Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 24 "Mama Jujur ke Valeri"
Setelah lari sore, Valeri langsung menuju rumah Voni. Ya, Valeri pada akhirnya lari sendirian, soalnya calon kakak iparnya itu sangat pemalas. Setiap kali diajak lari bersama, Voni selalu punya seribu alasan untuk menolak, lebih memilih bersantai di rumah.
“Kak Voni!” panggil Valeri dari depan pintu rumah Voni, suaranya ceria namun sedikit terengah-engah. Voni, yang sedang rebahan di sofa ruang tamu sambil menonton televisi, langsung bangkit dan menemui sang sumber suara.
“Widih, rajin benar,” ujar Voni, matanya menatap Valeri yang sudah mandi keringat, napasnya masih terengah-engah setelah berlari. Sebuah senyum geli tersungging di bibirnya.
“Iya lah, memang Kakak pemalas, kan?” ujar Valeri, tersenyum bercanda, mencoba memancing reaksi Voni.
“Iya deh, memang aku pemalas,” jawab Voni santai, mengakui julukan itu. “Kenapa kamu ke sini lagi?” tanya Voni langsung ke intinya, tanpa basa-basi lagi. Ia tahu Valeri pasti datang dengan suatu maksud.
“Aku mau mengundang Kakak ke rumah nanti malam,” ujar Valeri, nadanya penuh bujukan.
“Aku rindu masa-masa kita SMP, dulu sering menginap dan masak bersama. Nanti aku masakin kwetiau kesukaan Kak Voni.” Valeri tahu betul kelemahan Voni adalah kwetiau buatannya.
“Oke, aman!” Voni langsung setuju, matanya berbinar mendengar tawaran kwetiau.
“Tapi aku menginap di kamar kamu saja sekalian, ya. Malas balik ke sini lagi,” ujar Voni tersenyum lebar, menambahkan syarat.
“Dasar pemalas! Tapi aku juga mau, soalnya aku juga mau tidur bareng Kak Voni lagi, heheheh,” ujar Valeri, menyanggupi permintaan Voni dengan senang hati.
Ia juga merindukan masa-masa tidur bersama sahabat sekaligus calon kakak iparnya itu.
Setelah selesai menyampaikan hal itu, Valeri bergegas balik ke rumahnya. Ia juga sudah merasa risih dengan badannya yang mandi air keringat, lengket dan tidak nyaman. Aroma keringat mulai tercium, dan ia ingin segera membersihkan diri.
Valeri segera bergegas mandi dan memakai baju tidurnya yang longgar dan nyaman. Setelah itu, ia juga mulai menyiapkan beberapa camilan dan minuman untuk acara malam ini. Ia mengeluarkan keripik, biskuit, dan membuat teh manis hangat, menatanya rapi di meja ruang tamu.
Saat kembali ke ruang tamu, Valeri melihat mamanya yang sedang menonton televisi. Baru kali ini Valeri menyadari bahwa dari semalam mamanya selalu ada di rumah. Biasanya, mamanya selalu sibuk di luar, entah pergi arisan, mengurus bisnis, atau ke kantor, jarang sekali ada di rumah seharian penuh.
“Ma?” ujar Valeri, sedikit bingung dengan kehadiran mamanya yang tidak biasa itu.
“Iya, sayang,” jawab wanita paruh baya itu, menoleh ke arah putrinya dengan tatapan lembut namun terlihat gurat kesedihan di matanya.
“Mama tidak ke kantor?” tanya Valeri sangat hati-hati, menatap mamanya dengan cemas. Ada sesuatu yang berbeda dari raut wajah mamanya.
Terlihat wanita paruh baya itu mengembuskan napasnya secara gusar, sebuah helaan napas berat yang menandakan beban pikiran. Lalu, dia menyuruh putrinya itu untuk duduk di sampingnya.
“Kamu duduk di sini dulu, biar Mama cerita,” ujar wanita paruh baya itu, suaranya pelan dan penuh kehati-hatian. Valeri pun menurutinya, duduk di sofa dengan perasaan campur aduk.
“Sekitar seminggu lalu, Mama ditipu sama mitra Mama,” ujar wanita paruh baya itu, suaranya bergetar.
“Mama terlalu percaya, sampai semua surat-surat berharga Mama kasih ke mitra Mama, dan akhirnya dia salahgunakan, dan semuanya ludes.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan nada sedih yang mendalam, matanya berkaca-kaca.
Valeri merasa sedih melihat kesedihan mamanya itu. Valeri sedih bukan karena harta yang ludes, ia tidak terlalu memikirkan hal materi. Melainkan, ia sedih melihat keterpurukan mamanya, yang biasanya selalu terlihat kuat dan ceria.
Kalau masalah uang, Valeri sama seperti Dion, mereka berdua punya tabungan masing-masing yang cukup untuk kebutuhan pribadi.
“Mama yang sabar, ya. Leri pasti berusaha untuk jadi anak berbakti,” ujar Valeri sembari memeluk mamanya itu erat, mencoba menyalurkan kekuatan.
