajah Liora tampak tegang—penuh perhatian. Tangannya sempat menyentuh bahu Rajata.
“Kita ke rumah sakit, ya, Ja?” ajak Liora pelan.
Rajata sempat ingin menolak, tapi nyeri di lututnya membuatnya sadar—dia butuh pertolongan medis. Ia hanya mengangguk.
Namun saat hendak melangkah, matanya menangkap sosok Tessa, berdiri tak jauh dari mereka.
Pandangan mereka bertemu. Singkat, tapi cukup untuk membuat segalanya terasa hening.
Tessa mendekat. Tatapannya tajam, menohok pada tangan Liora yang masih menggenggam lengan Rajata.
Rajata menatap Tessa—lalu melihat Liora. Tangannya sempat terangkat ragu, sebelum akhirnya...
Menurut kalian, siapa yang akan dia pilih? 😉
Stay tuned, ya!✨
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMENNYA YAAA
BONUS FOTO RAJATA DILAPANGAN NIH HIHI