Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Menjauh
...•••Selamat Membaca•••...
Setiap hari Marchel selalu menemani istrinya, tidak meninggalkan Hulya barang sedetik pun, semua keperluannya diurus oleh Aarav.
Marchel menatap tubuh lemah yang terbaring di atas hospital bed dengan berbagai alat menempel di tubuhnya. Marchel menggenggam tangan Hulya, menciuminya dan terus berdoa agar istrinya segera sadar.
Setelah lebih dari dua minggu Hulya koma, kondisi fisik Marchel juga terganggu, tak ada yang bisa dia perbuat selain menangis dan menyesali perbuatannya itu.
Informasi mengenai siapa dalang di balik semua ini juga belum diketahui. Marchel belum ingin fokus ke sana, dia masih ingin fokus pada kesembuhan mantan istrinya tersebut, yah mantan istri karena Marchel telah menjatuhkan talak pada Hulya, malam di mana Hulya hampir meregang nyawa.
“Bagaimana Justin? Apa sudah ada informasi terbaru terkait hal ini?” tanya Marchel pada orang kepercayaannya itu.
“Belum, aku pikir, dalang di balik semua ini adalah orang yang sangat berkuasa juga dan bukan orang sembarangan.”
“Jika ada kabar baru segera beritahu aku.”
“Baik. Bagaimana kondisi Hulya?”
“Seperti yang kau lihat, dia belum sadarkan diri tapi kondisinya menurut dokter sudah mulai membaik.”
“Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa, tapi yang jelas, kau harus belajar mengendalikan emosimu itu. Kau sudah membahayakan nyawa istrimu sendiri.” Marchel menunduk lalu menciumi tangan Hulya, menaruh tangan itu di keningnya.
“Aku tahu, aku salah dan sangat bodoh, semoga saja dia bisa memaafkan aku.”
Justin menepuk pelan pundak Marchel, memberikan semangat agar Marchel tidak ikut sakit juga selama merawat Hulya. Namun tatapan Justin begitu berbeda saat menatap Hulya, menunjukkan betapa sakit dia melihat kondisi wanita itu.
Dengan perlahan, kelopak mata yang terpejam itu mulai terbuka, jarinya bergerak sedikit demi sedikit, Marchel langsung menatap penuh harap begitu juga dengan Justin.
Marchel bergegas memanggil dokter untuk memeriksa Hulya, dokter menyatakan kondisinya sudah membaik dan masuk dalam tahap pemulihan.
“Aku pulang dulu, kalau ada apa-apa kau bisa hubungi aku.”
“Ya, terima kasih, Justin.” Justin meninggalkan ruangan tersebut dengan langkah tegap, di pintu, dia menoleh sedikit pada Hulya. Tatapannya sendu, nafasnya tercekat dan rasa aneh bergelayut di hatinya melihat istri Marchel itu.
“Aku selalu berdoa agar kau baik-baik saja, Hulya.” Justin berkata lirih sebelum benar-benar pergi dari sana.
Hulya membuka mata dengan sempurna. “Ternyata aku masih hidup,” katanya dengan lemah, hampir tidak terdengar tapi masih sampai ke telinga Marchel.
“Jangan bicara seperti itu, jika kau tidak hidup, aku akan menyesali semua ini,” sahut Marchel.
“Aku haus Marchel.”
“Sebentar.” Marchel mengambilkan air mineral lalu meminumkannya pada Hulya dengan sedotan.
“Apa kamu lapar? Mau makan apa?” tanya Marchel dengan lembut sambil mengusap kepala Hulya, mantan istrinya itu hanya menggeleng lemah dengan air mata yang meluncur di sudut matanya.
“Kenapa kamu di sini?”
“Lalu aku harus di mana? Aku menunggumu.” Hulya tersenyum dan mengusap lembut wajah Marchel.
...***...
Seminggu setelah masa pemulihan, kini Hulya sudah diperbolehkan untuk pulang. Marchel mengemasi barang-barang Hulya sedangkan perempuan itu duduk di atas kasur sambil menatapnya.
“Memangnya aku mau dibawa ke mana?” tanya Hulya dengan lembut, Marchel yang selesai mengemasi semua barang, kini menatap Hulya lalu tersenyum.