“Biar semuanya hilang, yang penting Mama sudah ada bersama kami, itu sudah cukup.” Valeri menatap mamanya dengan mata penuh kasih.
“Sebenarnya kita masih ada lahan sekitar satu hektare,” ujar Mama Valeri itu menjelaskan, mencoba melihat sisi positif dari situasi sulit ini.
“Mungkin hasilnya itu bisa untuk memenuhi kebutuhan makanan di rumah, dan untuk yang lain kita pakai uang tabungan, masih cukup untuk sementara.”
“Iya, Ma. Leri akan berusaha untuk mempertahankan beasiswa Leri biar Mama tidak pusing memikirkan uang sekolah,” ujar Valeri, bertekad bulat untuk meringankan beban mamanya.
“Terima kasih ya, Nak, sudah selalu jadi anak berbakti,” ujar Mama Valeri, mengusap punggung putrinya dengan sayang.
Dan kini, Valeri semakin erat memeluk orang tua satu-satunya itu, merasakan kehangatan dan kekuatan dalam pelukan mereka.
Namun, di saat momen emosional itu, tiba-tiba Voni ikut memeluk mereka berdua dari belakang. Astaga Voni, apa yang kamu lakukan? Sebuah pelukan mendadak yang sedikit mengagetkan, namun juga mencairkan suasana haru.
“Kok Tante sama Leri sedih sih? Aku seharian sudah sedih tahu karena baca novel,” ujar gadis bernama Voni itu, memeluk anak dan ibu itu, wajahnya menunjukkan kebingungan yang polos. Ia tidak mengerti mengapa dua orang di depannya menangis.
Mama Valeri tersenyum tipis dan mengelus kepala Voni. “Tidak apa-apa sayang, ya sudah kalian ke kamar sana,” ujar Mama Valeri sangat lembut, merasa terhibur dengan kepolosan Voni.
Tanpa basa-basi, Valeri langsung mengajak Voni ke dapur. Mereka pun mulai memasak kwetiau, atau lebih tepatnya, hanya Valeri yang memasak. Voni hanya duduk di dekatnya.
Voni malah asyik membaca novel dari aplikasi Mangatoon di ponselnya. Wajahnya yang sangat ekspresif, kadang tertawa sendiri, kadang cemberut, kadang menangis tersedu-sedu, membuat Valeri sedikit tersenyum melihat tingkah calon kakak iparnya itu. Tingkah Voni selalu berhasil membuat suasana hati Valeri sedikit lebih ringan.
Akhirnya, Dion kembali dari kegiatannya. Dion langsung mandi dan bergegas memakai baju santainya. Setelah itu, dia mencari adiknya di kamar, namun tidak menemukan Valeri di sana.
Kemudian, ia mencium aroma kwetiau dan nasi goreng yang menggugah selera makannya, aroma yang tercium hingga ke kamarnya. Dia segera menuju dapur, mencari sumber aroma yang begitu menggoda itu.
“Dek, kok tumben masak kwetiau? Mana Voni?” tanya Dion heran, matanya menyapu seisi dapur. Ia tahu adiknya jarang masak kwetiau.
Ya, mereka memang masak kwetiau hanya ketika ada Voni saja. Selebihnya, mereka lebih memilih masak nasi goreng atau menu lain, karena mereka tidak terlalu menyukai kwetiau. Kwetiau adalah makanan kesukaan Voni.
“Di belakang Kakak, dia lagi baca novel,” ujar Valeri, menunjuk ke arah keberadaan Voni yang bersembunyi di balik meja dapur.
Dion menatap gadis itu yang tertidur di lantai dapur sembari membaca novelnya itu, benar-benar asyik dalam dunianya sendiri. Mungkin dia tidak mendengar orang-orang di sekitarnya lagi berbicara, saking fokusnya.
“Astaga, Von, kamu ngapain coba tidur di sini? Lagian juga tidak membantu Valeri, sana tidur kamar aku saja,” ujar Dion heran melihat gadis pemalasnya itu. Ada nada mengomel bercampur rasa sayang dalam suaranya.
“Tidak, Kak Voni tidur di kamar aku hari ini,” ujar Valeri, melarang, seolah Voni adalah miliknya.
“Iya, terserah mau tidur di mana, tapi jangan di lantai dapur, jorok tahu,” ujar Dion, sembari menarik Handphone Voni dari tangannya, ingin Voni berpindah tempat.
“Ihh, Dion, jangan begitu! Aku lagi baca bagian tersedih!” ujar Voni, suaranya merengek, sembari mengusap air matanya yang mengalir deras, karena tersentuh oleh alur cerita novelnya.
Namun, Dion tetap tidak memberikannya kembali. Voni yang pemalas, memilih untuk pasrah tiduran di lantai, menatap Dion dengan tatapan kesal. Dion menatap sahabat kecilnya itu heran, menggeleng-gelengkan kepala. Voni memang selalu penuh kejutan dengan tingkahnya yang unik.
#akumaudibintangi#
#romance#
#Sahabat#
#besti#