Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Kyai Huda mengedipkan mata, seolah memastikan apa yang dilihatnya nyata. Tangannya sedikit bergetar di atas lutut.
Aira yang merasa diperhatikan malah refleks nyengir.
“Eh…” Ia menatap Pak Hadi sebentar, lalu ke Kyai Huda. “Saya Aira, Yai. Anak Pak Hadi yang paling ganteng sedunia.”
Suasana hening sepersekian detik.
“Yang sopan, Aira,” tegur Bu Maryam cepat, walau sudut bibirnya menahan senyum.
Namun alih-alih tersinggung, Kyai Huda justru tersenyum. Senyum yang aneh... hangat tapi berkabut kenangan.
“Tidak apa-apa,” ucapnya pelan. “Justru… caramu bicara itu.”
Ia terdiam lagi, menatap Aira lebih lama.
“Loh… siapa namamu, Neng?” tanyanya lembut.
“Aira, Yai. Aira si paling cantik dan gak mau diam.” jawabnya ringan. “Panggil aja Aira. Jangan Neng-Neng, berasa mau dijodohin.”
Ustadz Fathur refleks menunduk lebih dalam. Pak Hadi berdeham kecil, sementara Ummi Maysaroh menatap suaminya dengan sorot heran.
Kyai Huda menarik napas panjang. “Masya Allah…”
Tatapannya menerawang, jauh melewati ruang keluarga sederhana itu.
Dulu…
Ibunya Kyai Huda... perempuan yang wajahnya kini terasa hidup kembali di hadapannya... hanya ia kenal lewat potongan-potongan video lama yang ada di rekaman usang neneknya. Senyum yang sama. Cara bicara yang sama. Bahkan nada bercandanya.
Tapi setiap kali ia meminta bertemu langsung, neneknya selalu beralasan.
“Nanti… belum waktunya.”
“Atau… ibumu sedang tidak bisa ditemui.”
Dan kini…
Wajah itu berdiri di depannya, hidup, bernapas, tertawa... dalam diri seorang gadis bernama Aira.
“Aira…” Kyai Huda memanggil pelan.
“Iya, Yai?” sahut Aira spontan.
“Duduklah,” ucapnya lembut. “Di sini.”
Aira menurut, duduk agak kaku di ujung sofa, tepat di seberang Ustadz Fathur. Ia melirik sebentar, lalu cepat-cepat memalingkan wajah.
Kyai Huda tersenyum lagi, kali ini lebih tenang.
“Anak ini,” katanya kepada Pak Hadi dan Bu Maryam, “pembawaannya… hangat.”
Bu Maryam mengangguk. “Memang begitu dari kecil, Pak Yai. Riuh, tapi hatinya lembut.”
Kyai Huda menunduk, matanya berkaca-kaca samar.
"Ibu…" batinnya kembali berbisik.
Malam itu, tanpa Aira sadari, bukan hanya pembicaraan tentang pernikahan yang sedang terjadi.
Ada kepingan masa lalu yang perlahan menemukan jalannya kembali.
Pembicaraan tentang pernikahan pun berlanjut dan saling menyepakati.
***
Malam itu, setelah pulang dari rumah Aira, di ruang kerja kecil yang diterangi lampu minyak dan aroma kayu gaharu, Kyai Huda duduk termenung.
Kertas-kertas di depannya terbuka, tapi pikirannya tidak di situ.
Bayangan wajah Aira muncul terus di benaknya — cara gadis itu tersenyum, caranya menjawab dengan spontan, bahkan tatapan matanya yang seolah mengenang seseorang.
Ummi Maysaroh yang baru selesai membereskan sajadah menghampiri. Ia melihat suaminya tak beranjak sejak pulang dari rumah Pak Hadi.
“Abi masih kepikiran Aira?” tanyanya lembut, duduk di sebelahnya.
Kyai Huda menatap kosong ke arah jendela. “Entahlah, Ummi. Wajahnya… sangat mirip dengan ibuku waktu muda. Bahkan caranya bicara. Persis sekali.”
Ummi tersenyum samar, lalu menghela napas.
“Abi… memang tidak pernah diberi tahu siapa nama kembaran Abi dulu?”
Kyai Huda menggeleng pelan.
“Nenek terlalu menutupi. Dulu beliau hanya bilang kalau aku punya kembaran. Tapi… kembaranku tinggal bersama ibu sama ayah. Waktu itu aku masih bayi, bahkan belum tahu bentuk wajah ibuku seperti apa.”
