Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Kebohongan Yang Terlalu Nyata
Davison menatapnya, lama. Lalu pelan-pelan berkata, "Rambut kamu sangat cantik kalau terurai kayak gitu.”
Sheina terdiam seolah menuntut kejelasan.
"Kamu terlihat cantik, Sheina."
Sheina langsung mengerutkan dahi. “Pak Dev masih ngigau?”
Davison menggeleng, nada suaranya tetap tenang. “Nggak. Saya sadar.”
Sheina kembali mengerutkan alis. Ekspresinya bukan malu, bukan senang. Lebih ke bingung seolah sedang menimbang: apakah itu pertanda suhu tubuhnya makin tinggi.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sheina berbalik dan berjalan ke dapur.
Sambil mencuci piring, ia bergumam sendiri, pelan tapi jelas, “Gawat. Demam Pak Dev bertambah.”
Sheina mengambil ponsel dari kantong celana dan langsung menekan kontak Ari yang baru saja ia simpan.
“Ri,” katanya cepat. “Pak Dev demam tinggi.”
“Demam? Dia sakit parah?” Suara Ari di ujung telepon terdengar waspada.
“Iya, sampai ngigau,” jawab Sheina, datar.
Dua detik hening. Lalu terdengar suara Ari tertawa pendek. “Oke, saya ke sana sekarang.”
Lima belas menit kemudian, pintu rumah terbuka. Ari masuk dengan wajah panik, Sheina membimbingnya langsung ke kamar.
“Dev, kamu demam?” tanya Ari tegas, menghampiri ranjang.
Davison memicing, matanya menatap Ari. “Kok kamu di sini?”
“Aduh, beneran kan panas. Ayo, kita ke rumah sakit!” kata Ari sambil meraba dahi Davison tanpa izin.
Davison langsung menepis pelan. “Saya nggak mau ke rumah sakit. Saya cuma butuh istirahat.”
Tapi suaranya lemah, dan tubuhnya tetap berat. Ari menoleh ke Sheina, lalu angkat alis. Tanpa perlu banyak diskusi, ia sudah tahu caranya, pakai tenaga.
Sheina membantunya pelan-pelan, dan akhirnya, meskipun sempat berontak, Davison dibawa juga ke mobil.
Dalam perjalanan, Davison bersandar lemah di jok belakang. Matanya setengah terpejam.
“Jangan kasih tau nenek, Ri,” katanya lirih.
Ari tersenyum kecil, tetap fokus ke jalan. “Terlambat... Terlambat. Kamu terlambat bilangnya.”
Wajah Davison langsung berubah.
“Kamu udah kasih tau nenek?” tanyanya, nadanya meninggi sedikit meski suaranya tetap lemah.
“Udah. Waktu Sheina nelpon dan ngasih tau kamu demam tinggi.”
Davison menutup mata, napasnya berat. “Sial.”
Ari tertawa kecil. “Nenek kamu itu manusia pendeteksi bahaya. Kalo dia tau kamu nggak masuk kantor satu hari aja, pasti langsung curiga.”
Sheina yang duduk di sampingnya diam saja. Tapi ia bisa merasa, mulai sekarang urusan mereka akan sulit dirahasiakan lagi.
Mobil berhenti di depan pintu lobi khusus VIP. Dua petugas langsung menyambut saat pintu terbuka, dan tanpa banyak tanya, Ari menyerahkan kartu pasien langganan keluarga Sakawira.
Davison duduk lemah di kursi roda, selimut tipis melapisi tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya setengah terpejam, tapi tetap terlihat berusaha menjaga sisa wibawa yang ia punya.
Sheina berjalan di sampingnya, sesekali melirik ke arah Davison, memastikan ia masih sadar.
Petugas membawa mereka melalui lorong yang sepi dan tenang. Lantai mengilap, dinding berwarna hangat, dan aroma bunga putih samar-samar memenuhi udara. Di dinding, lukisan-lukisan abstrak tergantung, dan musik instrumental piano mengalun pelan dari speaker tersembunyi.
Mereka masuk ke ruang VIP 02. Ruangan itu lebih mirip kamar hotel premium dengan ranjang besar di tengah, sofa kulit abu-abu di sisi ruangan, TV layar datar tergantung di dinding, dan jendela besar yang menampilkan taman dalam rumah sakit.
Davison dibantu berbaring. Ia menarik napas berat, tangan kanannya menutupi mata.
“Dokternya segera datang,” kata Ari pelan.
Sheina meletakkan botol air mineral di meja kecil dekat ranjang, lalu berdiri diam. Ia tidak tahu harus duduk atau tetap berdiri. Tapi sebelum ia bisa memilih, pintu diketuk, lalu terbuka.
