Pernikahan Mentari dan Bayu hanya tinggal dua hari lagi namun secara mengejutkan Mentari memergoki Bayu berselingkuh dengan Purnama, adik kandungnya sendiri.
Tak ingin menorehkan malu di wajah kedua orang tuanya, Mentari terpaksa dinikahkan dengan Senja, saudara sepupu Bayu.
Tanpa Mentari ketahui, Senja adalah lelaki paling aneh yang ia kenal. Apakah rumah tangga Mentari dan Senja akan bertahan meski tak ada cinta di hati Mentari untuk Senja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gantungan Kunci
Senja
"Makan, Ja! Jangan cuma liatin aku terus!" protes Mentari.
Kuambil tisu lalu kubersihkan kening Mentari yang berkeringat. "Habis, seru banget sih lihat kamu makan. Pedas banget ya? Sampai keringetan."
Mentari mengambil es teh manis dan meneguknya. Wajahnya memerah karena kepedasan. "Banget, tapi aku suka. Enak, ngilangin mumet."
Aku tersenyum melihatnya. Kuambil lagi tisu dan kini mengelap hidung dan atas bibirnya yang juga berkeringat. "Pelan-pelan saja makannya. Aku tungguin kok."
"Ja, udah ah, jangan ngelap muka aku terus! Memang aku kaca? Tuh, kita diliatin orang-orang, nanti dikira pengantin baru lagi!" gerutu Mentari.
Kulirik kiri dan kanan, benar yang dikatakan Mentari, banyak yang menatap ke arah kami. "Biarkan saja! Mungkin mereka iri melihat kamu diperhatikan olehku."
Mentari menatapku tajam. "Ja, makan!"
Cepat-cepat kutaruh tisu dan kuambil sendok lalu kumasukkan bakso ke mulutku. "Siyyaap, Nyonyiah!"
Mentari tertawa kecil melihatku. Akhirnya... akhirnya dia mulai bisa tertawa lagi. Yess!
"Kamu kerja jadi apa di kantor? Ngerjain apa saja? Kok kamu terlihat mumet sih?" tanyaku.
"Mm... tugasku mengerjakan laporan penjualan dan pembelian barang. Mudah sih, tinggal input di komputer. Yang buat aku mumet itu jenis barangnya. Aku susah sekali menghafalnya, semua pakai kode. Ah... andai yang kuhafal nama-nama sayur dan buah, pasti aku tidak mumet seperti ini." Akhirnya Mentari mau bercerita juga padaku. Perlahan ia mulai terbuka. Aku harus sabar menghadapinya.
"Jadi menurutmu, kalau menghafal nama sayur dan buah, lebih mudah?" tanyaku.
"Tentu. Aku anak kampung yang hidup berdampingan dengan para petani, tentu saja menghapal jenis sayur dan buah lebih mudah bagiku daripada menghapal kode barang yang aku sendiri tak tahu bentuknya seperti apa," jawab Mentari dengan mulut penuh dengan bakso. Lahap sekali ia makan.
"Kalau begitu, nanti kamu kerja di perusahaanku saja. Kamu bisa input sayur dan buah tanpa pusing," kataku sungguh-sungguh.
"Ya... ya... ya... memangnya di masjid ada input nama sayur dan buah?" ledek Mentari.
Aku tersenyum kecil. "Mm... entah. Habiskan makanmu, aku bayar dulu!"
Mentari... Mentari...
Masih saja kamu meragukan pekerjaanku.
.
.
.
"Ja, nanti kalau aku terima gaji pertamaku, kamu mau aku traktir apa?" tanya Mentari saat aku mengantarnya ke kantor.
Lalu lintas pagi ini nampak padat dan tersendat. Banyaknya galian membuat kemacetan terjadi dimana-mana. Entah apa yang digali, mungkin mencari emas?
"Hmm... apa ya?" Aku belum tahu mau minta ditraktir apa. Melihat Mentari tak lagi murung saja sudah merupakan suatu kebahagiaan untukku.
"Jangan yang mahal!" ancam Mentari.
"Aku belum jawab loh! Enaknya ditraktir apa ya?"
"Jangan minta steak!"
"Bagaimana kalau-"
"Jangan minta beliin ponsel atau gadget!" potong Mentari lagi.
"Ish, pelit! Kebanyakan aturan. Terserah kamu sajalah mau traktir apa!" balasku.
Mentari tak menjawabku lagi. Ponselnya berbunyi, Mentari menjawab telepon yang masuk dan aku diam-diam menguping percakapannya.
"Purnama mau menginap di Jakarta? Untuk apa?" tanya Mentari dengan nada sebal.
"Aku tanya Senja dulu, Bu. Kalau Senja mengijinkan, Tari akan kirim alamatnya." Mentari memutus sambungan teleponnya. Kulirik dari kaca spion, wajahnya berubah keruh. Hilang sudah keceriaan saat membayangkan akan terima gaji pertamanya tadi.
"Kenapa?" tanyaku.
"Ibu telepon, katanya Purnama ada tugas dari kampusnya untuk kunjungan ke perusahaan di Jakarta. Dia... mau menginap di rumah bersama seorang temannya. Mm... boleh tidak, Ja?" tanya Mentari dengan ragu-ragu.