Ummi Maysaroh terdiam sesaat. “Apa Abi tidak mengenal Pak Hadi sebelumnya? Aku rasa dari nama saja sudah ada kemiripan. ‘Hadi’… dan ‘Huda’. Terlalu dekat, bukan?”
Deg.
Kyai Huda menatap istrinya, pupil matanya bergetar.
“Iya juga, Ummi…” ucapnya perlahan. “Dan saat bersalaman tadi, ada sesuatu yang berbeda. Ada getaran yang sulit dijelaskan. Seperti… darah yang mengenali darahnya sendiri. Tapi Pak Hadi tampak tidak mengenaliku. Atau mungkin… dia juga tidak tahu apa-apa.”
Ummi Maysaroh mengernyit. “Pak Hadi tidak mirip ibu?”
Kyai Huda tersenyum getir. “Tidak. Aku bahkan tidak pernah tahu bagaimana wajah ayahku. Yang aku tahu hanya cerita samar dari nenek… bahwa ibuku adalah perempuan lembut tapi keras hati. Mereka pergi karena tak tahan dengan tekanan keluarga besar Ayah. Setelah itu… aku hanya mengenal ibuku dari video pendek yang dikirim nenek dulu. Dan lucunya, saat melihat Aira tadi… aku seperti melihat potongan video itu hidup kembali.”
Ia menunduk, menatap jari-jarinya yang bergetar di atas meja.
“Tingkahnya pun sama, Ummi. Spontan, ceplas-ceplos, tapi ada ketulusan di setiap ucapannya. Persis seperti Ibu waktu muda. Dan entah kenapa, aku merasa... keluarga itu bukan orang asing bagiku.”
Ummi Maysaroh menatap suaminya penuh haru.
“Abi merasa mungkin Aira… atau Pak Hadi… masih punya hubungan darah dengan Abi?”
Kyai Huda menarik napas panjang. “Belum tahu, Ummi. Tapi firasatku kuat sekali. Seolah Allah sedang membuka tabir masa lalu yang selama ini terkunci rapat…”
Ia menatap langit-langit kamar dengan mata yang berkaca. “Kalau benar, Ummi… maka Aira bukan hanya calon menantu di rumah ini.”
Ummi menatapnya lembut, ikut tercekat. “Tapi bisa jadi… darah sendiri.”
Keduanya terdiam lama.
Hanya suara jangkrik di luar yang menemani kegelisahan malam itu... malam di mana rahasia masa lalu perlahan mengetuk pintu takdir.
***
Keesokan harinya, sejak matahari baru naik sejengkal, rumah Aira sudah ramai seperti pasar tumpah.
Bibi Sumi datang paling pagi, membawa sapu lidi dan ember. Pak Hadi sudah mengangkat meja ke pinggir, sementara Bu Maryam sibuk melap kain jendela. Di halaman, beberapa tetangga lelaki memotong dan menyusun kayu bakar, suara tak-tok-tak-tok bercampur tawa.
Aira keluar kamar dengan rambut masih setengah basah, mata setengah terpejam.
Begitu melihat halaman penuh orang, ia langsung berhenti melangkah.
“…Ya Allah.”
Ia menoleh ke kanan, ke kiri. “Ini rumah apa basecamp lomba tujuh belasan sih?”
Bu Maryam menoleh sambil tersenyum. “Bangun, calon pengantin. Jangan bengong.”
“Ma, ini baru jam tujuh…” Aira mengucek mata. “Aku belum siap menghadapi kenyataan sosial sebanyak ini.”
Pak Hadi tertawa kecil sambil mengangkat bangku. “Sejak subuh papa sudah mengumumkan. Minggu depan hari Senin. Sekalian undang warga.”
“Astaghfirullah…” Aira menepuk dadanya. “Subuh-subuh ngumumin hidup anak orang. Papa tuh kejam.”
Bibi Sumi nyengir. “Udah, Neng. Biasanya Neng Aira ngomel soal sawah, sekarang naik level. Ngomel soal pernikahan.”
Aira mengambil lap, tapi gerakannya malas. “Aku tuh baru mau adaptasi sama ayam, cicak, tokek… sekarang langsung upgrade ke manten.”
Di halaman, ibu-ibu tertawa mendengar celetukannya. “Neng Aira, ambilin sapu!” teriak salah satu ibu.
Aira menyapu asal-asalan. “Ini namanya nyapu estetik. Debunya tetap tinggal biar gak kaget.”
“Dasar,” sahut yang lain sambil tergelak.