Seorang dokter pria paruh baya masuk dengan clipboard di tangan. Tubuhnya tegap, kacamata tipis menggantung di hidung.
“Selamat sore, Pak Davison. Saya Dokter Yuda. Sudah lama kami tidak bertemu, ya,” katanya sambil tersenyum.
Davison mengangguk pelan. “Halo, Dok.”
Dokter Yuda segera memulai pemeriksaan: suhu, tekanan darah, denyut jantung. Semua dengan alat canggih yang sudah tersedia di ruangan.
“Demamnya tinggi dari tadi pagi.” kata Sheina akhirnya, berdiri di sisi ranjang. “Sempat menggigil, napasnya berat. Ngigau juga.”
Dokter mencatat cepat. “Ada mual atau sakit kepala?”
“Sedikit,” jawab Davison, suaranya serak.
Setelah beberapa menit, Dokter Yuda menurunkan stetoskopnya. “Infeksi ringan. Kemungkinan besar virus, tapi kita pantau dua hari ke depan. Saya minta sampel darah diambil sore nanti. Kalau tidak ada perubahan, nggak perlu rawat inap lama.”
Ari mengangguk. “Terima kasih, Dok.”
Tiba-tiba suara langkah cepat menggema dari arah lorong. Tak lama, pintu kamar diketuk singkat, lalu terbuka sebelum siapa pun sempat menyahut.
Seorang wanita paruh baya masuk dengan langkah tergesa. Rambut putihnya ditata rapi, scarf abu muda masih melingkar di lehernya, dan sorot matanya langsung tertuju pada pria yang terbaring lemah di ranjang.
“Davison,” ucapnya pelan, penuh cemas.
“Nenek,” balas Davison, suaranya nyaris tak terdengar.
Wanita itu menghampiri cepat, lalu tanpa ragu langsung memeluk cucunya. Pelukannya erat, seperti takut kehilangan. Davison sempat menahan napas, lalu perlahan membalas pelukannya dengan satu lengan.
“Kamu kenapa nggak bilang sakit? Hah?” tanyanya pelan, penuh tekanan. “Kalau Ari nggak kabarin, nenek nggak akan tahu kamu di rumah sakit begini.”
Davison menghela napas. “Aku nggak mau nenek panik.”
Neneknya menarik diri perlahan, menatap wajah Davison dengan sorot tajam tapi hangat. Lalu, ia menoleh dan matanya langsung menangkap sosok Sheina yang berdiri tak jauh dari sisi ranjang.
Wajah wanita tua itu melunak. Ia menggenggam tangan Sheina, lembut. “Untung kamu udah punya istri, Dev. Jadi ada yang jaga kamu sebelum dibawa ke rumah sakit.”
Sheina kaget. Matanya melebar sesaat, tapi ia berusaha tetap tenang. Senyum kecil muncul di bibirnya, meski canggung jelas terasa.
“Iya sama-sama, Nek. Udah kewajiban Sheina juga jagain Pak—eh maksudnya jagain Dev.”
Hening mendadak mengisi ruangan.
Dari sudut ruangan, suara pelan tapi jelas terdengar.
“Lho, Davison sudah menikah?” tanya Dokter Yuda, masih berdiri di dekat alat pemeriksa tekanan darah. Ekspresinya jelas terkejut, bahkan sempat melirik ke clipboard di tangannya, seolah memastikan tidak ada info itu di data pasien.
Nenek Davison langsung menoleh dan tertawa kecil, malu tapi bangga. “Cucu nakal ini menikah diam-diam dari neneknya sendiri.”
Davison memejamkan mata perlahan, seolah menyiapkan diri untuk babak baru dari kebohongan yang sudah terlalu jauh.
Lalu, suara lain muncul. Ari.
“Iya, saya jadi saksinya waktu itu,” ucapnya santai, padahal senyum tipisnya hampir seperti menahan ketawa.
Sheina melirik tajam ke arah Ari, seakan mengatakan, kamu ngapain malah ikut mainin?
Tapi Ari pura-pura tidak tahu. Ia malah jalan pelan ke arah meja dan menuang air ke gelas.
Dokter Yuda masih tampak heran. Ia menatap Davison, lalu Sheina, seolah masih mencerna kebenaran yang baru ia dengar.
Davison, akhirnya, hanya berkata pelan, “Nggak usah dibesar-besarkan, Dok.”
Tapi ekspresi wajahnya, dan Sheina yang masih menggenggam tangan neneknya, sudah cukup untuk membuat kebohongan itu terlihat nyata di mata semua orang.
Dan yang lebih rumit dari itu, mereka belum tahu berapa lama kebohongan ini harus dipertahankan.