"Terserah kamu. Kalau kamu nyaman adikmu menginap di rumah, aku sih oke saja," jawabku.
Mentari terdiam beberapa saat baru kemudian berkata lagi, "Aku tak tahu apakah harus mengijinkannya menginap atau tidak, Ja. Entahlah. Aku merasa... hatiku masih sakit."
Jelas saja hatimu sakit, Tari, kamu dikhianati oleh adikmu sendiri. "Jadi... kamu tak akan mengizinkan adikmu menginap?"
"Kalau tidak kuizinkan, dia akan menginap dimana?" Sifat tidak tegaan Mentari tetap saja tidak berubah sejak dulu. Meskipun hatinya sakit dan pernah dikecewakan tapi ia tak tega melihat adiknya sendiri sengsara. "Apa... kuizinkan saja ya, Ja?"
"Saranku, izinkan saja. Walau bagaimanapun dia itu adikmu. Kalau terjadi apa-apa dengan adikmu, nanti kamu sendiri yang menyesal. Terlepas dari apa yang sudah ia lakukan, kamu tetap kakaknya. Mentari yang kukenal adalah sosok seorang kakak yang amat menyayangi adiknya. Aku jadi ingat waktu kita kecil dulu, kamu selalu mengajak adikmu bermain walau dia agak menyebalkan," jawabku.
"Jangan berkata seperti itu!" Mentari memukul bahuku pelan. "Bukan Purnama yang menyebalkan tapi kamu! Kamu suka sekali membuatku kesal dan menangis!"
"Cie... sayang sekali kakak sama adiknya? Dibelain terus loh! Jadi gimana, kamu izinin Purnama nginep?"
"Mau bagaimana lagi?"
"Asyik! Kita satu kamar lagi dong? Yes!"
.
.
.
Cuaca siang ini begitu terik. Rasanya matahari seperti berada di atas kepalaku. Jika kartu ATM-ku tidak expired, sebenarnya malas aku pergi ke bank. Terlalu sibuk dengan banyak urusan membuatku lupa kalau kartu ATM-ku harus diperbaharui.
Dengan mengendarai motor bututku, aku pergi ke Bank dekat kantorku. Aku langsung menuju bagian prioritas. Sebagai nasabah prioritas dengan saldo tabungan yang lumayan fantastis, aku tentu disambut dengan ramah. Aku bahkan bisa menggunakan kursi pijat sambil menunggu ATM-ku diganti.
Hampir saja mataku terpejam saat aku mendengar namaku disebut. "Loh, Senja?"
Aku membuka mataku dengan malas. "Pelangi?"
Pelangi menghampiriku sambil tersenyum. "Kamu sedang apa di sini?" tanya Pelangi.
"Ada yang harus aku urus," jawabku. "Kamu... bekerja di sini?"
"Iya. Aku jadi customer service di banking." Pelangi menunjuk sayap sebelah kiri gedung.
"Bapak Senja?" Namaku kembali disebut, kali ini oleh bagian prioritas yang mengurus kartuku yang expired.
"Iya." Aku menerima kartu milikku yang baru.
Aku merasa ada sorot mata yang terus menatapku saat aku menandatangani tanda terima kartu. Ternyata benar dugaanku, Pelangi terus menatapku dengan tatapan menyelidik. Tak mau ditatap seperti itu, aku langsung pamit dan meninggalkan bank.
.
.
.
"Beres sudah!" Mentari sejak tadi sibuk memindahkan barang-barang miliknya dari kamar sebelah ke kamarku.
Aku yang sedang membalas chat bawahanku hanya memperhatikan apa yang Mentari lakukan. Kamarku kini bagai kamar kami bersama. Semoga saja akan selamanya seperti ini.
"Assalamualaikum!" Terdengar suara salam dan ketukan pintu dari depan rumah.
"Waalaikumsalam!" Mentari bergegas ke depan. Tak lama kudengar namaku dipanggil. "Ja, ada tamu!"
Tamu?
Siapa?
Aku berjalan ke luar dan melihat Pelangi berdiri di depan rumah, ia masih memakai seragam kerja miliknya. Malam sekali ia pulang kerja.
"Pelangi? Ada apa malam-malam kamu datang?" Aku berjalan menghampiri Pelangi.
"Aku mau mengembalikan ini." Pelangi memberikan gantungan kunci milikku. "Terjatuh di kantor."
Entah mengapa aku merasa ada aura tak enak saat aku menerima gantungan kunci milikku. Apakah ini karena ada sepasang mata yang melihatku dengan penuh tanda tanya?
*****
perempuan memang aneh, banyak maunya, kadang juga ngeselin
begitulah
samatu kayak Mentari
ngapain juga pake acara sembunyiin status
padahal kan posisi mereka 'aman'
kerja di perusahaan sendiri, tempat tempat sendiri pulak
sembunyi dari apa? sembunyi dari siapa?
biar apasi, nambah2in beban pikiran aja 😏
☝️mode emak2 kumur2 pake air comberan😬😅