“Pulang ke rumah sayang, ke mana lagi memangnya? Kamu harus banyak istirahat.”
“Rumah? Rumah siapa?”
“Hulya, apa kamu amnesia? Ya rumah kita, memang rumah siapa lagi?”
“Kau yang amnesia Marchel, aku bukan siapa-siapamu sekarang. Kau tidak ingat malam itu kau menceraikan aku, kau menjatuhkan talak padaku? Kau mencampakkan aku Marchel,” balas Hulya dengan air mata yang meluncur bebas dari kelopak indahnya, Marchel terdiam, saking fokusnya untuk merawat Hulya, dia lupa kalau saat ini Hulya bukanlah istrinya lagi.
“Hulya, kita bisa rujuk kembali, kita masih bisa mempertahankan rumah tangga kita kan,” balas Marchel sambil menangkup wajah Hulya.
“Tapi aku tidak Marchel. Semua terlalu menyakitkan bagiku.”
“Tidak?”
“Aku tidak ingin rujuk denganmu, kau terlalu mengerikan untukku.” Marchel terpaku, situasi saat ini sedang tidak baik.
“Sudahlah, kita bisa memikirkan hal ini nanti, yang jelas sekarang kita pulang dulu ya.”
“Aku tidak mau ikut denganmu lagi, aku trauma kembali ke mansion itu, kenangan di mana kau menyiksaku, tidak mudah untuk dilupakan, kau sudah sering kali main tangan padaku.” Marchel terlihat frustasi dengan mengusap kasar wajahnya, dia tidak ingin kehilangan Hulya.
“Jangan begini, kalau kamu tidak ingin ke mansion, kita akan ke apartemen, kamu bisa istirahat di sana tapi ikutlah bersamaku, aku akan menjagamu.”
“Menjaga bagaimana? Kau tidak lihat kondisiku sekarang? Aku begini ya karena amarahmu, Marchel, aku butuh ruang untuk sendiri, aku tidak ingin ikut denganmu atau bersamamu lagi, kau dengan kejamnya sudah membunuh anak kita.”
Marchel benar-benar tidak bisa lagi mengontrol hatinya, dia takut untuk memaksa Hulya tapi dia juga tidak ingin kehilangan Hulya.
“Kali ini saja Hulya, tolonglah aku, jangan berpikir untuk jauh dariku dulu, kau membutuhkan aku dan aku sadar dengan semua kesalahanku itu.”
“Aku tidak membutuhkan kamu, Marchel, dulu aku menerima semua keinginanmu, aku tidak pernah membantah apapun yang kau katakan dan untuk kali ini, aku mohon, kabulkan permintaanku. Aku ingin sendiri dulu, tolong mengertilah.”
Marchel melihat wajah Hulya yang berkata penuh tekad, akhirnya dia pun mengalah demi kesehatan Hulya sendiri.
“Baiklah, sampai kapan kau akan menjauh dariku?”
“Entahlah, yang jelas saat ini aku ingin sendiri.”
“Oke, kamu mau ke mana?”
“Aku ingin menyewa apartemen.”
“Untuk apa menyewa? Aku memiliki banyak apartemen, kau bisa pilih untuk tinggal di mana saja.”
“Aku tidak mau menempati sesuatu yang masih berhubungan denganmu, aku ingin kehidupanku sendiri.”
“Baik, aku akan carikan apartemen yang bagus untukmu.”
“Tidak perlu, aku bisa mencarinya sendiri, Marchel.”
“Hulya, tolong jangan keras kepala, aku sudah menuruti keinginanmu. Biar aku yang mencarikan—”
“Aku bisa cari sendiri Marchel, lebih baik kamu pulang dan aku akan pergi. Aku tidak ingin dekat denganmu dulu.” Suara Hulya mulai meninggi, Marchel terdiam lalu mengangguk pasrah walau di hatinya terasa sangat berat.
“Tolong jangan pergi jauh dari kota ini, Hulya.”
“Aku tidak akan jauh tapi dengan syarat, kau tidak boleh menguntitku atau menampakkan wajahmu padaku. Biarkan aku tenang dengan hidupku sendiri.”
“Aku setuju, aku berharap ini tidak akan lama.”