Ia berjalan ke dapur, melihat panci besar sudah berjajar. “Ma… ini mau masak apa? Resepsi apa syukuran kampung? Katanya masih satu minggu lagi?”
“Dua-duanya,” jawab Bu Maryam santai. “Kita masak sendiri biar berkah.”
Aira memegangi dadanya pelan. “Aneh ya, Ma…” suaranya tiba-tiba melunak. “Biasanya aku kesel lihat orang banyak. Tapi sekarang… kok rasanya beda.”
Bu Maryam berhenti sejenak, menatap putrinya. “Beda gimana?”
Aira bingung menjelaskan. Ia menatap halaman—tetangga yang tertawa, bapak-bapak yang gotong royong, suara kayu terbakar dicoba-coba.
“Ada… hangat. Tapi juga deg-degan. Kayak jantung aku gak mau diem.”
Bu Maryam tersenyum lembut. “Itu tandanya kamu mulai nerima, Ra.”
Aira mendengus, menutupinya dengan bercanda. “Atau tandanya aku butuh kopi.”
Tiba-tiba seorang ibu lewat sambil membawa kayu.
“Neng Aira, nanti jangan lupa hari senin kamu duduk manis ya. Jangan kabur.”
Aira spontan menjawab, “Kabur ke mana, Bu? Jalan keluar aja dijagain warga semua.”
Gelak tawa pecah lagi.
Aira berdiri di tengah hiruk-pikuk itu, lap masih di tangannya.
Untuk pertama kalinya sejak pindah ke kampung ini, ia tidak merasa ingin mengeluh lalu pergi.
Dadanya bergetar aneh... bukan takut sepenuhnya, bukan juga bahagia sepenuhnya.
Lebih seperti… takdir yang pelan-pelan mengetuk, dan untuk sekali ini, Aira tidak langsung menutup pintu.
***
Berita pernikahan itu menyebar cepat, bahkan lebih cepat dari asap dapur Bu Maryam pagi tadi.
Subuh diumumkan, siang sudah sampai ke RT sebelah... RT tempat Pak RW tinggal.
Di ruang tamu rumah Pak RW, suasananya jauh dari hangat.
“Pak.” Anak perempuan Pak RW berdiri dengan wajah masam, tangan bersedekap. “Yang benar saja itu Ustadz Fathur mau nikah sama anak kota itu?”
Pak RW menurunkan koran yang sedari tadi ia baca, menghela napas. “Iya. Bapak dengar sendiri waktu salat subuh. Pak Hadi yang ngumumin.”
“Serius?” Suaranya meninggi. “Ustadz Fathur? Sama dia?”
“Iya.” Pak RW mengangguk pelan, rautnya tidak terlalu senang.
“Nanti bapak mau ke rumah Ustadz Fathur. Bapak mau menegur. Soal rumah wakaf itu. Jangan sampai dipakai buat rumah tangga.”
Anak Pak RW tersenyum tipis, puas. “Bagus, Pak. Memang harus ditegaskan. Jangan mentang-mentang ustadz terus seenaknya.”
Belum sempat Pak RW menjawab, suara motor berhenti di depan rumah.
Pacar anak Pak RW turun tergesa, helm masih menempel di kepala.
“Yang?” Anak Pak RW mengernyit. “Kenapa panik banget?”
Cowok itu menelan ludah. “Gak… gak panik. Cuma…”
“Cuma apa?” tatapannya menyelidik.
Cowok itu ragu-ragu, lalu berdecak pelan. “Aku dengar… anak kota itu mau nikah.”
“Terus?” Anak Pak RW mendekat. “Emang kenapa?”
Cowok itu menggaruk leher. “Ya… kaget aja.”
“Kaget doang?” nada suaranya tajam.
“Jangan-jangan kamu suka, ya?”
Cowok itu refleks menjawab, jujur tanpa pikir panjang.
“Sedikit.”
Plak!
Jeweran mendarat telak di telinganya.
“Apa sih yang menarik dari dia?!” bentak anak Pak RW kesal. “Pakaiannya aja kayak gitu! Kelakuannya juga bar-bar!”
Cowok itu meringis sambil memegang telinganya. “Ya… dia beda aja. Berani, ngomongnya ceplas-ceplos.”
“Berani apaan!” Anak Pak RW mendengus.
“Dasar cowok gak punya selera.”
Pak RW yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. “Sudah. Gak usah ribut.”
Tatapannya mengeras. “Biar bapak yang urus. Soal pernikahan itu… belum tentu semudah yang mereka kira.”
Bersambung