Mereka berjalan keluar rumah sakit, Hulya menaiki taksi, dia diberi bekal kartu kredit dan ATM oleh Marchel. Semua kebutuhan Hulya akan dia penuhi walau pun mereka tidak bersama lagi.
Hulya memilih untuk tinggal di kota yang berbeda dengan Marchel, dia benar-benar memilih menjauh dari mantan suaminya itu, ketakutan dan trauma yang dia alami membuat dirinya mantap untuk meninggalkan Marchel.
Tanpa sepengetahuan Marchel, Hulya pergi ke Los Angeles, California. Memulai kehidupan baru di sana dengan uang tabungan yang memang dia miliki, dia sama sekali tidak akan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh Marchel.
Perjalanan panjang dilalui oleh Hulya, kondisinya yang masih sakit seperti itu membuat dia kelelahan. Hulya memilih apartemen yang berada di pusat kota agar nyaman dan mudah untuk pergi ke manapun.
Dia menempati unit yang sangat strategis saat ini, Hulya benar-benar bisa bernafas lega ketika dia tinggal sendiri tanpa Marchel.
“Maaf Marchel, aku mungkin tidak akan rujuk lagi denganmu, kau sangat menakutkan,” gumam Hulya sebelum memejamkan matanya.
...***...
Marchel memenuhi janji untuk tidak mencari tahu keberadaan Hulya. Tapi bukan Marchel jika dia menyerah begitu saja, dia melacak ponsel Hulya dan masih berada di New York tanpa Marchel tahu kalau Hulya sudah memanipulasi titik lokasinya.
Seminggu tinggal di apartemen itu, Hulya mulai bangkit, dia membangun kembali bisnis butik yang pernah ia jalani selama ini. Wanita dua puluh empat tahun itu menjalani kebebasan selama seminggu ini, hidup dalam kedamaian tanpa kekangan dari siapa pun termasuk Marchel.
Setelah seharian di butik, Hulya pulang ke apartemen dengan semangat, baginya kehidupan saat ini sungguh nikmat dari kehidupan bersama Marchel dulu.
Walau pun Marchel meratukan dirinya, tapi sikap posesif dan obsesif Marchel sedikit membuat Hulya tertekan, belum lagi kalau Marchel marah.
Ketika sedang mandi, lampu di apartemennya mati, dia segera menyelesaikan mandi dan berpakaian. Hulya memeriksa apakah ada yang konslet, ternyata ada, lampu di kamar lain ternyata putus dan meledak.
Hulya keluar dari apartemennya, kebetulan melihat seorang pria dengan pakaian teknisi listrik.
“Maaf, tolong perbaiki lampu di unit saya, lampunya mati,” kata Hulya dengan sopan dan ramah tapi pria itu justru menatapnya dengan dingin dan cuek.
“Aku sibuk.” Pria itu meninggalkan Hulya begitu saja, Hulya mengejarnya.
“Tolonglah, aku ada banyak pekerjaan malam ini, jika lampunya mati, aku tidak bisa bekerja, aku mohon.” Karena melihat Hulya memohon begitu, pria tadi mau membantu.
Dia memperbaiki listrik di unit Hulya hingga semua membaik dan seperti biasa lagi, Hulya memberikan uang pada pria itu namun malah dijawab ketus.
“Kau pikir aku ini tukang listrik?” Hulya menganga, dia menatap pria itu dari atas sampai bawah dan memang dia memakai pakaian seragam teknisi listrik.
“Tanpa aku tanya, seragammu ini sudah menjawabnya.” Pria itu mendengus kesal ketika menyadari bahwa dia memakai pakaian teknisi listrik.
“Aku tidak butuh uangmu.” Pria itu pergi meninggalkan Hulya begitu saja.
“Kalau begitu terima kasih sudah membantuku.”
“Hm.”
Hulya mengantarkan pria itu keluar, saat akan menutup pintu, dia melihat pria tersebut memasuki unit yang berada tepat di depan unitnya.
“Siapa namamu?” teriak Hulya, tanpa menoleh, pria itu menjawab.
“Dexter Dellucci, kau bisa memanggilku Dexter.”
“Saya Hulya.” Pria itu menutup pintunya tanpa mendengarkan perkataan Hulya.
...•••BERSAMBUNG•••...